Liputan6.com, Bamako - Para pemimpin militer Mali mengusir duta besar (dubes) Prancis, atas apa yang mereka sebut akibat komentar "keterlaluan" yang dibuat oleh menteri luar negeri Prancis terkait pemerintah transisi.
Prancis mengatakan sedang memanggil kembali Dubes Prancis untuk Mali Joel Meyer, yang diberi waktu 72 jam untuk pergi dari negara tempatnya bertugas.
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian mengatakan junta Mali "tidak sah" dan "di luar kendali".
Advertisement
Kekuatan Barat juga prihatin dengan keterlibatan Rusia yang semakin meningkat di bekas jajahan Prancis itu.
Moskow dilaporkan mengirim penasihat militer dalam beberapa pekan terakhir untuk mendukung pasukan keamanan lokal dalam perjuangan mereka dengan gerilyawan. Laporan yang belum dikonfirmasi mengatakan ratusan tentara bayaran Rusia juga beroperasi di Mali.
Prancis, yang melakukan intervensi pada tahun 2013 untuk mendukung pemerintah melawan para militan, berencana untuk mengurangi penempatan pasukannya sendiri.
Hubungan Prancis-Mali Memburuk Sejak Junta Berkuasa
Dalam wawancara lain, Menlu Prancis Le Drian menuduh tentara bayaran Rusia "membantu diri mereka sendiri ke sumber daya negara dengan imbalan melindungi junta".
Hubungan antara Prancis dan Mali, negara yang terkurung daratan di Afrika Barat yang merupakan salah satu negara termiskin di dunia, telah memburuk sejak tentara merebut kekuasaan pada Agustus 2020.
Ketegangan meningkat lebih lanjut bulan ini ketika junta membatalkan kesepakatan untuk mengatur pemilihan pada Februari dan berjanji untuk memegang kekuasaan hingga 2025.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Penguasa Mali Dituding Melakukan Provokasi
Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly menuduh penguasa Mali meningkatkan "provokasi" terhadap negaranya.
"Dubes Meyer dipanggil dan diberitahu tentang keputusan pemerintah yang mengundangnya untuk meninggalkan wilayah nasional dalam waktu 72 jam akibat komentar bermusuhan dan keterlaluan oleh menteri luar negeri Prancis baru-baru ini", kata pemerintah Mali dalam sebuah pernyataan yang dibacakan di televisi nasional.
Kementerian luar negeri Prancis kemudian mengkonfirmasi akan memanggil duta besar segera setelah pernyataan itu.
Prancis masuk pada 2013 setelah gerilyawan Islam menyerbu bagian utara Mali. Dengan bantuan Prancis, tentara Mali telah merebut kembali wilayah itu, tetapi gerilyawan melancarkan pemberontakan yang semakin berdarah di seluruh wilayah Sahel.
Prancis juga memiliki pasukan di Niger dan Burkina Faso, yang juga memerangi pemberontakan militan.
Advertisement