Selain Budak Seks, Angkatan Laut Jepang Minta 150 Lebih Geisha

Tentara Jepang selama Perang Dunia II meminta pemerintahnya untuk menyediakan satu budak seks untuk setiap 70 tentara

oleh Raden Trimutia Hatta diperbarui 08 Des 2019, 20:11 WIB
Diterbitkan 08 Des 2019, 20:11 WIB
Sebuah patung yang mewakili budak seks terlihat di dekat Kedutaan Besar Jepang di Seoul, Korea Selatan. (AP/Lee Jin-man)
Sebuah patung yang mewakili budak seks terlihat di dekat Kedutaan Besar Jepang di Seoul, Korea Selatan. (AP/Lee Jin-man)

Liputan6.com, Tokyo - Tentara Jepang selama Perang Dunia II meminta pemerintahnya untuk menyediakan satu budak seks untuk setiap 70 tentara. Informasi itu terkuak dalam dokumen sejarah yang ditinjau Kyodo News saat menyoroti peran negara dalam apa yang disebut sistem 'wanita penghibur'.

Ke-23 dokumen tersebut dikumpulkan Sekretariat Kabinet Jepang antara April 2017 dan Maret 2019, termasuk 13 kiriman rahasia dari konsulat Jepang di China ke Kementerian Luar Negeri di Tokyo pada 1938, menurut Kyodo, dikutip dari AP, Minggu (8/12/2019).

Masalah budak seks telah menjadi sumber perselisihan yang menyakitkan antara Korea Selatan dan Jepang. Para wanita itu tak hanya dari Korea, tapi juga Taiwan dan Australia, Filipina serta Jepang.

Pada 1993, Sekretaris Kabinet yang saat itu menjabat, Yohei Kono, juru bicara pemerintah, meminta maaf atas sistem 'wanita penghibur' dan mengakui keterlibatan militer Jepang dalam mengambil perempuan di luar kehendak mereka.

Laporan Kyodo menunjukkan satu kabar dari konsul jenderal Jinan, China, kepada menteri luar negeri yang mengatakan invasi Jepang telah menyebabkan lonjakan prostitusi di daerah itu, dengan 101 geisha dari Jepang, 110 wanita penghibur dari Jepang, dan 228 wanita penghibur dari Korea.

Dikatakan, "setidaknya 500 wanita penghibur harus terkonsentrasi di sini pada akhir April," untuk tentara Jepang.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Minta 150 Lebih Geisha

Geisha magang atau maiko di Kyoto, Jepang (AFP)
Geisha magang atau maiko di Kyoto, Jepang (AFP)

Catatan itu menyiratkan bahwa para wanita yang disebut sebagai 'geisha' mungkin datang sendiri, sebagai lawan dari budak seks yang dipaksa.

Kabar lain dari konsul jenderal Qingdao di provinsi Shandong di China mengatakan Angkatan Darat Kekaisaran meminta seorang wanita untuk menampung setiap 70 tentara, sementara angkatan laut meminta 150 lebih banyak wanita penghibur dan geisha, kata Kyodo.

Jumlah budak seks tidak pasti, tetapi para sejarawan mengatakan mereka berjumlah puluhan ribu atau lebih, dan tujuan mereka adalah untuk mencegah penyebaran penyakit dan mengurangi pemerkosaan di antara prajurit.

Catatan kolonisasi dan masa perang Jepang terus membebani hubungan dengan tetangga-tetangga Asia. Pemerintah Jepang mengatakan reparasi telah diselesaikan tetapi telah menyiapkan dana untuk mendukung para korban.

Hal itu memiliki hasil yang beragam dengan permintaan terus menerus untuk permintaan maaf yang lebih menyeluruh. Tuntutan hukum sedang berlangsung di Korea Selatan.

Beberapa telah membantah keterlibatan resmi Jepang, dan berpikir bahwa perempuan itu adalah pelacur yang datang atas kemauan sendiri.

Baru-baru ini, hubungan asam antara Jepang dan Korea Selatan telah mempengaruhi perdagangan dan pariwisata dan memicu kontroversi lainnya, termasuk yang awal tahun ini karena dipamerkannya sebuah patung yang menggambarkan seorang 'wanita penghibur' muda.

Sempat Berdamai

Presiden Korea Selatan (kiri) berjabat tangan dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe (kanan) di KTT G-20 tahun 2019 (AFP/Kim Kyung-Hoon)
Presiden Korea Selatan (kiri) berjabat tangan dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe (kanan) di KTT G-20 tahun 2019 (AFP/Kim Kyung-Hoon)

Pada tahun 2015, Korea Selatan dan Jepang sebetulnya sudah mencapai kesepakatan. Pemerintah Jepang pun meminta maaf secara resmi dan menyediakan uang 1 miliar yen untuk membantu korban.

Sebuah yayasan untuk menuntaskan proses tersebut. Namun, Jepang resmi menutup yayasan itu pada pertengahan Juli lalu akibat tidak populer di kalangan korban.

Kesepakatan itu tercapai di era Presiden Park Geun-hye dan dibatalkan oleh Presiden Moon Jae-in.

The Japan Times menyebut ada 34 dari 47 korban yang masing-masing mendapatkan 10 juta yen. Sementara, ada 199 perwakilan dari korban yang sudah meninggal.

Bagi yang anggota keluarganya sudah meninggal, ada 71 orang yang mau menerima pembayaran, dan 58 dari mereka menerima masing-masing 2 juta yen. Namun lebih banyak yang tidak mau menerima pembayaran.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya