Barista Kafe Ini Kirim Kopi Gratis untuk Pahlawan di Pusat Virus Corona Wuhan

Tujuh barista di kafe ini berpacu melawan waktu untuk meramu sekitar 500 cangkir kopi setiap hari. Mereka mengirimkannya ke tiga rumah sakit di pusat Virus Corona Wuhan, COVID-19. Gratis.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Feb 2020, 11:03 WIB
Diterbitkan 16 Feb 2020, 11:03 WIB
Biji Kopi
Ilustrasi Foto Biji Kopi (iStockphoto)

Liputan6.com, Wuhan - Di jalan yang kini sunyi dan lengang di Wuhan, sebuah kafe dipenuhi campuran aroma biji kopi, disinfektan, dan alkohol medis.

Sementara sebagian besar tempat usaha lainnya di Wuhan, pusat penyebaran wabah Virus Corona baru, COVID-19, masih tutup, sebuah kafe bernama Wakanda justru sibuk melayani pelanggan mereka tanpa henti. Tujuh barista di kafe itu berpacu melawan waktu untuk meramu sekitar 500 cangkir kopi setiap hari dan mengirimkannya ke tiga rumah sakit tanpa memungut biaya.

"Dokter dan perawat adalah pahlawan sejati yang mempertaruhkan hidup mereka demi melawan virus. Kami hanya berusaha membantu mereka dengan cara kami, yaitu dengan menyajikan kopi yang enak," kata Tian Yazhen, pemilik kafe seperti dikutip dari Xinhua News, Sabtu (15/2/2020).

Kafe tersebut sedianya sudah tutup untuk liburan Tahun Baru Imlek pada 21 Januari. Namun, ketika mendengar kota itu akan diisolasi guna menahan penyebaran virus ke wilayah-wilayah lain di China dan luar negeri, Tian mulai mengkhawatirkan klien-klien setia mereka, yakni para dokter dan perawat di sebuah rumah sakit terdekat.

Selain pasokan alat pelindung diri seperti masker yang terbatas, banyak pekerja medis bahkan harus diisolasi dari keluarga mereka, dan beristirahat secara bergiliran di kantor, kamar hotel, atau kondominium sewaan.

Tian melontarkan permintaan kepada 21 karyawannya untuk melanjutkan pasokan kopi mereka. Sungguh mengejutkan baginya, karena keenam barista yang tinggal di Wuhan menerima permintaannya, termasuk seorang warga negara Iran Sina Karami, yang bahkan menolak tawaran pulang ke negara asalnya dengan pesawat sewaan.

Barista lainnya, Xiao Hao, seorang warga Wuhan yang saat itu tengah berlibur di Provinsi Sichuan, memutuskan kembali ke Wuhan meski keluarganya mencegah. Karena penerbangan dan perjalanan kereta ke Wuhan ditangguhkan, dia pun terpaksa menaiki kereta ke kota terdekat dan meminta keluarga untuk menjemputnya.

Memutuskan Terus Bekerja

Ilustrasi kopi
Ilustrasi kopi. Sumber foto: unsplash.com/Nathan Dumlao.

Pada 26 Januari, hari ketiga setelah Kota Wuhan ditutup, kafe itu diam-diam melanjutkan operasionalnya.

Hari-hari di kafe itu dimulai dengan disinfeksi menyeluruh. Para barista, dengan mengenakan masker dan sarung tangan, saling menyemprotkan alkohol medis kepada satu sama lain dan mendisinfeksi peralatan dengan produk sanitasi food-grade.

Upaya ekstra juga dilakukan dalam proses penyeduhan kopi. Agar kopi tidak menjadi dingin dalam pengantaran, pembuihan susu dilakukan pada suhu 80 derajat Celsius, lebih tinggi dari suhu ideal yakni 60 derajat Celsius. Mereka juga hanya melakukan ekstraksi Ristretto, yang menghasilkan aroma dan rasa kopi lebih kuat, meski memerlukan lebih banyak biji kopi.

Setelah kisah kafe itu menarik perhatian warganet, sumbangan biji kopi, susu, dan masker pun mengalir dari para pemasok dan warganet yang berjiwa sosial. Banyak juga yang menyumbangkan uang melalui aplikasi-aplikasi pemesanan makanan daring, yang menurut Tian akan digunakan untuk "dana Latte" bagi para petugas medis setelah wabah terkendali.

"Dalam situasi yang tak biasa ini, misi kami adalah memberikan secangkir kopi panas yang dibuat dengan profesional untuk para petugas medis di garis depan," ujar Tian.

Di setiap cangkir kertas kopi, para barista akan menuliskan kata-kata penyemangat seperti "Wuhan, tetap kuat!" dan "Terima kasih!"

Karena Virus Corona baru sebagian besar ditularkan melalui percikan cairan dari saluran pernapasan, orang-orang diharuskan memakai masker pelindung dan menjaga jarak satu sama lain. Untuk menghindari risiko yang tidak perlu, pengantaran kopi biasanya berlangsung singkat dan tanpa percakapan.

"Para sukarelawan rumah sakit berdiri di kejauhan dan datang mengambil kopi hanya ketika kami sudah menurunkan kopi dari mobil lalu mundur 2 meter. Kami tidak pernah mengatakan sepatah kata pun," tutur Tian.

Namun, suatu hari setelah kopi diantar, dua dokter dan tiga orang sukarelawan tampak membungkuk dalam-dalam ke arah mereka.

Dalam suatu sapaan dan ucapan terima kasih yang jarang dilakukan dengan balutan alat pelindung lengkap, para barista pun balas membungkuk ke arah mereka.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya