Kudeta Myanmar Kemunduran Demokrasi, Respons ASEAN Dinilai Lamban

Militer Myanmar melakukan aksi kudeta atas pemerintahan Aung San Suu Kyi.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Feb 2021, 18:29 WIB
Diterbitkan 02 Feb 2021, 18:04 WIB
Militer Myanmar Kerahkan Kendaraan Lapis Baja Blokir Jalan Menuju Gedung Parlemen
Tentara Myanmar berjaga di penghalang jalan yang diawaki dengan kendaraan lapis baja di jalan menuju gedung parlemen di Naypyitaw, Myanmar, Selasa (2/2/2021). Militer Myanmar juga enahan politisi senior termasuk peraih Nobel dan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi. (AP Photo)

Liputan6.com, Myanmar - Militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi pada Senin 1 Februari 2021. Selain Aung San Suu Kyi, dalam kudeta yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing, militer menangkap pemimpin sipil Myanmar lainnya seperti Presiden Win Myint, sejumlah pejabat negara serta tokoh politik lainnya.

Ketua Badan Kerjasama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon menilai kudeta di Myanmar sebagai kemunduran demokrasi.

"Saya menilai kudeta di Negeri Pagoda Emas itu sebagai kemunduran demokrasi. BKSAP DPR RI sangat prihatin terhadap peristiwa tersebut."

Militer dan partai afiliasinya, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP), menuduh parlemen telah melakukan pelanggaran pada Komisi Pemilihan Umum dalam pemilu 8 November 2020 yang menghasilkan anggota dari parlemen di dominasi oleh anggota NLD.

Kudeta berlangsung saat hasil pemilu Myanmar yang baru saja digelar pada 2021 belum memulai persidangan.

Saksikan Video di Bawah Ini:

Penyelesaian Kasus Rohingya Menjadi Terancam

Pengungsi Rohingya dari Rakhine State, Myanmar di Bangladesh. (Dokumentasi KBRI Dhaka)
Pengungsi Rohingya dari Rakhine State, Myanmar di Bangladesh. (Dokumentasi KBRI Dhaka)

Fadli mengatakan, aksi tersebut akan berdampak buruk pada demokrasi karena pemerintah kehilangan alat kontrol kekuasaan.

"Pengambilalihan kekuasaan oleh militer Myanmar itu telah menghilangkan peran parlemen sebagai alat kontrol kekuasaan. Ini buruk bagi demokrasi. Kejadian ini perlu segera direspon oleh AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly), yang merupakan organisasi parlemen negara-negara ASEAN," katanya.

Selain demokrasi, penyelesaian kasus dalam Rohingya juga terancam akan mengalami penghambatan.

Sejak 2017, ratusan ribu penduduk Rohingya terusir dan memutuskan untuk mengungsi ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Menurut Fadli, "Tindakan militer Myanmar ini jelas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara brutal."

Dengan kudeta ini, ungkapnya, kasus Rohingya akan semakin terabaikan dan mendesak semua pihak yang terlibat dalam konflik ini untuk menahan diri.

"Di era kepemimpinan sipil saja masalah Rohingya tak bisa diselesaikan dengan baik, karena pemimpin sipilnya takut kepada militer. Sekarang, dengan kudeta militer dan krisis politik, kasus Rohingya akan semakin diabaikan pemerintah Myanmar. Itu sebabnya saya mendesak agar semua pihak yang terlibat konflik di Myanmar menahan diri," jelasnya.

Fadli sempat melihat langsung tempat pengungsian warga Rohingya di Cox Bazaar, perbatasan Bangladesh pada akhir 2017. Tempat pengungsian tersebut dihuni ratusan ribu warga Rohingya yang selamat dari militer Myanmar.

Fadli juga mendorong ASEAN untuk melakukan tindakan yang progresif dalam persoalan di Myanmar. "Menurut saya, ASEAN perlu mendorong terjadinya dialog, dan mungkin juga power sharing antarfaksi yang terlibat konflik. Sebab, selama ini ASEAN sangat lamban dan tak banyak berfungsi dalam mengatasi persoalan-persoalan semacam itu. ASEAN kelihatan tak berdaya dalam menangani masalah Rohingya apalagi kini ada kudeta."

 

Reporter: Paquita Gadin

Infografis Waspadai 3 Gejala Khusus Covid-19 pada Lansia

Infografis Waspadai 3 Gejala Khusus Covid-19 pada Lansia. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Waspadai 3 Gejala Khusus Covid-19 pada Lansia. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya