Liputan6.com, Addis Ababa - Sekilas, tak ada yang perlu dikhawatirkan saat Ethiopian Airlines ET 302 lepas landas dari Bandara Internasional Bole di Addis Ababa, Minggu 10 Maret 2019 pukul 08.38 waktu setempat.
Langit cerah, cuaca ramah, dengan angin yang silir-semilir. Tak ada kabut atau kepulan awan yang menghalangi jarak pandang para penerbang. Visibilitas kala itu mencapai 9.999 meter.Â
Lagipula, durasi penerbangan itu relatif pendek. Hanya dua jam. Penerbangan ET 302 menghubungkan dua ibu kota paling sibuk di Afrika Timur, Addis Ababa, Ethiopia dengan Nairobi, Kenya.Â
Advertisement
Baca Juga
Tak disangka, hal gawat terjadi tak lama setelah roda pesawat ditarik masuk. Situs pemantau penerbangan komersial, FlightRadar24 mencatat ada yang tak beres dengan Boeing 737 MAX 8 itu di menit-menit krusial atau yang disebut 'Critical Eleven'.Â
Disebut juga, Critical 11 Minutes, istilah itu merujuk pada tiga menit pertama setelah lepas landas (take off) dan delapan menit sebelum pendaratan (landing).Â
Seperti dikutip dari situs flightsafety.org, saat itu awak kabin dilarang berkomunikasi dengan kokpit kecuali terkait masalah keselamatan penerbangan dan penumpang. Di sisi lain, para pilot di kokpit dilarang melakukan aktivitas yang tak ada hubungannya dengan mengendalikan pesawat.
"Data dari jaringan ADS-B Flightradar24 menunjukkan bahwa kecepatan vertikal pesawat tidak stabil setelah lepas landas," demikian menurut FlightRadar24 yang bermarkas di Swedia dalam akun Twitter-nya, seperti dikutip dari CNN, Senin (11/3/2019).
Fluktuasinya liar. Dalam tiga menit pertama penerbangan, kecepatan vertikal bervariasi dari nol kaki per menit, menjadi 1.472 kaki/menit, bahkan sempat (minus) -1.920. Ketinggian terakhir pesawat mencapai 8.600 kaki atau 2.600 meter sebelum terjun bebas.Â
Additional data from Flightradar24 ADS-B network show that vertical speed was unstable after take off.Take off 05:38:18 UTCLast position received by FR24 at 05:41:02 UTCPlease note that Addis Ababa airport is located at 7,625 feet AMSL. pic.twitter.com/Uyvfp1x9Xb
— Flightradar24 (@flightradar24) 10 Maret 2019
Ketinggian minus dimungkinkan, sebab titik nol yakni Bandara Bole, berada di ketinggian ‎7.625 kaki atau 2.334 meter di atas permukaan laut.Â
Kapal terbang itu berjuang keras untuk naik dengan kecepatan stabil. Namun gagal. "Selama lepas landas, penerbang pasti mengharapkan indikasi kecepatan vertikal positif yang berkelanjutan," kata Ian Petchenik, juru bicara FlightRadar24 seperti dikutip dari New York Times.
Sang pilot, Kapten Yared Getachew kemudian mengirimkan panggilan darurat (distress call) kepada pemandu lalu lintas udara atau air traffic controller (ATC). Ia meminta izin untuk kembali ke Addis Ababa. Permintaan diterima. Namun, kapal terbang itu tak pernah balik kanan.
Pada pukul 08.44, Ethiopian Airlines Penerbangan ET 302 hilang kontak dengan ATC, hanya enam menit setelah mengudara.
Pesawat dengan nomor registrasi ET-AVJ itu berakhir di sebidang tanah di dekat kota Bishoftu, yang berjarak 62 kilometer tenggara Addis Ababa.
"Pesawat itu sudah terbakar ketika jatuh ke tanah. Dampak kecelakaan itu memicu ledakan besar," kata saksi mata, Tegegn Dechasa, seperti dikutip dari Straits Times. "Kebakaran terjadi di bagian belakang. Pesawat itu bergerak liar sebelum celaka."
Sementara, petani setempat, Sisay Gemechu menduga, pilot pesawat Ethiopian Airlines berniat mendaratkan pesawat di lapangan terbuka terdekat. "Namun celaka sebelum tiba di sana." Tak ada yang selamat dari 157 awak dan penumpangnya.
Misteri Penyebab Kecelakaan
Saat tim penanganan darurat datang, asap masih mengepul di kawah lebar yang tiba-tiba terbentuk sebagai dampak tumbukan.Â
Para petugas menaikkan tas-tas hitam, dalam aneka bentuk, ke dalam sebuah truk. Sementara, puing-puing pesawat dan barang-barang milik penumpang berserakan. Ada rokok, sepatu, serbet yang menyandang logo Ethiopian Airlines...
Tak lama setelah kecelakaan, CEO Ethiopian Airlines, Tewolde GebreMariam mengunjungi lokasi kejadian.Â
Accident Bulletin no. 2Issued on march 10, 2019 at 01:46 PM pic.twitter.com/KFKX6h2mxJ
— Ethiopian Airlines (@flyethiopian) 10 Maret 2019
Menurut dia, adalah tidak mungkin untuk mengidentifikasi, apakah kapal terbang celaka saat mencoba melakukan pendaratan darurat atau jatuh begitu saja. "(Badan) pesawat kini ada di dalam tanah," tambah dia.
GebreMariam mengaku tak punya petunjuk terkait apa gerangan yang memicu kecelakaan pesawatnya. Ethiopian Airlines punya reputasi yang baik soal keselamatan penerbangan, meski pada 2010, salah satu kapal terbangnya celaka di Laut Mediterania sesaat setelah meninggalkan Beirut.
Apalagi, pilot yang memegang kemudi ET 302 sudah mencatatkan 8.000 jam terbang. "Ia punya catatan terbang yang sempurna," kata dia. Meski, pengalaman kopilotnya tak imbang. Ahmed Nur Mohammod Nur baru mengumpulkan 200 jam terbang.Â
Selain itu, GebreMariam menambahkan, pengecekan rutin tak mengungkap adanya permasalahan teknis.
"Itu adalah pesawat baru tanpa masalah teknis, diterbangkan pilot senior," kata sang CEO.Â
Pesawat Boeing 737 MAX 8 baru dikirim ke Ethiopian Airlines pada November 2018. Masih gres.Â
GebreMariam juga mengkonfirmasi bahwa perusahaannya memiliki 6 pesawat Boeing 737 MAX 8, termasuk ET858, yang diterbangkan dari Johannesburg ke Addis Ababa pada Minggu pagi.
Kecelakaan yang menimpa Ethiopian Airlines membuat keselamatan Boeing 737 MAX 8 dipertanyakan.Â
Apalagi kurang dari enam bulan sebelumnya, pesawat serupa yang digunakan dalam penerbangan Lion Air JT 610 celaka di Laut Jawa pada Oktober 2018, 13 menit setelah lepas landas dari Jakarta menuju Pangkalpinang. Sebanyak 189 meninggal dunia saat itu.Â
Kecelakaan Lion Air juga terjadi beberapa saat setelah take off dan pasca-pilot meminta izin kembali ke bandara awal.
Menyoal Primadona Boeing
Pesawat jenis 737 MAX adalah primadona bikinan Boeing. Paling populer, punya teknologinya termutakhir, lebih nyaman buat penumpang, memiliki jangkauan luar biasa, fleksibel, efisien, juga ramah lingkungan. Dan yang jelas, laku keras!
"Pesawat 737 MAX adalah pesawat paling cepat terjual dalam sejarah Boeing. Telah dipesan lebih dari 4.700 unit dari 100 konsumen dari seluruh dunia," demikian dikutip dari Boeing.com.
Namun dua kecelakaan yang melibatkan Boeing 737 MAX 8, yang bisa menampung maksimal 210 penumpang, membuat keselamatan pesawat jenis itu dipertanyakan. Apalagi selisihnya hanya lima bulan.
Kedua pesawat nahas sama-sama celaka sesaat setelah lepas landas, Ethiopian Airlines dalam enam menit, sementara Lion Air 13 menit. Kondisinya masih bagus, menempuh jarak pendek, dan tak ada yang selamat dalam musibah yang menimpanya.
Pilot yang mengendalikan kedua pesawat sama-sama minta izin kembali ke bandara awal atau return to base. Dua penerbangan mengalami fluktuasi kecepatan drastis selama naik (climb).Â
Bedanya, Lion Air jatuh di laut, sementara Ethiopian Airlines di darat. Dan tak seperti dengan maskapai asal Indonesia, ET 302 tak melaporkan adanya kerusakan teknis.Â
Masih terlalu dini untuk menuding salah satu faktor jadi penyebab kecelakaan. Para penyelidik, yang dipimpin aparat Ethiopia, yang berkoordinasi dengan tim ahli dari Boeing dan US National Transportation Safety Board akan segera menyelidiki semua kemungkinan.
Apalagi kotak hitam pesawat, perekam data penerbangan dan suara kokpit telah dievakuasi dari lokasi kecelakaan.
Para ahli juga memperingatkan, meski pesawat Lion Air dan Ethiopian Airlines punya jenis yang sama, bukan berarti alasan keduanya jatuh pasti serupa.Â
"Membandingkannya dengan kecelakaan yang menimpa Lion Air sangat menggoda, karena profilnya terlihat mirip, namun bisa jadi salah kaprah. Kita masih berada dalam tahap prematur," kata Robert Ditchey, mantan pilot US Navy dan eksekutif maskapai yang kini menjadi konsultan penerbangan, seperti dikutip dari USA Today.
"Ini adalah pukulan bagi Boeing, tetapi kita belum bisa serta-merta menyalahkan Boeing. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin tak ada kaitannya dengan pesawat itu sendiri, melainkan kebetulan semata."
Senada, pengamat penerbangan Indonesia, Chappy Hakim menggarisbawahi bahwa memang ada kesamaan hal antara kecelakaan Ethiopian Airlines ET 302 dengan Lion Air JT 610.
Namun, Chappy mengimbau agar publik tidak serta merta memukul rata kedua kecelakaan untuk kemudian sampai ke kesimpulan yang tendensius dan menyudutkan berbagai pihak.
"Begini, bahwa iya kebetulan kedua kecelakaan terjadi pada pesawat yang sama (Boeing 737 MAX 8), benar juga bahwa keduanya jatuh pada critical minutes setelah take off, dan betul bahwa semua penumpang tewas dalam kecelakaan itu --tanpa mengurangi rasa duka dan hormat kepada keluarga korban," kata Chappy saat dihubungi Liputan6.com, Senin (11/3/2019).
"Tapi, untuk sampai pada kesimpulan akhir atau menyebut bahwa ada kerusakan dan penyebab serupa, dan ini sama seperti yang saya katakan saat tragedi JT 610, maka, perlu adanya penyelidikan menyeluruh dan komplet atas hal itu," jelasnya. "Hingga ada hasil penyelidikan menyeluruh, semua itu hanya perkiraan."
Soal analisis awalnya terkait kecelakaan Ethiopian Airlines, Chappy memperkirakan bahwa "mungkin" terjadi ketidakberfungsian dari sensor Angle of Attack (AOA) yang membaca kondisi stall pesawat --sama seperti bagaimana hal itu terjadi pada Lion Air JT 610.
"Saya lihat begitu dan publik pun, termasuk media, mulai mengarah ke hal demikian," jelasnya.
Ketika sistem komputer pesawat mendeteksi pesawat berada dalam kondisi stall, hal itu akan secara otomatis memicu respons, seperti menurunkan hidung pesawat (nosedive), untuk mencegah atau keluar kondisi stall.
Dalam dinamika aviasi, stall adalah pengurangan koefisien gaya angkat yang dihasilkan oleh foil sebagai Angle of Attack (AOA) yang bertambah dari batas normal. Hal ini terjadi ketika sudut kritis AOA pada foil itu telah melewati batas wajar.
Demi keluar dari stall, pilot biasanya meningkatkan AOA dan sudut kritis AOA dengan tujuan untuk memperlambat kecepatan stall dalam level flight.
Namun, jika langkah antisipasi tidak dilakukan, kondisi stall mengakibatkan airflow menjadi terpisah dari airfoil. Itu akan memicu pesawat mengalami hentakan (buffeting) atau perubahan attitude (perubahan pada rotasi tiga dimensi sudut) --yang salah satunya adalah penurunan altitude secara mendadak
"Orang selama ini mengatakan, ternyata sensornya salah, automatic safety devices-nya juga, dan itu mungkin yang terjadi pada Lion (Air), itu yang mungkin terjadi pada Ethiopian (Airlines)," kata Chappy.
"Tapi itu harus dibuktikan lewat investigasi yang menyeluruh dahulu. Apakah sudah ada? Belum, termasuk Lion Air JT610 yang masih tahap preliminary. Jadi enggak bisa terburu-buru menyimpulkan dan dengan cepat menyebut kedua hal sama," jelasnya.
Chappy juga menilai bahwa "tidak tertutup kemungkinan ada faktor lain" dalam kecelakaan Ethiopian Airlines. "Selain faktor di Boeing misalnya, ada faktor lain seperti di pihak maskapai, pilot, maintenance, dan lain-lain, dan lain-lain..."
Sebaliknya, Thomas Anthony, direktur Program Keselamatan dan Keamanan Penerbangan di University of Southern California, mempertanyakan apakah otoritas penerbangan nasional Amerika Serikat atau Federal Aviation Administration (FAA) punya sumber daya dan pengaruh politik ke raksasa industri penerbangan sekelas Boeing -- yang bersaing sengit untuk memperebutkan supremasi dengan produsen pesawat terbang Eropa: Airbus.
Ia menambahkan, fakta bahwa tidak ada kecelakaan fatal dari maskapai besar AS dalam lebih dari 10 tahun telah mengurangi dorongan untuk membuat regulasi yang ketat. Padahal, inovasi teknologi mutlak membutuhkan pengawasan.Â
"Catatan keselamatan Boeing sangat bagus, tetapi setiap kali pesawat baru dikeluarkan, sejatinya ada masalah," kata Anthony seperti dikutip dari USA Today. "Adakah perubahan yang berisiko bahaya, dan apakah kita memiliki sumber daya di FAA untuk dapat mengawasinya?"
Pengamat industri percaya bahwa FAA tidak mungkin memberlakukan larangan terbang pada MAX 8 kecuali jika menemukan bukti kuat bahwa pembuatan atau desainnya berkontribusi terhadap kecelakaan.
"Ini sangat mencurigakan," demikian menurut Mary Schiavo, mantan Inspektur Jenderal Departemen Transportasi AS atau US Transportation Department kepada CNN.
"Ada pesawat baru yang jatuh dua kali dalam setahun. Itu membunyikan alarm di industri penerbangan." Sinyal waspada.
Setelah kecelakaan Oktober lalu, Boeing mengirim pemberitahuan darurat ke perusahaan penerbangan untuk memperingatkan tentang masalah terkait sistem anti-stall.
Boeing diperkirakan akan merilis tambalan perangkat lunak ke sistemnya untuk menangani masalah tersebut.Â
Larangan Terbang Sementara
Sebagai langkah pencegahan, Ethiopian Airlines menghentikan pemakaian Boeing 737 MAX 8 miliknya, menyusul langkah China yang lebih dulu membuat keputusan untuk mengandangkan lebih dari 90 kapal terbang jenis itu.
"Meski kami belum tahu penyebab kecelakaan, kami memutuskan tidak menerbangkan armada tersebut sebagai langkah pencegahan ekstra," demikian diumumkan pihak maskapai Ethiopian Airlines.
Cayman Airways juga tak menerbangkan dua pesawat sejenis. Langkah itu kemudian diambil Kementerian Perhubungan RI. Maskapai yang menggunakan Boeing 737 MAX 8 adalah Garuda Indonesia sebanyak satu unit, dan Lion Air yang punya 10 unit.
Seperti dikutip dari BBC, pesawat Boeing 737 MAX 8 masih digunakan oleh sejumlah maskapai, terutama di Amerika Serikat, seperti American Airlines, Southwest Airlines, dan United Airlines.
Maskapai lain yang juga menggunakan pesawat sejenis untuk penerbangan internasional adalah AerolÃneas Argentinas, Air China, Icelandair dan LOT Polish Airlines.
Terkait keputusan menggunakan atau mengandangkan Boeing 737 MAX 8, menurut Chappy Hakim, itu adalah hak otoritas terkait.Â
"Hanya, otoritas penerbangan harus beralasan dalam menerapkan penangguhan itu, harus tahu sampai kapan, dan harus punya referensi pada hasil penyelidikan yang menyeluruh," tambahnya.
"Tapi ingat, dari sekian banyak pengguna MAX 8, sampai saat ini, hanya Lion Air dan Ethiopian yang celaka." Meski, ia menambahkan, wajar juga jika penangguhan kemudian diterapkan demi safety concern atau kekhawatiran publik atas keselamatan penerbangan.
Secara terpisah, Ketua Sub-Komite Investigasi Keselamatan Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo mengaku pihaknya belum mendapatkan data maupun informasi terkait kecelakaan Ethiopian Airlines.Â
Sementara, saat ditanya soal perkembangan investigasi KNKT soal kecelakaan Lion Air, Nurcahyo mengaku belum ada hasil pasti. "Belum. Belum. Masih jauh," tambah dia.Â
Advertisement
Selamat Karena Terlambat
Antonis Mavropoulos marah besar. Ia gagal naik pesawat menuju Nairobi, Kenya. Padahal, ia hanya telat sebentar. Dua menit.Â
"Tidak ada satu pun orang yang membantu saya mencapai gate keberangkatan tepat waktu," ujar Mavropoulos, seperti dikutip Arab News. Pria itu kesal bukan kepalang pada petugas yang ngotot memeriksa identitasnya dengan rinci.Â
Mavropoulos adalah Presiden International Solid Waste Association, sebuah organisasi nirlaba. Ia hendak menuju Nairobi guna menghadiri pertemuan tahunan Program Lingkungan PBB.
Terlanjur telat. Mavropoulos memutuskan untuk memesan penerbangan berikutnya. Namun, ia dicegah oleh staf bandara saat hendak menaiki kapal terbang.
"Mereka membawa saya ke kantor polisi bandara. Petugas mengatakan kepada saya untuk tidak protes. Saya justru diminta berdoa pada Tuhan," kata dia.Â
Saat itu, ia sadar, keterlambatannya yang bikin darah naik ke ubun-ubun, justru menyelamatkan jiwanya.
"Ternyata, saya adalah penumpang yang selamat dari penerbangan Ethiopian Airlines ET 302," kata Mavropoulos.
Kesialannya ternyata adalah hari keberuntungan buat pria Yunani itu.Â
Ahmed Khalid juga lolos dari maut. Pria Dubai itu tak naik Ethiopian Airlines ET 302 gara-gara pesawat yang membawanya ke Addis Ababa mengalami delay. Ia naik penerbangan berikut yang dijadwalkan pukul 11.00.
Saat menanti pesawatnya itu, Khalid merasa ada yang tak beres. Penumpang lain pun curiga, sesuatu sedang terjadi.
"Setiap orang berusaha bertanya pada awak kabin, apa yang sedang terjadi. Namun mereka tak mau berkata apapun," kata dia pada surat kabar The National.
Para staf berusaha menghindar. Hingga akhirnya salah satu penumpang melihat ponsel dan mendapat informasi bahwa pesawat pertama ke Nairobi celaka enam menit setelah lepas landas.
Sang ayah yang menantinya di Nairobi cemas bukan kepalang. Jantung pria paro baya itu nyaris copot, saat mendengar kabar kecelakaan pesawat yang seharusnya membawa putranya.
"Aku terkejut bukan kepalang. Untungnya, tak lama kemudian, putraku menelepon dan mengabarkan bahwa ia masih ada di Addis Ababa. Tidak naik ke penerbangan itu," kata Khalid Ali Abdulrahman.Â
Pihak berwenang mengatakan, semua 157 orang di dalam Boeing 737 MAX 8 itu tak ada yang selamat.
Menurut Ethiopian Airlines, para penumpangnya setidaknya berasal dari 30 negara.
Korban tewas termasuk setidaknya 32 warga Kenya, 18 orang Kanada, masing-masing sembilan dari Ethiopia dan Prancis.
Sementara ada delapan korban asal Amerika Serikat. China dan Italia juga kehilangan warga dalam jumlah sama. Tujuh orang berasal dari Inggris.
Sebanyak 19 orang yang berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dilaporkan tewas dalam tragedi jatuhnya pesawat Ethiopian Airlines. Salah satunya, Harina Hafitz, salah seorang staf pada Program Pangan Dunia (WFP) yang berbasis di Roma, Italia.
Tak terkira hancurnya hati keluarga dan orang-orang terdekat saat mendengar kabar duka itu. Tangisan pecah di ruang tunggu bandara.Â
Salah satu kisah memilukan dialami anggota parlemen Slovakia, Anton Hrnko.
"Dengan kesedihan yang mendalam saya mengumumkan bahwa istri saya tercinta, Blanka, putra saya Martin dan putri saya Michala, meninggal dalam kecelakaan udara di Addis Ababa pagi ini," tulisnya di Facebook.
Â
Simak video pilihan berikut: