Liputan6.com, Canberra - Pengesahan undang-undang pernikahan sesama jenis di Australia pada 2017 merupakan pintu terbuka bagi anggota komunitas LGBT yang negaranya kurang ramah terhadap komunitas tersebut.
Temuan tahun 2016 dari Deakin University mengatakan, sebanyak 40 persen mahasiswa merasa bahwa orientasi seksual atau gender mereka telah membuat Australia menjadi tempat menarik untuk belajar.
Baca Juga
Guntur (bukan nama sebenarnya) mahasiswa asal Jakarta, Indonesia yang datang tahun 2015 untuk melanjutkan studinya di jurusan Bisnis di sebuah universitas di Canberra, setuju akan penemuan itu.
Advertisement
Selain tujuan pendidikan, ia mengatakan datang ke Australia dengan harapan dapat mengekspresikan dirinya dengan bebas.
"Saya datang ke Australia untuk belajar, tapi juga memenuhi keinginan untuk tinggal di tempat di mana saya bisa merasa aman," ujarnya seperti dikutip dari ABC Indonesia, Senin (14/10/2019).
Sementara itu, Aldi (nama samaran) yang menuntut ilmu di Melbourne, Australia atas suruhan dari orangtuanya di Indonesia saat ini merasa senang karena sudah tergabung aktif dalam sebuah komunitas LGBT di negara itu.
"Dalam satu hal, komunitas ini membantu saya lebih mengenal diri sendiri dan menerima diri sendiri," katanya.
"Dengan bertemu komunitas LGBT di sini, saya lebih merasa optimis tentang apa yang harus saya lakukan di masa depan daripada bergumul sendiri."
Walau orientasi seksual mereka sudah diketahui beberapa teman di Australia, kedua pria berorientasi gay ini belum terbuka seluruhnya karena rasa takut.
Ketakutan seperti apa yang tetap mereka alami meski berada di negara di mana pernikahan sesama jenis itu sah?
Simak video pilihan berikut:
Rasa Kecewa dan Penolakan
Perasaan takut dirasakan oleh Guntur yang di usianya ke-23 belum pernah terlibat dalam hubungan romantis dengan pria walau mengatakan sering berkencan.
"Walaupun keluarga saya bukan keluarga konservatif, mereka jarang terlibat percakapan soal queer," kata Guntur kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Topik ini tidak pernah dibahas sampai baru-baru ini di Indonesia. Dan waktu dibicarakan, banyak yang melempar kebencian terhadap komunitas queer (istilah lain untuk menyebut kelompok LGBT)."
Rasa malu dan kecewa adalah perasaan yang ia takutkan akan muncul di keluarganya sebagai reaksi dari pengakuannya sebagai seorang pria gay.
"Meskipun saya sudah sepenuhnya menerima dan bangga akan diri saya, saya merasa bahwa keluarga saya akan merasa malu atau kecewa punya anak tidak seperti yang mereka bayangkan."
Ketakutan yang sama juga dirasakan Aldi yang setibanya di Melbourne empat tahun lalu langsung diperkenalkan kepada gereja oleh saudara kandungnya.
"Di dalam gereja saya tidak selalu merasa cocok dan tidak dapat berbagi sepenuhnya berbagi tentang hidup saya sendiri karena rasa takut."
Menurutnya, pandangan buruk dan persepsi orang beragama tentang orang berorientasi seksual berbeda adalah sumber ketakutan yang menyebabkannya tidak dapat berkumpul dengan mereka.
"Saya tidak pernah bisa merasa dapat berbagi tentang identitas seksual saya dan tidak pernah merasa bisa berkumpul sepenuhnya dengan mereka," kata Aldi.
"Takut dikucilkan dari komunitas, takut tidak diterima, ditolak atau diabaikan, dan pada akhirnya khawatir akan keamanan diri sendiri."
Advertisement
Orientasi Seksual dan Keluarga
Aldi mengatakan kedua orangtuanya tahu tentang orientasi seksualnya, namun bukan melalui pernyataan dari dirinya sendiri.
"Saya tidak ada kesempatan memberitahu mereka, saya dikonfrontasi," kata pria 22 tahun itu dalam wawancara tatap muka bersama ABC Indonesia di sebuah kafe di Melbourne.
"Orangtua sekarang sedang dalam masa bicara dengan saya kalau itu adalah hal yang tidak benar dan saya harus kembali ke gereja."
Walau mengatakan memiliki pandangan yang progresif tentang isu LGBT, Aldi masih tetap mengutamakan hubungannya dengan keluarga.
"Seprogresif apapun diri saya sendiri pandangan tentang keluarga masih penting. Membangun hubungan dengan orangtua, menghargai orangtua masih tertanam dalam pikiran saya."
Ia namun berharap agar suatu saat orangtuanya akan menerima identitas seksualnya sebagai pria gay apa adanya.
"Saya percaya kita harus menjaga hubungan kita dengan mereka. Tapi misalnya orangtua sudah tidak menerima kita bagaimana caranya kita menjaga hubungan itu?" kata Aldi.
"Bagaimana caranya kalau hubungannya kondisional? Kalau kita disuruh mengubah identitas kita sendiri yang sudah kita terima?"
Guntur di sisi lain menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan identitasnya sebagai pria gay kepada keluarga.
Meski merasa takut keluarga akan kecewa, ia mengatakan bahwa seiring waktu keberanian untuk bicara tersebut akan muncul.
"Pada akhirnya saya harus [memberitahukan identitas saya]. Tapi mungkin harus menunggu beberapa tahun untuk bisa melakukannya."
Momen yang Terasa Memungkinkan
Budi, pria kelahiran Bandung mengatakan memiliki keluarga yang saat ini sangat menerima identitasnya sebagai seorang pria gay.
"Respon dari keluarga lumayan positif," kata Budi yang mengatakan bahwa sejak kecil dirinya memang tidak mengikuti stereotip maskulin.
"Memang [keluarga] tidak terlalu kaget sewaktu diberi kabar bahwa saya gay."
Tiga tahun setelah kedatangannya di Australia untuk belajar, tepatnya tahun 2001, Budi memberitahukan orientasi seksualnya kepada keluarganya di Melbourne.
Budi yang adalah lulusan Monash University ini melakukan hal tersebut setelah tahu bahwa momennya sudah tepat.
"Bukannya sudah siap, tapi momennya terasa sudah memungkinkan jadi sewaktu ditanya bisa memberikan jawaban."
Meski menerima respon yang baik, ia mengatakan bahwa keluarganya tetap harus menjalani masa penyesuaian selama beberapa tahun.
"Memang ada waktu penyesuaian karena mereka juga perlu mengubah harapan yang mereka punya. Kita semua membangun hubungan keluarga yang baru."
Kini, Budi duduk sebagai direktur di sebuah agensi pelatihan dan konsultasi yang berfokus pada topik keragaman, inklusi dan di dalamnya termasuk LGBTIQ.
"Agensi ini berfokus pada pengembangan konsep interseksionalitas dan terus telah memberikan pelatihan pada agensi berbasis komunitas."
"Tujuan perusahaan ini adalah untuk membawa perubahan melalui pengetahuan dan peningkatan kapasitas."
Advertisement
LGBT di Indonesia
Aldi menyayangkan pandangan warga di Indonesia yang memandang LGBT sebagai sesuatu yang negatif.
"Menurut saya, banyak orang Indonesia memandang orang LGBT seperti orang yang sudah masuk penjara yang dalam jiwanya jahat," kata Aldi yang kini sedang dalam status berpacaran.
"Padahal kita belum pernah berinteraksi satu sama lain dan saya rasa bahkan orang yang sudah masuk penjara tidak mau diasosiasikan dengan LGBT karena pandangan mereka terhadap LGBT."
"[Selalu berasumsi] gay adalah HIV, gay adalah seks bebas, gay adalah narkoba." tambahnya.
Menurut Guntur, tidak seperti di Australia, ruang geraknya sebagai pria gay di Indonesia dibatasi oleh jumlah organisasi atau komunitas LGBT di Indonesia sedikit karena masih "bersembunyi".
"Saya mencoba untuk mengikuti perkembangan komunitas LGBT di Indonesia tapi karena mereka harus berada di "bawah tanah", saya tahu sedikit dan belum berinteraksi sebanyak yang saya inginkan."
Pria yang berharap dapat menetap di Australia itu mengatakan bahwa protes yang dilakukan oleh mahasiswa Indonesia belakangan ini menggambarkan peningkatan toleransi terhadap identitas LGBT.
"Ada masa depan [bagi komunitas LGBT] tapi ini adalah tentang berapa lama sampai kita ada di titik tersebut dan saat ini masih banyak orang yang belum bisa jadi diri sendiri."