Liputan6.com, Jakarta - Emoji jari yang kerap dianggap sebagai tanda 'OK' kini telah ditambahkan ke daftar simbol kebencian.
"Simbol ibu jari dan jempol - merupakan emoji populer - yang digunakan oleh beberapa orang sebagai 'ekspresi tulus supremasi kulit putih'," menurut sebuah organisasi internasional non-pemerintahan Yahudi berbasis di Amerika Serikat, Anti-Defamation League (ADL) seperti dikutip dari BBC, Sabtu (28/9/2019).
Baca Juga
Tetapi kelompok anti-kebencian AS itu mengatakan mayoritas penggunaan isyarat tangan dengan simbol tersebut saat ini masih merujuk sebagai tanda persetujuan atau bahwa seseorang baik-baik saja. Oleh karena itu, perlu perhatian khusus agar tak serta merta menyimpulkan maksud seseorang yang menggunakan simbol demikian.
Advertisement
Simbol lain yang ditambahkan ke daftar kebencian tersebut termasuk simbol neo-Nazi, gambar "Happy Merchant" dan slogan "Keragaman = Genosida Putih".
Anti-Defamation League memulai daftar Hate on Display pada tahun 2000, dengan tujuan membantu orang mengenali tanda-tanda ekstremisme.
Sekarang sudah ada lebih dari 200 entri, termasuk simbol swastika dan tanda silang Ku Klux Klan.
"Bahkan ketika para ekstremis terus menggunakan simbol yang mungkin berusia bertahun-tahun atau puluhan tahun, mereka secara teratur membuat simbol, meme, dan slogan baru untuk mengekspresikan sentimen kebencian mereka," kata bos ADL, Jonathan Greenblatt.
"Kami percaya penegakan hukum dan masyarakat perlu diberi informasi lengkap tentang makna gambar-gambar ini, yang dapat berfungsi sebagai tanda peringatan pertama terhadap keberadaan pembenci di komunitas atau sekolah."
ADL mengatakan simbol 'OK' telah menjadi "taktik trolling populer" dari "individu yang condong ke kanan, yang sering memposting foto ke media sosial dari diri mereka berpose sambil menunjukkan simbol tersebut".
Awal Mula Perubahan Makna
Bermula dari lelucon online dari situs berbagi gambar 4Chan - menggunakan isyarat tidak bersalah dan seolah-olah ada makna tersembunyi di baliknya, berharap untuk menipu media dan membuat orang-orang yang condong ke kiri menjadi marah.
Tapi lelucon itu begitu sukses dan tersebar luas di kalangan sayap kanan, sehingga banyak yang percaya tanda 'OK' itu mengubah makna.
Pria yang dituduh membunuh 51 orang di masjid Christchurch, Selandia Baru, awal tahun ini juga kedapatan menggunakan simbol OK ketika berada di pengadilan. Dia mengaku tidak bersalah atas pembunuhan.
Sementara itu, Dr Paul Stocker, seorang sejarawan yang berspesialisasi dalam gerakan sayap kanan, mengatakan tanda OK adalah cara orang yang berada di sayap kanan untuk berkomunikasi satu sama lain.
"Ini adalah pesan kode untuk orang-orang yang tahu dan memahami apa yang dilakukan sayap kanan," katanya kepada Radio 1 Newsbeat.
"Simbol itu menunjukkan kepada pendukung inti bahwa mereka adalah salah satu dari mereka."
Menurut sang penulis, sejatinya sudah biasa bagi kelompok-kelompok ekstremis menggunakan tanda familiar di publik dan memutarbalikkan artinya.
"Proses menemukan simbol telah dipercepat dengan alt-right atau alternative right (sayap kanan alternatif). Mereka beroperasi terutama online dan menggunakan bahasa kode dan meme yang mungkin tampak tidak berbahaya, tetapi jika Anda menelusuri mereka, mereka memiliki makna."
Alternative right (sayap kanan alternatif) adalah sekelompok orang dengan ideologi kanan jauh yang menyangkal arus utama konservatisme di Amerika Serikat. Anggota supremasi kulit putih Richard Spencer mencetuskan istilah tersebut pada 2010 untuk mengartikan sebuah gerakan yang berpusat pada nasionalisme kulit putih, dan yang dituduh melakukan pencucian putih terhadap rasisme, supremasisme kulit putih, dan neo-Nazisme.
Advertisement
Masih Bermakna Tradisional
Kendati demikian, sejauh ini ADL sangat menekankan bahwa simbol 'OK' itu lebih sering diartikan bahwa 'semuanya baik-baik saja'.
"Mayoritas penggunaan simbol itu saat ini masih tradisional. Akibatnya, seseorang yang menggunakan tanda tersebut tidak dapat diasumsikan menggunakan simbol dalam konteks supremasi kulit putih atau trolling."