Liputan6.com, Lahore - Pengadilan distrik di Lahore pada Senin 27 September 2021 menjatuhkan hukuman mati kepada seorang kepala sekolah perempuan karena mengklaim perihal kenabian.
Penuntut berhasil membuktikan kasus terhadap terpidana, Salma Tanveer. Sementara para terdakwa gagal membuktikan bahwa terdakwa tidak stabil secara mental ketika dia melakukan pelanggaran --dengan tujuan agar terbebas dari jerat hukum.
Baca Juga
Mengutip Tribune.pk, Rabu (29/9/2021), kasus ini bermula saat Salma, pada 3 September 2013, menerbitkan dan mendistribusikan sebuah pamflet di daerah dekat kediamannya di Lahore, Pakistan. Saat itu ia menyangkal Finalitas Kenabian.
Advertisement
Pamflet itu juga berisi kata-kata yang menghina Nabi Muhammad (SAW), mengklaim kenabiannya dan menyebut dirinya Rahmatul Alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Penduduk daerah tersebut mengajukan First Information Report (FIR) atau laporan awal terhadap terdakwa, setelah polisi setempat menangkap kepala sekolah itu. Polisi Nishtar Colony juga menyatakan dia bersalah selama penyelidikan.
Pengacara pembela telah mengajukan pembelaan setelah periode satu setengah tahun bahwa kliennya tidak stabil secara mental. Kemudian, dewan medis dibentuk yang menyatakan bahwa terdakwa tidak layak untuk diadili.
Persidangan belum membuahkan keputusan selama dua tahun berikutnya, sampai otoritas penjara melakukan pemeriksaan medis terhadap terdakwa kasus mengaku nabi, menulis kepada pengadilan bahwa terdakwa layak untuk menghadapi persidangan.
Selama persidangan, para terdakwa sekali lagi mengajukan pembelaan serupa bahwa kliennya tidak sehat pada saat kejadian.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dihukum Gantung dan Denda
Di sisi lain, kuasa hukum pelapor, advokat Ghulam Mustafa Chaudhary, berargumen mengapa permohonan terdakwa didengar setelah sekian lama, sementara perempuan itu terus menjalankan sekolahnya dan mengunjungi negara asing beberapa kali.
Selama persidangan, terdakwa juga telah memberikan hak properti berurusan dengan suaminya sesuai proses hukum.
Penasehat hukum terdakwa menegaskan kembali bahwa terdakwa tidak waras pada saat kejadian. Dia lebih lanjut memohon kepada pengadilan bahwa berdasarkan pasal 84 PPC, tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang tidak waras.
Kuasa hukum penggugat Chaudhry berpendapat bahwa penuntut telah membuktikan kasusnya berdasarkan bukti lisan dan dokumenter, sedangkan terdakwa gagal membuktikan bahwa pada saat menulis dan mendistribusikan materi penistaan, dia tidak mampu mengetahui sifat tindakannya dengan alasan ketidaksehatan pikiran.
Setelah mendengar kedua belah pihak, hakim distrik akhirnya memutuskan memberikan hukuman mati kepada terdakwa dan menjatuhkan denda Rs50.000 (rupee pakistan) atau sekitar Rp 4,1 juta.
"Dia akan digantung di lehernya sampai kematiannya," demikian bunyi putusan pengadiilan.
Advertisement