Liputan6.com, Jakarta - Sejak pertama kali masuk dalam bidikan teleskop Galileo pada tahun 1610, Saturnus sudah menarik perhatian berkat cicin misterius yang mengitarinya.
Selama empat abad, para astronom telah meneliti hal tersebut. Hingga akhirnya, upaya terbaik sejauh ini telah ditemukan dalam sebuah penelitian pada Januari 2011 lalu.
Robin Canup di Southwest Research Institute di Boulder, Colorado menerbitkan teori baru tentang pembentukan cincin Saturnus di jurnal Nature, demikian dikutip dari laman Livesciense, Rabu (10/7/2019).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Canup, cincin yang terbentuk di Saturnus merupakan sisa-sisa benda langit yang dahulunya mengitari planet tersebut.
Ribuan atau bahkan jutaan benda langit itu terkoyak lalu berbaur mengitari Saturnus sehingga terbentuklah lingkaran menyerupai cincin (meskipun itu berupa bebatuan kecil dan bukan cincin sungguhan).
Diprediksi, cincin yang melingkari Saturnus telah terbentuk sejak 4,5 miliar tahun yang lalu. Mulanya, satelit alami di Saturnus berputar ke dalam. Setelah itu, gravitasi Saturnus merobek lapisan luarnya secara perlahan sehingga membuat penampakannya seperti saat ini.
Setelah 10.000 tahun, satelit itu hancur dan melebur menjadi bebatuan kecil yang tampak menyerupai cincin.
Canup membuat model komputer yang mensimulasikan rangkaian planet ini. Model teori itu menjelaskan fakta bahwa 90 sampai 95 persen cincin Saturnus terdiri dari es. Meskipun cincin ini telah dicemari oleh debu dan puing-puing angkasa luar.
Menurut Larry Esposito, seorang astronom planet terkemuka yang mengerjakan Misi Cassini NASA untuk Saturnus, model-model sebelumnya menyatakan bahwa cincin Saturnus berasal dari bulan kecil atau komet yang lewat yang tercabik-cabik oleh gravitasi planet.
Namun, gagasan itu gagal menjelaskan mengapa cincin itu sangat dingin, karena bulan dan komet mengandung banyak batuan panas.
Teori "es" Canup dinilai berhasil. "Dia telah menemukan cara yang sangat cerdas untuk menjelaskan komposisi cincin itu," kata Esposito kepada Life's Little Mysteries.
Saturnus Bisa Dilihat Jelas dari Bumi Malam Ini
Kabar teranyar soal planet ini yaitu bisa dilihat malam ini, 10 Juli 2019. Disebutkan bahwa Saturnus berada di oposisi (purnama), yaitu berada di satu garis lurus dengan Bumi dan Matahari.
Posisi tersebut kemudian disebut dengan Oposisi Saturnus. Dengan demikian, ukuran nyata planet ini akan tampak besar dari Bumi dan cahayanya bersinar cerah di langit.
Bila dibandingkan dengan 21 bintang paling terang, Saturnus akan berada di peringkat ketujuh, hanya sedikit lebih redup daripada Capella di Auriga, dan sedikit lebih terang daripada Rigel di Orion.
Planet Saturnus berada di atas cakrawala sepanjang malam, dimulai dengan terbit dari tenggara bersamaan dengan terbenamnya matahari hingga menghilang di barat daya saat menjelang dini hari.
Menurut keterangan dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, Saturnus bisa disaksikan dengan mata telanjang, namun ia hanya muncul sebagai bintang yang sangat terang, berwarna kuning-putih dengan cahaya stabil di sisi kiri atas, yang kemudian dikenal sebagai "Teapot" di rasi Sagittarius --dekat dengan arah pusat Bimasakti.
"Bila dilihat dengan teleskop, maka cincinnya akan terlihat," ujar Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin kepada Liputan6.com.
Oposisi Saturnus bakal jelas terlihat sekitar jam 20.00 sampai 04.00 WIB, dan akan terlihat lumayan terang di sebelah timur, berwarna kekuningan dan tidak berkedip seperti bintang.
Advertisement