Liputan6.com, Manila - Kelompok ISIS pada Minggu, 27 Januari 2019, mengaku bertanggung jawab atas pengeboman ganda terhadap sebuah gereja Katolik di Filipina Selatan, yang menewaskan sedikitnya 20 orang dan melukai 111 lainnya.
Klaim mereka muncul beberapa jam setelah serangan bom, yang disebarkan melalui corong kantor berita Amaq, menurut SITE Intelligence Group yang memantau aktivitas online organisasi ekstremis itu.
Dikutip dari The Straits Times pada Senin (28/1/2019), ISIS langsung merilis pernyataannya sendiri, yang mengklaim sebagai dalang di baliknya, beberapa saat setelah bom meledak.
Advertisement
Baca Juga
Ledakan pertama terjadi di dalam Katedral Katolik Roma Our Lady of Mount Carmel yang penuh sesak di Kota Jolo selama misa hari Minggu. Ketika pasukan pemerintah merespons, ledakan kedua terjadi di tempat parkir.
Jolo berada di sebuah pulau dengan nama yang sama, di mana dalam beberapa tahun terakhir berada di bawah pengaruh kubu Abu Sayyaf, sebuah kelompok teroris yang dipersalahkan atas beberapa pengeboman terburuk dan penculikan terkenal di Filipina.
Pihak berwenang belum menentukan motif serangan itu, atau apakah terkait dengan plebisit yang diadakan di daerah itu pekan lalu, di mana mendukung pembentukan daerah otonom muslim yang baru.
Polisi menduga serangan itu adalah perbuatan Abu Sayyaf, sebuah kelompok militan domestik yang telah berjanji setia kepada ISIS, serta terkenal karena pemboman dan kebrutalannya.
"Mereka ingin menunjukkan kekuatan dan menabur kekacauan," kata kepala polisi nasional Oscar Albayalde kepada radio DZMM, menunjukkan bahwa Abu Sayyaf adalah tersangka utama.
Filipina bersumpah untuk menghancurkan mereka yang berada di belakang pemboman.
Â
Â
Simak video pilihan berikut:
Pembentukan Otonomi Khusus
Warga sipil menanggung beban terberat dari serangan itu, yang juga menewaskan lima orang tentara. Polisi menurunkan angka kematian dari 27 menjadi 20, setelah menemukan duplikasi dalam catatan awal.
Jolo adalah salah satu wilayah kekuasaan Abu Sayyaf, yang menjalankan operasi pembajakan dan penculikan, tapi sebagian besar berhasil digagalkan oleh pemerintah Filipina.
Kelompok itu, yang beroperasi di perairan dan pulau-pulau di wilayah barat Mindanao, diketahui telah memenggal banyak tawanan asing ketika tuntutan uang tebusan tidak dipenuhi.
Serangan tersebut mengikuti pengumuman Jumat lalu bahwa wilayah itu, yang sebagian besar dihuni oleh komunitas muslim, telah meratifikasi pembentukan daerah otonom bernama Bangsamoro, dengan 85 persen dukungan di belakangnya.
Tanpa melihat keberatan dari wilayah Sulu yang didominasi penduduk Katolik, otonomi khusus itu akan akan sepenuhnya terbentuk pada 2022 mendatang.
Referendum tersebut muncul di tengah kekhawatiran tentang kehadiran para ekstremis di Filipina, dan kemungkinan bahwa pihak radikal asing akan bergabung dengan militan dari Indonesia dan Malaysia, beralih ke Mindanao untuk memanfaatkan perbatasan berpori, hutan dan gunung, serta akses banyak senjata.
Militer Filipina pada pertengahan 2017 menghadapi pertempuran terbesar dan terpanjang sejak Perang Dunia II ketika aliansi ekstremis yang setia kepada ISIS, menyerbu Kota Marawi dan mencoba mendirikan kekhalifahan.
Isnilon Hapilon, seorang pemimpin faksi Abu Sayyaf yang disebut sebagai "emir" (penguasa) Asia Tenggara oleh ISIS--dan diburu oleh Amerika Serikat-- terbunuh dalam pertempuran itu.
Advertisement