Liputan6.com, Tripoli - Para ahli PBB sedang menyelidiki serangan rudal bulan lalu di Libya yang diduga melibatkan rudal dan drone buatan China.
Sebuah laporan yang bocor, yang dibuat oleh panel ahli kepada Dewan Keamanan PBB telah mengidentifikasi rudal air-to-surface Blue Arrow buatan China, menurut laporan AFP.
Serangan mematikan di pinggiran selatan Tripoli menewaskan sedikitnya 227 orang dan melukai lebih dari 1.000, menurut para pejabat, ketika pasukan yang setia kepada figur militer pemberontak, Jenderal Khalifa Haftar berjuang untuk merebut ibu kota dari pemerintah yang diakui PBB.
Advertisement
Panel PBB mengatakan, "hampir pasti" bahwa rudal yang digunakan dalam serangan itu dipasok secara tidak langsung oleh pabrikan, atau oleh China, ke Libya. Mereka telah meminta informasi dari China untuk membantu mengidentifikasi pemasok.
Baca Juga
Panel PBB juga menyelidiki penggunaan pesawat tak berawak buatan Tiongkok dan kemungkinan peran Uni Emirat Arab (UEA) dalam misi maut yang dilakukan oleh Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Haftar.
"Dugaan penggunaan varian pesawat udara tak berawak (UAV) Wing Loong oleh Tentara Nasional Libya (LNA), atau oleh pihak ketiga untuk mendukung LNA," sedang diselidiki oleh panel, menurut laporan yang akan diterima Dewan Keamanan PBB pada Kamis 9 Mei 2019 mendatang, seperti dikutip dari The South China Morning Post, Rabu (8/5/2019).
Wing Loong adalah drone dengan daya tahan lama di ketinggian sedang yang dikembangkan oleh Chengdu Aircraft Industry Group (CAIG).
Penggunaan drone itu "kemungkinan merupakan sebuah ketidakpatuhan baru atas regulasi embargo senjata ... sistem senjata yang dilaporkan juga belum diidentifikasi di Libya sebelumnya", kata para ahli.
Menurut laporan, UAV itu dioperasikan oleh pemerintah UEA dan dilaporkan terlihat berputar-putar di atas ibukota Libya selama penyerbuan malam dalam beberapa hari terakhir.
Armada drone UEA termasuk pesawat CAIG Wing Loong dan Wing Loong II.
Kata Analis
Jack Watling, seorang peneliti di Royal United Services Institute, mengatakan kedua jenis drone telah digunakan secara luas oleh UEA di Yaman, dan di Libya selama 18 bulan terakhir.
"Awalnya, drone tersebut dibuat untuk pengawasan, tetapi dengan cepat beralih ke operasi tempur, terutama pembunuhan Saleh al-Samad (di Yaman) pada April 2018," kata Watling, merujuk pada mantan pemimpin sipil terkemuka dalam gerakan bersenjata Houthi di Yaman.
"Ketertarikan pada UAV Tiongkok tentu saja dipercepat karena AS menolak untuk mengekspor drone Predator dan Reaper bersenjata ke wilayah tersebut. Sebagian diharapkan bahwa membeli UAV China akan mendorong AS untuk mengubah kebijakan."
Dia mengatakan kebijakan AS telah berubah untuk memungkinkan ekspor drone bersenjata.
Timothy Heath, analis senior penelitian pertahanan internasional di think tank AS Rand Corporation, mengatakan pesawat tak berawak China "lebih mudah diperoleh ... daripada dari AS".
"Pihak berwenang AS khawatir bahwa dalam beberapa kasus drone dapat digunakan secara tidak tepat untuk membunuh para pembangkang politik, kelompok minoritas, atau kelompok lain yang mungkin menentang rezim tetapi tidak melalui kekerasan bersenjata," kata Heath.
"Tapi Tiongkok tidak memiliki batasan. Senjata tersedia untuk rezim apa pun, tidak peduli seberapa brutal atau kejamnya," kata Heath.
"Drone bersenjata Tiongkok menarik karena jauh lebih murah daripada drone buatan AS, dan mereka bekerja dengan cukup baik."
Bruce Bennett, seorang peneliti pertahanan senior di Rand Corporation, juga mengatakan: "China telah agresif dalam memasarkan drone di berbagai pertunjukan udara, sementara AS telah berbuat lebih banyak untuk menahan produsen drone-nya."
"Penyebaran drone China ke berbagai negara adalah masalah pasokan yang sebagian besar tidak terkendali ... China cenderung menangkap lebih banyak penjualan drone global," kata Bennett.
Memang, pada Agustus tahun lalu, pemberontak Houthi di Yaman mengatakan para pejuang mereka telah menembak jatuh sebuah pesawat tak berawak CH-4B bersenjata --juga diproduksi di China-- milik Angkatan Udara Kerajaan Saudi.
Para analis memperingatkan penggunaan senjata buatan China itu kemungkinan akan tumbuh di masa depan.
Advertisement
Pertempuran Terbaru dalam Perang Saudara Libya Tewaskan 200 Orang
Sebanyak hampir 200 orang dinyatakan tewas, dan lebih dari 1.000 lainnya terluka, dalam gelombang pertempuran terbaru di Libya, kata para pejabat lokal pada akhir pekan lalu.
Serangan terbaru itu merupakan upaya merebut kendali ibu kota Tripoli oleh Khalifa Haftar, seorang komandan militer yang berbasis di timur negara itu.
Dikutip dari The Guardian pada Senin (6/5/2019), perang saudara antara asukan Haftar dan pemerintah nasionalis Libya telah memasuki bulan kedua saat ini.
Di saat bersamaan, muncul banyak kekhawatiran akan kebuntuan berdarah yang berisiko merenggut nyawa banyak warga sipil dan pejuang dari masing-masing kelompok berperang.
Haftar telah mendesak pasukannya untuk "memberikan pelajaran yang lebih besar kepada musuh" selama puasa Ramadan. Dia juga menegaskan bahwa bulan suci tersebut bukan alasan untuk menghentikan pertempuran sebelumnya di kota-kota timur Benghazi dan Derna.
Komentarnya itu datang hanya beberapa jam setelah PBB menyerukan gencatan senjata di Libya selama sepekan.
Serangan Haftar ditujukan untuk menjatuhkan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui PBB di Tripoli, serta mendapat dukungan dari Arab Saudi dan Mesir.
Pekan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan perkiraan korban yang lebih tinggi dari yang disampaikan oleh kementerian kesehatan GNA pada hari Minggu, bahwa 392 orang telah terbunuh dan sekitar 2.000 lainnya terluka, dalam bentrokan senjata yang masih berlangsung di selatan Tripoli.
"Jumlah pengungsi karena bentrokan ini telah meningkat menjadi sekitar 50.000 orang, yang menyebar antara Tripoli dan kota-kota lain di wilayah barat," twit WHO.