Liputan6.com, Jakarta - Mahasiswa asal Indonesia yang didanai Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Luar Negeri (BPPLN) sebagian besar kini terdistribusi ke negara-negara Eropa, demikian pula yang belajar dengan dana pribadi. Mengapa demikian?
Juni Martoyo, warga Blitar-Jawa Timur, mengatakan tidak tertarik menyekolahkan anak ketiganya ke Amerika, meskipun dua anaknya yang lebih dewasa sudah berkuliah di Negeri Paman Sam, yaitu di University of Virginia dan University of New Hampshire.
Salah satu pertimbangannya adalah alasan keamanan, seiring semakin seringnya insiden penembakan brutal yang di ruang publik dan sekolah atau universitas.
Advertisement
Baca Juga
"Kedua, bahasa Inggris tidak lagi menjadi bahasa yang menarik, tetapi yang utama adalah soal keselamatan. Lebih menarik bahasa Mandarin sekarang," jelas Juni saat dihubungi VOA melalui telepon, dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (23/11/2019).
Oleh karena itu, Juni pun mulai melirik negara-negara di Eropa untuk menyekolahkan anaknya, selain di Amerika.
Alasan keamanan dan keselamatan, memang menjadi salah satu hal yang membuat jumlah mahasiswa asing di AS menurun.
Selain karena birokrasi pengurusan izin, masalah biaya kuliah terkait pemangkasan anggaran beasiswa, hingga soal ketidaknyamanan akibat kebijakan di bidang lain (perang dagang, imigrasi, dll) pun menjadi pertimbangan.
Hal ini tampak dalam laporan tahunan Institute of International Education IIE tahun 2019, yang merupakan hasil kerja sama dengan Departemen Luar Negeri Amerika.
Dalam laporan yang dirilis awal pekan ini di Washington D.C., diketahui bahwa jumlah siswa dari Korea Selatan, Arab Saudi, Jepang, Meksiko, Nepal, Iran, Inggris dan Turki misalnya, turun antara 0,3% hingga 16,5%.
Sedangkan jumlah mahasiswa Indonesia di AS, menurut catatan IEE, mengalami penurunan sebesar 3,4%.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Kata Kemendikbud
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Dikti (SDID) Kemendikbud Anondho Wijanarko mengatakan, mahasiswa yang mendapat beasiswa (BPPLN) memang lebih banyak terdistribusi ke Eropa karena Letter of Acceptance (LoA) lebih mudah didapat.
LoA merupakan surat yang menunjukkan seseorang diterima menjadi mahasiswa di universitas.
Kendati demikian, Anondho tidak menyebut jumlah pasti perbandingan mahasiswa Indonesia di Eropa dengan negara lainnya.
"Karena LoA sebagai persyaratan pengajuan beasiswanya lebih mudah diperoleh akibat proses exchange professor bilateral melalui beragam skema kolaborasi dengan universitas negara mitranya berlangsung jauh lebih intens dibandingkan dengan yang dari USA," jelas Anondho Wijanarko melalui pesan teks.
Anondho Wijanarko menambahkan, penurunan jumlah mahasiswa asal Indonesia di Amerika tidak berkaitan dengan program pengembangan sumber daya manusia yang sedang digalakkan pemerintah Indonesia.
"Program di kami (di Indonesia) untuk peningkatan kualifikasi dosen memperoleh gelar doktor sehingga bisa lebih produktif dalam giat riset dan inovasi menghasilkan invensi yang inovatif maupun hasil riset layak publikasi di jurnal internasional bereputasi," tambahnya.
Selain soal penurunan jumlah siswa internasional di kampus-kampus Amerika, laporan tahunan IIE itu juga menyebut kenaikan, antara lain siswa yang berasal dari Taiwan, Tiongkok, India, dan Brasil.
Namun, secara keseluruhan pertumbuhan jumlah siswa luar negeri di kampus-kampus Amerika pada tahun ajaran 2018-2019 hanya sekitar 0,05% atau berarti pertumbuhan terendah dalam sepuluh tahun.
Advertisement