Dari Budak Seks hingga AS Kalah Perang, 5 Bocoran Dokumen yang Gemparkan Dunia

Kasus kebocoran dokumen paling fenomenal adalah yang dilakukan Edward Snowden.

oleh Raden Trimutia Hatta diperbarui 15 Des 2019, 21:00 WIB
Diterbitkan 15 Des 2019, 21:00 WIB
Mata-Mata
Ia membocorkan dokumen rahasia dari tempat kerjanya bahwa mulai tahun 2013, pemerintah Amerika Serikat telah memata-matai warganya sendiri.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus kebocoran dokumen paling fenomenal adalah yang dilakukan Edward Snowden. Ia menghebohkan dunia internasional saat membocorkan dokumen Badan Keamanan Amerika Serikat (NSA).

Snowden berhasil membawa kabur 31 ribu data penting yang masuk dalam kategori Top Secret militer AS yang berisi data dan informasi sensitif. Dia pun diburu pemerintah AS dan sampai saat ini masih berada di Rusia. Salah satu isi dokumen yang dibocorkan Snowden adalah NSA menargetkan 122 pemimpin dunia untuk diawasi.

Snowden juga membocorkan NSA mengunduh jutaan wajah dari internet. NSA menggunakan semacam software pengenal wajah untuk memindai foto di internet untuk kemudian dicocokkan dengan wajah para 'tersangka' yang sedang diinvestigasi oleh NSA.

 

Selain dokumen yang dibocorkan Snowden, berikut ini beberapa kasus kebocoran dokumen yang menghebohkan dunia internasional:

1. Dokumen Perang Dunia II Ungkap Tentara Jepang Minta Budak Seks

Bukti Perdana Video 'Budak Seks' Jepang di Korea Ditemukan
Bukti Perdana Video 'Budak Seks' Jepang di Korea Ditemukan (US NATIONAL ARCHIVES/BBC)

Tentara Jepang selama Perang Dunia II meminta pemerintahnya untuk menyediakan satu budak seks untuk setiap 70 tentara. Informasi itu terkuak dalam dokumen sejarah yang dibocorkan Kyodo News saat menyoroti peran negara dalam apa yang disebut sistem 'wanita penghibur'.

Ke-23 dokumen tersebut dikumpulkan Sekretariat Kabinet Jepang antara April 2017 dan Maret 2019, termasuk 13 kiriman rahasia dari konsulat Jepang di China ke Kementerian Luar Negeri di Tokyo pada 1938, menurut Kyodo, dikutip dari AP, Minggu (8/12/2019).

Masalah budak seks telah menjadi sumber perselisihan yang menyakitkan antara Korea Selatan dan Jepang. Para wanita itu tak hanya dari Korea, tapi juga Taiwan dan Australia, Filipina serta Jepang.

Pada 1993, Sekretaris Kabinet yang saat itu menjabat, Yohei Kono, juru bicara pemerintah, meminta maaf atas sistem 'wanita penghibur' dan mengakui keterlibatan militer Jepang dalam mengambil perempuan di luar kehendak mereka.

Laporan Kyodo menunjukkan satu kabar dari konsul jenderal Jinan, China, kepada menteri luar negeri yang mengatakan invasi Jepang telah menyebabkan lonjakan prostitusi di daerah itu, dengan 101 geisha dari Jepang, 110 wanita penghibur dari Jepang, dan 228 wanita penghibur dari Korea.

Dikatakan, "setidaknya 500 wanita penghibur harus terkonsentrasi di sini pada akhir April," untuk tentara Jepang.

Catatan itu menyiratkan bahwa para wanita yang disebut sebagai 'geisha' mungkin datang sendiri, sebagai lawan dari budak seks yang dipaksa.

Kabar lain dari konsul jenderal Qingdao di provinsi Shandong di China mengatakan Angkatan Darat Kekaisaran meminta seorang wanita untuk menampung setiap 70 tentara, sementara angkatan laut meminta 150 lebih banyak wanita penghibur dan geisha, kata Kyodo.

Jumlah budak seks tidak pasti, tetapi para sejarawan mengatakan mereka berjumlah puluhan ribu atau lebih, dan tujuan mereka adalah untuk mencegah penyebaran penyakit dan mengurangi pemerkosaan di antara prajurit.

2. Bocoran Dokumen Pengelolaan Kamp Muslim di Xinjiang

Gedung utama pusat pelatihan vokasional di di Atush, Prefektur Otonomi Kizilsu Kirgiz, Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR) (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)
Gedung utama pusat pelatihan vokasional di di Atush, Prefektur Otonomi Kizilsu Kirgiz, Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR) (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Harian the New York Times memperoleh bocoran salinan dokumen 400 halaman yang berisi tentang bagaimana pemerintah China mengelola kamp penahanan bagi etnis minoritas muslim di Provinsi Xinjiang. Pemerintah China selama tiga tahun terakhir diduga menahan sekitar satu juta muslim dari etnis Uighur, Kazakhs dan lainnya di Xinjiang di banyak kamp penahanan.

Dalam dokumen itu para pemerintah daerah diarahkan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada keluarga dari seorang anak yang baru pulang dari sekolah atau kuliahnya di kota lain dan ketika tiba di rumah orang tuanya tidak ada karena ditahan pemerintah.

"Mereka ada di tempat kursus/pelatihan yang didirikan pemerintah," kata keterangan jawaban dari dokumen yang bocor itu jika pemerintah daerah ditanya oleh si anak yang baru pulang dari kota lain. Jika dicecar maka para pejabat daerah itu harus menjawab, orang tua mereka bukanlah pelaku kriminal, meski mereka juga tidak boleh meninggalkan tempat pelatihan/kursus itu.

Dalam dokumen itu ada contoh naskah tanya-jawab antara pemerintah daerah dengan si mahasiswa yang keluarganya ditahan pemerintah. Anak-anak mereka juga diberitahu tindakan mereka bisa membuat orangtua atau keluarga mereka ditahan lebih lama atau lebih singkat.

Pemerintah China yang dikuasai Partai Komunis sudah membantah kritikan dari dunia internasional tentang kamp penahanan itu. Mereka menyebut tempat pelatihan/kursus itu memakai metode halus untuk memerangi ekstremisme Islam. Namun bocoran dokumen mengatakan sebaliknya.

Berkas-berkas yang bocor itu keseluruhan ada 24 dokumen, di antaranya berisi materi yang diduplikasi. Dokumen itu juga memuat 200 halaman pidato internal Xi dan para pemimpin partai lainnya serta lebih dari 150 halaman berisi arahan dan laporan dari pemantauan dan pengelolaan etnis Uighur di Xinjiang. Selain itu ada juga rujukan untuk merencanakan pelarangan Islam di sejumlah wilayah China lainnya.

Berkas dokumen ini dibocorkan oleh seorang pejabat pemerintah yang tidak ingin diketahui identitasnya dan dia berharap pengungkapan ini bisa mencegah para pemimpin partai, termasuk Presiden Xi, lari dari tanggung jawab.

3. Dokumen Rahasia Ungkap Pengaruh Kuat Iran dalam Pemerintahan Irak

Kericuhan di Irak saat konsulat Iran di Irak dibakar demonstran. (AFP)
Kericuhan di Irak saat konsulat Iran di Irak dibakar demonstran. (AFP)

Dokumen berisi arsip kabel rahasia intelijen diperoleh The Intercept dan dibagikan kepada The New York Times. Isinya mengungkapkan secara rinsi bagaimana peran Iran di dalam pemerintahan Irak.

Bocoran tersebut mengungkap pengaruh besar Iran di Irak, merinci tahun-tahun kerja keras mata-mata Iran untuk mengkooptasi para pemimpin negara tersebut, membayar agen intelijen Irak yang bekerja untuk Amerika untuk berpindah pihak dan menyusup ke setiap aspek kehidupan politik, ekonomi dan agama Irak.

Sejumlah kabel intelijen menjelaskan bagaimana cara kerja agen intelijen sebagaimana sering terlihat dalam film-film spionase. Pertemuan berlangsung di lorong-lorong gelap dan pusat perbelanjaan atau dalam sebuah pesta ulang tahun.

Informan mengintai di bandara Baghdad, memotret tentara Amerika dan mengawasi penerbangan militer koalisi. Agen intelijen berkendara melewati jalur yang berkelok-kelok untuk menghindari pengawasan.

Sumber-sumber intelijen dihujani hadiah kacang pistachio, minyak wangi, dan safron. Pejabat Irak, jika diperlukan, akan disogok. Laporan itu juga berisi laporan pengeluaran dari pejabat Kementerian Intelijen di Irak, termasuk menghabiskan 87,5 Euro untuk hadiah komandan Kurdi.

Dalam bocoran dokumen itu juga menunjukkan bagaimana Iran, di hampir setiap kesempatan, mengalahkan Amerika Serikat dalam perebutan pengaruh di Irak.

Arsip itu terdiri dari ratusan laporan dan kabel intelijen tertulis utamanya pada 2014 dan 2015 oleh pejabat Kementerian Intelijen dan Keamanan Iran atau MOIS, yang bertugas di Irak.

Diminta tanggapan atas berita ini, Juru Bicara Iran untuk misi PBB, Alireza Miryusefi, mengatakan tengah tak berada di tempat sampai akhir bulan ini. Duta Besar Iran untuk PBB, Majid Takht-Ravanchi, tak menanggapi permintaan tertulis yang dikirimkan ke rumah dinasnya. Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif juga tak menanggapi permintaan konfirmasi.

Saat dihubungi via telepon, Duta Besar Iran untuk Irak dari 2010-2017, Hassan Danaiefar, menolak membahas secara langsung kebocoran kabel intelijen, namun dia mengatakan Iran lebih unggul dalam pengumpulan informasi di Irak.

"Iya, kami memiliki banyak informasi dari Irak dalam sejumlah isu, khususnya tentang apa yang Amerika lakukan di sana. Ada kesenjangan besar antara realitas dan persepsi aksi AS di Irak. Saya punya banyak cerita untuk disampaikan," jelasnya. Danaiefar menolak menjelaskan lebih lanjut.

Sekitar 700 halaman bocoran dokumen itu dikirim tanpa nama ke The Intercept, yang kemudian diterjemahkan dari Bahasa Persia ke Bahasa Inggris dan dibagikan ke New York Times. The Intercept dan The Times memverifikasi dokumen tersebut tapi tak diketahui siapa yang membocorkannya.

 

4. Bocoran Dokumen Cara Cambridge Analytica Menangkan Trump dalam Pilpres AS 2016

Logo Kampanye Mirip 'Penis' Donald Trump dan Mike Pence
Lambang tersebut memperlihatkan dua huruf biru saling bertautan, T dan P, disertai garis-garis merah, mengilustrasikan bendera AS (Michael Conroy/Associated Press).

Pada 2018 lalu, media Inggris, The Guardian mendapatkan bocoran dokumen internal tentang cetak biru perusahaan konsultan politik Cambridge Analytica yang mengklaim memenangkan Donald Trump dalam pemilu presiden 2016 dengan memakai media sosial dan digital seperti Google, Snapchat, Twitter, YouTube, dan Facebook.

Nama Cambridge Analytica juga dikaitkan dengan berita pencurian jutaan data pribadi pengguna Facebook. Materi presentasi sepanjang 27 halaman itu dibuat oleh pegawai Cambridge Analytica yang terlibat dalam kampanye Trump pada pilpres 2016.

Seorang mantan pegawai mengatakan kepada The Guardian, tentang rincian bagaimana teknik yang dipakai tim kampanye Trump untuk menyasar para pemilih AS melalui berbagai kanal digital di Internet.

Lewat survei intensif, pemodelan algoritma yang menargetkan 10 ribu iklan berbeda kepada para pembaca, tim kampanye Trump bekerja dalam bulan-bulan terakhir menjelang hari pemilihan. Dari dokumen presentasi itu dikatakan iklan politik Trump dilihat miliaran kali oleh pembaca.

Dokumen cetak biru pemenangan Trump ini pernah dipresentasikan di London, New York, dan Washington DC beberapa pekan sebelum Trump dinyatakan menang pemilu. Dokumen ini memperlihatkan bagaimana perusahaan konsultan politik dengan cara curang memenangkan sosok paling kontroversial dalam sejarah politik modern.

"Ini adalah kumpulan data kampanye digital untuk Trump," kata Brittany Kaiser, 30 tahun, yang sebelumnya menjabat direktur pengembangan bisnis Cambridge Analytica yang kemudian mengundurkan diri dua pekan lalu.

Dia adalah mantan pegawai Cambridge Analytica kedua yang berbicara dengan The Guardian tentang bagaimana cara kerja konsultan politik ini.

Brittany menuturkan dokumen yang diperoleh Guardian ini dipakai sebagai alat untuk memperlihatkan metode rahasia kampanye untuk berbagai klien potensial Cambridge Analytica.

"Ada keinginan besar dari orang-orang di dalam lingkaran perusahaan yang ingin melihat bagaimana kami melakukannya," kata Kaiser soal pilpres AS pada 2016.

5. Kebohongan Amerika di Afghanistan, Kalah Perang Tapi Mengaku Menang

Tentara Amerika Serikat di Afghanistan pada Juni 2017 (File / AP PHOTO)
Tentara Amerika Serikat di Afghanistan pada Juni 2017 (File / AP PHOTO)

Selama 18 tahun Amerika berperang di Afghanistan. Sebagai bagian dari proyek pemerintah untuk mencari tahu apa yang salah, sebuah lembaga federal mewawancarai lebih dari 400 orang yang terlibat langsung dengan perang ini. Dalam wawancara ini, para jenderal, duta besar, diplomat, dan individu menyampaikan kesaksiannya tentang kesalahan-kesalahan yang membuat perang Afghanistan justru berlangsung semakin lama.

Pernyataan-pernyataan utuh dan identitas mereka belum pernah dipublikasikan--hingga sekarang. Setelah bertarung secara hukum selama tiga tahun, harian the Washington Post merilis lebih dari 2.000 halaman wawancara bertajuk "Lessons Learned" atau "Pelajaran yang Dipetik" yang dilakukan oleh Kantor Inspektur Jenderal Khusus untuk Pembangunan Kembali Afghanistan. Dari wawancara-wawancara itu terungkap tidak ada kesepakatan soal apa yang menjadi tujuan perang sebenarnya, apalagi tentang bagaimana mengakhirinya.

Untuk mendukung hasil wawancara-wawancara itu, Washington Post juga memperoleh ratusan memo rahasia mantan Menteri Pertahanan Donald H Rumsfeld dari Arsip Keamanan Nasional, institut penelitian nirlaba. Memo-memo yang dikenal sebagai "kepingan salju" itu berisi instruksi atau komentar dari Rumsfeld kepada bawahannya soal perang Afghanistan.

Hasil wawancara dan memo Rumsfeld itu mengungkap sebuah rahasia tentang sejarah konflik dan memberi wawasan baru tentang bagaimana tiga presiden AS selama dua dekade gagal memenuhi janji untuk mengakhiri perang.

Bertahun-tahun, pejabat AS gagal memberi tahu publik tentang apa yang sebenarnya terjadi di Afghanistan.

Kumpulan wawancara Lesson Learned isinya bertentangan dengan pernyataan dari presiden, jenderal, dan diplomat AS selama bertahun-tahun. Kumpulan wawancara itu memperlihatkan dengan jelas bagaimana pemerintah AS mengumumkan kabar yang mereka tahu adalah salah dan menyembunyikan bukti tentang perang yang tidak bisa dimenangkan.

Sejumlah wawancara menggambarkan dengan jelas upaya pemerintah AS untuk secara sengaja membohongi publik dan memperlihatkan budaya tidak mau menerima berita buruk dan kritikan.

Para pejabat AS mengakui misi mereka tidak punya strategi dan tujuannya yang jelas.

Awalnya, alasan menyerang Afghanistan cukup jelas: menghancurkan Al-Qaidah. Tapi ketika tujuan itu sebagian besar sudah tercapai, para pejabat mengatakan misi AS di Afghanistan mulai kabur dan mereka menjalankan strategi yang bertentangan dan tak bisa dicapai. Mereka yang terlibat dalam perang itu berupaya keras menjawab pertanyaan paling mendasar sekali pun: Siapa musuh kita? Siapa yang kita anggap sekutu? Dan bagaimana kita tahu kita sudah menang?

"Kalau ada tugas yang ternyata jauh dari bayangan kita sebelumnya, maka itu adalah Afghanistan," kata Richard Boucher, diplomat AS untuk Asia Selatan dari 2006-2009, berdasarkan sebuah transkrip wawancara pada 2015.

Bertahun-tahun berperang, AS masih belum memahami Afghanistan.

Puluhan pejabat AS dan Afghanistan dalam wawancara itu mengatakan banyak kebijakan AS--dari mulai melatih pasukan Afghan untuk melawan perdagangan opium--sudah pasti gagal karena hanya berdasarkan asumsi dari negara yang tidak mereka pahami.

AS menghabiskan banyak uang untuk membentuk Afghanistan tapi dalam perjalannya justru membangkitkan korupsi.

Kucuran dana dari AS untuk Afghanistan melebihi kemampuan negara itu untuk menyerapnya. Akibatnya penyuapan, penggelapan, dan korupsi merajalela. Salah satu penasihat AS mengatakan di pangkalan udara tempat dia bertugas, banyak orang Afghan beraroma bahan bakar jet tempur karena mereka menyelundupkan barang itu untuk dijual ke pasar gelap.

 

Reporter: Hari Ariyanti

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya