Liputan6.com, Tokyo - Wakil Perdana Menteri Jepang, Taro Aso (78), mendapat kecaman luas setelah dituding menyalahkan wanita yang tidak memiliki anak sebagai akar dari menurunnya populasi di negara itu.
Selama pidato di Prefektur Fukuoka di Jepang Selatan, pada Minggu, 3 Februari, Aso menepis lansia sebagai penyebab menurunnya populasi negara. Dia juga menolak pernyataan bahwa kelompok usia tua memicu meningkatnya biaya jaminan sosial
"Ada banyak orang aneh yang mengatakan orang tua yang harus disalahkan, tetapi tuduhan itu jelas salah," kata Aso, yang juga menjabat sebgai menteri keuangan.
Advertisement
"Masalah utamanya adalah pada mereka yang tidak melahirkan," lanjut Aso, sebagaimana dikutip dari CNN pada Selasa (5/2/2019).
Baca Juga
Namun, setelah diserang kritik tajam oleh pihak oposisi di parlemen Jepang selama sesi komite anggaran, Aso mengatakan pada hari Senin, bahwa ia akan menarik kembali pernyataan "jika itu menyebabkan kesalahpahaman."
"Itu memberikan kesan yang salah tanpa menyampaikan arti dari komentar asli saya," kata Aso, tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya ingin dia katakan.
Jepang adalah negara "sangat berumur", yang berarti lebih dari 20 persen dari populasinya berusia di atas 65. Kondisi ini terus memburuk sejak penurunan demografi pertama tercatat sejak 1970-an.
Pada 2017, kurang dari 950.000 bayi lahir, sementara jumlah kematian meningkat menjadi 1,3 juta setelah Perang Dunia II, lapor Kementerian Kesehatan dan Tenaga Kerja Jepang.
Tokyo, sebuah kota berpenduduk lebih dari 9 juta orang, memiliki tingkat kelahiran terendah dari semua 47 prefektur di Jepang, yaitu hanya berkisar pada skala 1,17.
Â
Simak video pilihan berikut:
Bias Gender yang Tidak Disadari
Sejak 1990-an, Jepang telah memperkenalkan kebijakan untuk meningkatkan angka kelahirannya, seperti menambah jumlah layanan penitipan anak, serta memperbanyakan perumahan dan fasilitas umum yang ramah keluarga.
Namun, masalah struktural masih mencegah pria dan wanita yang bekerja, untuk menyeimbangkan antara karir mereka dengan kehidupan berkeluarga.
"Pemerintah seharunya mengupayakan lebih banyak bantuan bagi rumah tangga dalam menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan dan perawatan keluarga, daripada mengutuk wanita," kritik Jeff Kingston, seorang profesor studi Jepang di Temple University.
"Dengan dinosaurus seperti (Aso) berkuasa, memberlakukan kebijakan yang efektif untuk mengurangi tantangan demografis Jepang akan lebih sulit," lanjutnya.
Hanya dalam tiga dekade, persentase wanita Jepang berusia 30 hingga 34 tahun yang kembali menjadi pekerja setelah menjadi ibu, dilaporkan meningkat dari 50 persen menjadi 75 persen, menurut studi sosial terbaru.
Tetapi banyak dari mereka yang kembali bekerja harus menerima upah lebih rendah, atau terjebak pada jenjang karir yang stagnan, menurut sebuah laporan yang diterbitkan pada 2017 oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan.
Jepang berada di peringkat 110 dari 149 negara dalam indeks kesenjangan gender versi global Forum Ekonomi Dunia (WEF) terbaru, yang mengukur kesetaraan dalam dunia kerja.
Advertisement