Buruh Pabrik Bangladesh Pemasok Tekstil untuk Merk Kanada Diduga Alami Kekerasan

Merek pakaian olahraga Lululemon yang berasal dari Kanada adalah perusahaan terbaru yang terlibat dalam tuduhan pelecehan terhadap pekerja perempuan di pabrik-pabrik Bangladesh yang memasok label mereka.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Okt 2019, 14:00 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2019, 14:00 WIB
Bendera Bangladesh (Pixabay)
Bendera Bangladesh (Pixabay)

Liputan6.com, Dhaka - Setidaknya salah satu pakaian di lemari anda diproduksi di sebuah pabrik di Bangladesh. Tapi tahukah anda kekerasan terhadap pekerja garmen terjadi di sana?

Merek pakaian olahraga Lululemon yang berasal dari Kanada adalah perusahaan terbaru yang terlibat dalam tuduhan pelecehan terhadap pekerja perempuan di pabrik-pabrik Bangladesh yang memasok label mereka.

Industri ekspor pakaian jadi Bangladesh tengah meningkat meski terjadi kecelakaan mengerikan di tempat kerja dan ada bukti bahwa perlakuan buruk terhadap pekerja tersebar luas di pabrik-pabrik yang memasok merek-merek fashion kelas atas.

Sebuah laporan baru dari The Guardian menemukan bahwa pekerja perempuan yang membuat pakaian bermerek di pabrik-pabrik Bangladesh mengalami pelecehan fisik dan verbal, demikian seperti dikutip dari ABC Indonesia, Rabu (16/10/2019).

Laporan itu menyebut bahwa para pekerja pada umumnya dilecehkan dengan penghinaan seksual yang dilakukan oleh manajer mereka.

Para pekerja perempuan mengatakan kepada The Guardian bahwa mereka dikata-katai "perempuan murahan" dan "pelacur".

Penulis laporan itu juga mewawancarai pekerja yang mengatakan bahwa mereka telah dipukuli oleh manajer dan dipaksa bekerja berjam-jam dalam kondisi yang sangat melelahkan untuk memenuhi target.

Sepasang celana legging Lululemon dijual seharga US$ 120 (atau setara Rp 1,2 juta) di Australia - hanya sedikit lebih rendah dari rata-rata penghasilan bulanan pekerja pabrik di Bangladesh.

Para perempuan di negara-negara berkembang merupakan golongan mayoritas di tengah para pekerja pabrik yang membuat pakaian untuk merek-merek fashion global termasuk Lululemon.

Organisasi Human Rights Watch juga telah mendokumentasikan ancaman seksual terhadap perempuan oleh manajer pabrik dan penyelia mereka di Bangladesh.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp10 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Tanggapan Lululemon

Ilustrasi pakaian
Ilustrasi pakaian. Sumber foto: unsplash.com/Lauren Fleischmann.

Lululemon telah mengontrak pihak ketiga untuk mengaudit beberapa pabrik Asia yang berada dalam rantai pasokan mereka, tetapi perusahaan itu lebih sering melakukan audit internal.

Mereka juga mengatakan telah membuka investigasi sebagai tanggapan atas tuduhan terbaru, dan mengatakan saat ini tidak ada pesanan dengan pabrik yang bersangkutan.

Lululemon memiliki Kode Etik Vendor internal, yang mengatakan pihak mereka mempromosikan pencarian sumber secara etis terhadap produk-produk mereka.

Namun, Human Rights Watch telah mengkritik audit semacam ini, dengan mengatakan audit itu sering dilakukan dalam kelompok campuran gender dan di tempat, yang berarti pekerja perempuan tidak merasa cukup aman untuk mengungkap pelecehan, terutama ketika menyangkut topik-topik yang sensitif secara budaya seperti pelecehan seksual.

Aruna Kashyap, penasihat senior di divisi hak-hak perempuan di Human Rights Watch, mengatakan Lululemon harus "menggunakan kesempatan ini untuk menilai praktik pembelian mereka sendiri dan melihat betapa kondusifnya mereka untuk mempromosikan kepatuhan hak-hak buruh di pabrik pemasoknya".

"Merek seperti Lululemon yang mengaku peduli terhadap pekerja harus melacak dan melaporkan kepada konsumennya tentang berapa banyak pabrik pemasoknya yang telah memiliki serikat pekerja, berapa banyak yang memiliki perjanjian perundingan bersama, dan insentif bisnis apa yang mereka berikan kepada pabrik tersebut.

"Daripada membuang-buang sumber daya untuk investigasi pelanggaran ketenagakerjaan lainnya di pabrik, Lululemon harus menggunakan kesempatan ini untuk merancang program untuk mencegah dan menanggapi kekerasan dan penyalahgunaan pekerja di pabriknya."

"Program semacam itu harus melibatkan serikat pekerja lokal dan kelompok-kelompok hak asasi perempuan," ujar Kashyap.

Bergaji Rendah

Warna Baju yang Dipakai Punya Makna Tersendiri
ilustrasi pakaian (sumber: pixabay)

Industri garmen telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang besar di Bangladesh dalam beberapa tahun terakhir dan mempekerjakan sekitar 4,5 juta orang.

Pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) negara itu saat ini lebih dari 8 persen melebihi pertumbuhan tetangganya, India.

Tetapi perempuan bergaji rendah-lah yang berkontribusi sekitar 80 persen pekerja pabrik, sementara laki-laki biasanya memegang posisi manajemen.

Advokasi untuk standar internasional terhadap sektor ini dimulai setelah pabrik garmen Rana Plaza yang berlantai delapan di Bangladesh runtuh, menewaskan 1.100 orang dan melukai 2.000 lainnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya