Kisah Pengungsi Nekat Makan Tembakau hingga Minum Sampo Demi Suaka ke Eropa

Bagaimana nekatnya pengungsi yang berharap memasuki Uni Eropa melalui Kroasia dengan sengaja menelan zat berbahaya agar dibawa ke rumah sakit.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Agu 2021, 18:36 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2021, 18:36 WIB
Sekelompok pencari suaka di hutan Croatia setelah melintasi perbatasan Bosnia-Croatia (AP photo)
Sekelompok pencari suaka di hutan Croatia setelah melintasi perbatasan Bosnia-Croatia (AP photo)

Liputan6.com, Zagreb - Ini kisah para pencari suaka yang mencoba memasuki Uni Eropa melalui Kroasia tak segan melakukan hal nekat. Yakni sengaja menelan berbagai zat berbahaya, termasuk opiat -- turunan dari tanaman opium -- yang kuat.

Aksi itu dilakukan dengan harapan agar polisi akan membawa mereka ke rumah sakit, daripada mendeportasi mereka secara ilegal. Banyak yang menggandeng anak kecil bersama mereka.

Pihak berwenang Kroasia telah meningkatkan pengawasan mereka beberapa tahun terakhir atas perlakuan kekerasan terhadap pencari suaka selama "pushbacks" atau sebuah praktik ilegal di mana orang dideportasi sebelum mereka diizinkan untuk mengajukan suaka.

Dilansir dari Al Jazeera, Sabtu (21/8/2021), ratusan migran terdampar di perbatasan Kroasia di barat laut Bosnia dan telah mencoba masuk wilayah Uni Eropa puluhan kali untuk mengajukan klaim suaka.

Para pencari suaka termasuk dari Afganistan berharap apabila mereka sakit, mereka dapat dilarikan ke rumah sakit dan memiliki kesempatan untuk mengajukan klaim suaka. Mereka menjelaskan, bagaimanapun, perempuan yang paling banyak menelan zat-zat berbahaya tersebut – meliputi opiat, obat penghilang rasa sakit, obat tidur, tembakau rokok, dan sampo – karena pria yang sakit tidak akan menarik simpati polisi Kroasia. Tetapi sebaliknya jika yang melakukan kaum perempuan.

"Saya pergi ke Kroasia untuk mencari suaka (bersama keluarga saya) dan saya meminum 4 Tramadol," ujar seorang ibu 3 anak berusia 38 tahun yang datang dari wilayah Kurdi di Iran melalui pesan video yang dikirim kepada Al Jazeera dari sebuah rumah kosong di Hadžin Potok.

Tempat tersebut berada di Kota Bosnia yang hanya kurang dari 2 km (sekitar 1 mil) dari perbatasan Kroasia. Ia tidak ingin namanya disebut karena malu telah menggunakan narkoba. Dosis Tramadol biasa, opiat yang dapat menyebabkan masalah pernapasan parah dan mungkin fatal, mungkin 1 atau 2 pil.

"(pil-pil) tersebut membuat saya merasa sangat sakit, (dan saya) pusing dan mual. Namun, ketika polisi tiba, mereka tetap mendorong kami kembali ke Bosnia," ujarnya. "Saya harus meminum pil-pil ini karena anak-anak saya, sehingga kami dapat meninggalkan negara ini dan pergi ke Eropa."

Pencari suaka lain yang tinggal di daerah tersebut juga mengatakan mereka memakan tembakau rokok dan minum sampo, yang dinilai lebih aman daripada menelan opiat.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tindakan Nekat Terinspirasi oleh Ferhana dan Demi Keluarga

Ilustrasi tembakau rokok (pexels)
Ilustrasi tembakau rokok (pexels)

Keyakinan para pencari suaka dengan taktik berbahaya ini didukung oleh kisah-kisah perempuan seperti Ferhana, yang menelan sebatang rokok pada November lalu di hutan Kroasia saat "bermain" bersama suami dan anak-anaknya. "Bermain" adalah istilah yang digunakan pencari suaka untuk menggambarkan upaya mereka melintasi perbatasan dengan mengonsumsi zat berbahaya.

"Detak jantung saya melambat (dan) saya kehabisan napas. Tubuh saya mati rasa. Saya hanya dapat mendengar, tetapi tidak dapat bereaksi," kenang perempuan 33 tahun itu saat berkomunikasi melalui pesan teks dari Munich, di mana ia, suami, dan 2 anak perempuannya tinggal sebagai pencari suaka. Ia mengatakan telah lama memiliki masalah jantung yang mengharuskannya untuk mendapatkan angioplasti setibanya di Jerman.

Sekitar 30 menit setelah menelan tembakau rokok, Ferhana mengatakan ia hilang kesadaran. Ia terbangun beberapa jam kemudian di sebuah rumah sakit di Zagreb, ibu kota Kroasia.

"Bahkan saat ini tubuh saya gemetar saat mengingat hari-hari itu," jelas Ferhana. Namun, ia mengatakan apa yang dilakukannya adalah demi keluarganya. Setelah sebulan dikarantina di kamp Kroasia, mereka dapat melakukan perjalanan ke Jerman, meskipun putrinya, yang berusia 5 dan 7 tahun masih takut dengan petugas polisi.

Sulit untuk menentukan berapa banyak pencari suaka yang menggunakan taktik ini. Pencari suaka yang tersebar di berbagai belahan negara dan tinggal berjauhan puluhan kilometer menceritakan kisah serupa tentang penggunaan zat berbahaya yang menunjukan keputus asaan untuk memicu proses suaka mereka.

Dewan Pengungsi Denmark, salah satu organisasi migrasi utama yang beroperasi di Bosnia mengatakan bahwa timnya, beserta petugas media palang merah telah mendengar "laporan anekdotal" tentang taktik overdosis semacam itu. Namun, tidak ada data yang tersedia.

Semua Orang Mengonsumsi Tramadol

Ilustrasi overdosis pil (pixabay)
Ilustrasi overdosis pil (pixabay)

Para pencari suaka mengatakan mereka membeli tramadol dari apotek lokal, pengungsi lain, dan warga Bosnia di pasar gelap hanya dengan 2,25 euro (38 ribu rupiah) untuk 20 pil tablet. Tramadol biasanya membutuhkan resep, tetapi pencari suaka mengatakan mereka dapat dengan mudah membelinya tanpa resep. Sekitar selusin pencari suaka mendapatkan pil dari apotek yang sama.

Petugas media sukarelawan asing di Bosnia melaporkan penggunaan obat kuat yang tinggi di antara para pencari suaka biasanya untuk mengobati rasa sakit fisik dan psikologis.

"Saya menilai 95% orang dewasa disini menggunakan tramadol atau obat pereda nyeri lainnya,” kata seorang paramedis Jerman yang merujuk pada sebuah desa kecil dimana sekitar 200 pencari suaka adalah orang Afganistan. Mereka tinggal di rumah-rumah yang terbengkalai. Relawan tersebut meminta nama dan lokasinya dirahasiakan karena memberi layanan medis tanpa izin Bosnia adalah tindakan ilegal.

“Orang-orang berusia 15 atahu 16 tahun meminum pil ini dan saya telah melihat anak berusia di bawah 14 tahun mengalami gejala overdosis dari pil tidur,” tambah sukarelawan tersebut.

“Semua orang disini menelan tramadol,” kata seorang pria 20-an Afganistan yang tinggal di desa yang disebut relawan tadi. “Kami menegonsumsinya ketika polisi Kroasia memukul kami, jadi kami tidak merasa kesakitan.”

Seorang gadis 17 tahun yang tinggal di sekitar sana mengatakan ayahnya kadang menelan tramadol untuk rasa sakit saat sedang “bermain”.

“Ia harus menggendong adik saya karena ia (adiknya) berusia 4 tahun dan tidak dapat berjalan,” jelas gadis sulung dari 7 bersaudara itu.

Dibandingkan overdosis tramadol saat "bermain", pencari suaka di kamp ini mengatakan mereka menelan tembakau rokok dengan seteguk air, yang akan menyebabkan mereka muntah berkali-kali. Dengan muntah yang berlebihan, mereka harap akan cepat di bawa ke rumah sakit daripada dipaksa kembali.

Upaya Putus Asa

Ilustrasi pencari suaka Afganistan di Bosnia dekat perbatasan Croatia (AP photo)
Ilustrasi pencari suaka Afganistan di Bosnia dekat perbatasan Croatia (AP photo)

“Orang akan melakukan apa saja untuk sampai ke Eropa,” ujar seorang anak laki-laki 17 tahun Afganistan yang sendirian.

Pada suatu pagi yang dingin pada bulan Desember lalu, Asal, seorang ibu 32 tahun dengan 2 anak anak dari Afganistan mengambil resiko yang sama.

Pil-pil tersebut adalah idenya, kata suami Asal, Osman (32). Osman memohon agar istrinya mempertimbangkan kembali tindakan tersebut. Mengingatkannya bahwa anak-anak mereka yang berusia 7 dan 9 tahun membutuhkannya. Namun, tekad Asal bulat dan ia yakin inilah satu-satunya cara untuk membawa keluarganya mencapai Kroasia.

10 euro (168 ribu rupiah) adalah jumlah uang yang harus dikeluarkan pasangan tersebut untuk membeli sebungkus obat tidur kuat yang berisi 10 pil di apotek setempat. Baik Asal maupun Osman tidak mengingat nama maupun dosis obat yang mereka beli saat itu.

Sebelum fajar menyingsing, Asal, Osman, beserta anak-anak mereka dan ayah Osman yang berusia 70 tahun – yang memiliki masalah pernapasan kronis – melintasi hutan dari Bosnia ke Kroasia bersama 3 keluarga Afganistan lainnya yang membawa serta anak kecil.

Tidak lama setelah mereka melintasi perbatasan, Asal mengambil 8 dari 10 pil, kenang Osman. Perempuan lain dari kelompok yang bersamanya tidak minum obat apa pun.

Asal tak dapat mengingat dengan baik kejadian hari itu. Namun, Osman ingat bahwa kurang dari 1 jam setelah istrinya menelan pil-pil, kulitnya menguning, matanya berkaca-kaca, berat, dan kepalanya terkulai lemas ke satu sisi. Anak-anak mereka mulai menangis karena tidak mengerti apa yang terjadi pada ibu mereka.

Pada percobaan melintasi perbatasan sebelumnya, mereka selalu bertemu dengan polisi di tempat Asal menelan pil, mereka harap polisi segera datang, menemukan Asal dalam keadaan yang buruk, dan membawa mereka semua ke rumah sakit.

Namun, kali ini, polisi tidak muncul.

Tak lama kemudian, Asal mengalami penderitaan yang luar biasa. Ia berteriak “Jangan sentuh aku! Jangan sentuh aku!” Kenang Osman. Kulit Asal seperti air mendidih. Ia berhasil berjalan sejauh 1 km (0,6 mil) sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Kembali ke Bosnia

Ilustrasi kamp di Bosnia (wikimedia commons)
Ilustrasi kamp di Bosnia (wikimedia commons)

“Seperti meninggal. Selesai,” ujar Osman dengan tenang mengenai kondisi istrinya. Rombongan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tidak ada polisi di sekitar mereka dan jika keberuntungan mereka berlanjut, mereka mungkin akan sampai ke kamp pencari suaka untuk keluarga di Zagreb.

Jadi, mereka melakukan satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan ditengah hutan Kroasia tanpa jaminan bantuan dan sendirian. 4 orang pria dalam kelompok tersebut bergiliran menggendong Asal yang tak sadarkan diri.

Beberapa kilometer setelah sungai Glina, ujar Osman, pihak berwenang Kroasia menangkap mereka. Asal masih tak sadarkan diri, terkulai dengan lidah menjulur. Salah satu komentar petugas tentang keadaan fisik Asal saat itu adalah, “Tidak masalah. Hajde (artinya  “Ayo pergi” dalam bahasa Kroasia),” kenang Osman.

Kelompok tersebut dibawa kembali dengan mobil ke Bosnia sekitar pukul 10 malam. Saat keluarga-keluarga itu kembali melewati perbatasan yang baru saja mereka lewati tadi pagi, Osman mengatakan polisi Kroasia menembakkan senjata ke udara dan mengancam sambil berteriak: “Kembalilah ke Bosnia!”

Asal kembali menjadi dirinya, seorang perempuan baik hati dan sopan. Bagaimanapun semangat mereka memudar. Bulan Juli menandakan bulan ke-10 mereka di Bosnia.

Hampir setiap hari di musim panas ini, ayah mertua Asal yang sudah lanjut usia berjalan 2 kilometer (1,2 mil) dari rumah mereka, sebuah rumah kosong tanpa listrik atau air mengalir. Tujuan ayah mertuanya tidak lain adalah perbatasan Kroasia, sendirian, untuk meminta suaka kepada penjaga perbatasan. Terkadang, ia membawa tas belanjaan dengan beberapa pakaian, terkadang tidak sama sekali.

Selama berbulan-bulan hal tersebut dilakukan ayah mertua Asal. Namun, ia selalu kembali ke rumah sekitar satu jam kemudian, membawa jawaban yang sama.

Sampai suatu hari di bulan Juli, tiba-tiba seorang pihak berwenang membiarkannya lewat. Pria tua itu melintasi perbatasan dengan sepasang sandal usang dan hanya dengan pakaian ganti atas namanya. Sekarang, ia menunggu sendirian di kamp pengungsi di Zagreb, menanti seluruh keluarganya bergabung dengannya. Kapan hal itu akan terjadi menjadi pertanyaan semua orang.

 

*Nama telah disamarkan untuk menyembunyikan identitas narasumber

 

Reporter: Ielyfia Prasetio 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya