Jakarta - Selama tiga bulan, warga dari banyak negara telah menaati aturan berjarak 1,5 meter yang telah dianggap menjadi salah satu cara untuk menurunkan penularan virus corona.
Tapi aturan menjaga jarak setidaknya 1,5 meter sekarang mulai dilonggarkan, bahkan ada pula yang mulai meninjau kembali. Demikian seperti dikutip dari laman ABC Indonesia, Senin (22/6/2020).
Advertisement
Baca Juga
Sama halnya dengan Australia, setiap negara di dunia memiliki aturan jarak pemisah yang berbeda-beda. Namun, saat ini, beberapa di antaranya sedang meninjau kembali aturan tersebut.
Bahkan sampai dua minggu yang lalu, belum ada bukti kuat apakah 'physical-distancing' atau 'social distancing' sebenarnya turut menekan penyebaran COVID-19.
Ini berarti, aturan besaran jarak antar individu di Australia yang sudah mulai berlaku sejak Maret lalu ini, hanyalah perkiraan berdasarkan asumsi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Asal Usul Aturan Jaga Jarak
Pemberlakuan jarak antar individu sudah dipercaya dapat meminimalisir risiko penularan penyakit melalui air liur sejak Perang Dunia I.
Bila seseorang memiliki penyakit seperti COVID-19 atau tuberkulosis, percikan air liur atau 'droplets' akan ikut terinfeksi dan menularkan saat 'mendarat' di bibir, mata, dan hidung orang lain.
Berdasarkan metode hitungan sederhana William Wells, insinyur Harvard, ketika sedang meneliti penyakit tuberkulosis, percikan air berukuran besar dapat terbang sejauh hampir 1 meter, namun tidak lebih dari 2 meter, sebelum akhirnya jatuh ke tanah.
Namun, percikan ini dapat terbang sejauh 8 meter bila ada angin atau dikeluarkan melalui aktivitas yang disengaja, misalnya ketika bernyanyi.
Para ahli dan WHO juga menyetujui bukti bagaimana virus corona dapat menular melalui partikel kecil yang membentuk semacam awan, seperti asap rokok.
Partikel kecil ini dapat bertahan lebih lama dalam ruang tertutup, paling tidak selama beberapa menit, hingga maksimal dalam waktu beberapa jam.
Berdasarkan analisa ini, menentukan jarak 1 hingga 2 meter dipertanyakan kembali oleh beberapa ahli bidang kimia atmosfer dan dua orang epidemiolog di Australia.
Advertisement
Pernah Diterapkan pada Wabah Sebelumnya
Epidemiolog dan penasihat WHO, Mary-Louise McLaws mengatakan anjuran jaga jarak 1 meter, hanya efektif dalam situasi di mana udara dalam sebuah ruangan tersaring.
"Pengaruh aliran udara belum diperhitungkan dari [aturan] besaran jarak 1 meter … dan ketika ditambahkan sebagai faktor, akan menjadi sangat menakutkan," katanya.
"Australia tentunya keliru bila melindungi diri dengan menerapkan jarak 1,5 meter … tapi [aturan ini berlaku] sebelum kami memahami pengaruh aliran udara."
Professor Mary-Louise berpendapat cara mengendalikan penularan belum sesuai dengan perkembangan ilmiah mengenai penularan virus melalui percikan dahak, baik dalam ukuran besar maupun kecil.
Allan Cheng, direktur pencegahan infeksi dan epidemiolog layanan kesehatan di Alfred Health, setuju bahwa pedoman tersebut harus diralat.
"Ini adalah hal lama yang terjadi sepanjang sejarah. Data di balik [pedoman] tersebut tidak kuat."Namun, aturan besaran jarak 1 hingga 2 meter ini telah menjadi 'aturan praktis' dalam menghadapi penyebaran virus pernapasan, seperti di masa Ebola dan SARS.
Makin Jauh, Makin Aman
Selama ini, pedoman aturan jarak yang berlaku di seluruh dunia memang bercampur aduk.
Departemen Kesehatan Australia mengatakan jarak 1,5 meter dianggap sebagai pilihan terbaik ketika mempertimbangkan penularan virus dari percikan air liur berukuran besar.
"Informasi ini berdasarkan pada apa yang selama ini diketahui tentang virus lain, seperti virus flu dan penularannya," ujar juru bicara Departemen Kesehatan Australia.
Singkatnya angka tersebut bukanlah 'angka ajaib' untuk menghindari penularan, tapi semakin jauh seseorang berjarak dari yang lainnya, semakin aman-lah mereka.
"Ketika menjaga jarak 1,5 meter, anda belum pasti terhindarkan dari virus, bukan pula lebih berisiko jika virus bisa mencapai 1,49 meter," kata Profesor Allan.
Bukan Satu-Satunya Cara
Penelitian yang didanai WHO dan diterbitkan di jurnal medis The Lancet awal bulan Juni 2020 memberikan kejelasan tentang bagaimana 'physical-distancing' dapat membantu membatasi penyebaran COVID-19.
Sebelumnya, para ahli hanya menebak-nebak dan mereferensi dari sejarah.
Ulasan sistematis menemukan dengan menjaga jarak 1 meter, risiko menularkan virus turun 82 persen, dan setiap meter yang ditambahkan ketika melakukan ‘physical-distancing’ melipatgandakan perlindungan.
"Hasil dari ulasan kami mendukung penerapan kebijakan 'physical-distancing' sejauh paling tidak 1 meter dan bila memungkinkan 2 meter atau lebih," bunyi jurnal tersebut.
Laporan tersebut, berdasarkan studi pengamatan COVID-19, SARS, dan MERS di 16 negara, juga mengulas efektivitas dari masker wajah, dengan tingkat perlindungan sebesar 85 persen dan pelindung mata, dengan efektivitas 75 persen.
"Langkah lainnya, seperti menjaga kebersihan tangan, masih perlu dilakukan sama halnya dengan penggunaan masker dan pelindung mata."Tapi Profesor Allan mengatakan ia memahami bantahan dari para epidemiolog.
Profesor Mary-Louise mengakui bukti yang ada sebetulnya tidak sempurna, namun mengonfirmasi kenyataan bahwa orang-orang memang harus menjaga jarak, bukannya semakin mendekatkan diri satu sama lain.
Advertisement