Liputan6.com, Jakarta - Varian COVID-19 Omicron yang lebih menular diprediksi menyebabkan efek yang lebih ringan daripada Delta yang sempat dominan secara global. Meski demikian, pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan varian ini tidak boleh dikategorikan sebagai hal "ringan".
Baca Juga
Advertisement
Janet Diaz, pimpinan WHO untuk manajemen klinis, mengatakan bahwa studi awal menunjukkan ada penurunan risiko rawat inap dari varian yang pertama kali diidentifikasi di Afrika selatan dan Hong Kong pada November 2021 dibandingkan dengan Delta. WHO juga meneliti adanya penurunan risiko keparahan Omicron pada orang yang lebih muda, seperti dikutip dari laman Channel News Asia, Jumat (7/1/2022).
Dampak pada orang tua adalah salah satu pertanyaan besar yang belum terjawab dari varian Omicron karena sebagian besar kasus yang dipelajari sejauh ini terjadi pada orang yang lebih muda.
"Meskipun Omicron tampaknya tidak terlalu parah dibandingkan Delta, terutama pada mereka yang divaksinasi, itu tidak berarti itu harus dikategorikan dalam kategori ringan," kata direktur jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus pada pengarahan yang sama di Jenewa.
"Sama seperti varian sebelumnya, Omicron bisa menyebabkan orang dirawat di rumah sakit dan membunuh."
Dia memperingatkan "tsunami" kasus ketika infeksi global melonjak ke rekor yang dipicu oleh varian Delta, sistem perawatan kesehatan kewalahan, dan pemerintah berjuang untuk menjinakkan virus, yang telah menewaskan lebih dari 5,8 juta orang.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
PBB Imbau Kesetaraan Vaksin
Tedros mengulangi seruannya untuk kesetaraan yang lebih besar secara global dalam distribusi dan akses vaksin COVID-19.
"Berdasarkan tingkat peluncuran vaksin saat ini, 109 negara tak dapat memenuhi target WHO yaitu 70 persen populasi dunia yang mesti divaksinasi penuh pada Juli 2022," ujar Tedros.
Tujuan itu dipandang membantu mengakhiri fase akut pandemi COVID-19.
Penasihat WHO Bruce Aylward mengatakan 36 negara bahkan belum mencapai 10 persen cakupan vaksinasi. Di antara pasien parah di seluruh dunia, 80 persen tidak divaksinasi.
Advertisement