Liputan6.com, Wellington - Pascainsiden penembakan dua masjid di Christchurch pada Jumat 15 Maret 2019 lalu, pemerintah Negeri Kiwi memberlakukan kebijakan baru terkait operasi rahasia. Menteri Intelijen Selandia Baru, Rabu 27 Maret 2019, mengatakan bahwa ia mengizinkan agen mata-mata untuk melakukan pengintaian secara efektif dan menyeluruh.
Kebijakan itu menyusul langkah pemerintah yang mempertanyakan apakah badan intelijen negara Pasifik Selatan dapat mencegah serangan serupa. Hal itu mengingat banyak kritik dilancarkan, menyinggung kekerasan supremasi kulit putih yang luput dari perhatian karena terlalu berfokus pada ekstremis Muslim.
Â
Advertisement
Baca Juga
Andrew Little, menteri yang bertanggung jawab atas Biro Komunikasi Keamanan Pemerintah (GCSB) dan Layanan Intelijen Rahasia (SIS) Selandia Baru, mengatakan bahwa ia telah menandatangani surat perintah pengintaian yang kuat tersebut, mengutip Channel News Asia pada Rabu (27/3/2019).
"Saya telah melimpahkan wewenang kepada agensi untuk melakukan kegiatan pengintaian di bawah surat perintah, jumlah orang (agennya) tidak bisa saya sebutkan," katanya kepada Radio Selandia Baru.
Pada operasi intelijen Selandia Baru biasanya, terdapat 30 hingga 40 agen yang terlibat, namun saat ini jumlah tersebut telah meningkat. Meski demikian, jumlah pasti tetap tidak disampaikan secara eksplisit.
Â
Simak pula video pilihan berikut:
Pengintaian Menyeluruh
Dalam kesempatan yang sama, Little mengatakan bahwa surat perintah yang telah ditandatangani itu akan mengizinkan tindakan apapun terkait dengan operasi. Maksudnya, pengawasan dilakukan baik secara fisik maupun pemantauan aktivitas telekomunikasi.
"Seluruh langkah yang akan digambarkan sebagai aktivitas yang intrusif (mengganggu)," katanya kepada media New Zealand Herald.
Hal itu menurutnya dilakukan agar upaya prefentif dapat dilakukan secara maksimal.
"Tujuan dari surat perintah ini adalah untuk melegalkan dan secara efektif membuatnya berkekuatan hukum, dibandingkan dengan aktifitas yang (bisa jadi dianggap sebagai) aktivitas melanggar hukum," imbuhnya.
Sumber yang sama kembali membantah dengan tegas terkait anggapan bahwa Selandia Baru merupakan "target empuk" untuk pelaku serangan, khususnya jika berkaca pada tindakan teror yang dilakukan oleh Brenton Tarrant, warga negara Australia beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan bahwa terlalu dini jika menganggap dinas intelijen dan otoritas Selandia Baru telah gagal menangkal serangan.
"Hingga terdapat hal mendetail tentang apa yang telah dilakukan oleh agensi dan apa yang telah mereka lewatkan," katanya.
"Sangat penting bagi saya, para agensi, tetapi pada akhirnya kami ingin membuat publik percaya bahwa kami membiarkan komisi penyelidikan melakukan tugasnya dan mencapai kesimpulannya," pungkasnya.
Advertisement