Liputan6.com, Jakarta Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn, yang menjadi utusan ASEAN untuk krisis di Myanmar, telah mendesak para pemimpin militer negara itu agar mengembalikan pemimpin terguling Aung San Suu Kyi ke tahanan rumah dari sel penjaranya di sel isolasi. Desakan tersebut disampaikan pada Senin (27/6) menjelang perjalanan keduanya ke Myanmar.
Baca Juga
Advertisement
Dalam sepucuk surat yang ditujukan kepada para pemimpin militer Myanmar, ia mendesak mereka untuk "berbelas kasih dan memfasilitasi kembalinya Daw Aung San Suu Kyi ke rumah di mana ia awalnya ditahan, dengan pertimbangan kesehatan dan kondisinya yang rapuh."
Otoritas militer Myanmar memindahkan Suu Kyi minggu lalu dari lokasi yang dirahasiakan ke sebuah penjara di ibu kota, Naypyitaw, dan menempatkannya ke dalam sel isolasi.
Kepada VOA, juru bicara militer Myanmar Mayor Jenderal Zaw Min Tun mengatakan bahwa Suu Kyi didakwa dalam masalah kriminal. "Tidak seorang pun kebal akan hukum," katanya. Ia menambahkan bahwa Suu Kyi tinggal di penjara "terpisah dari narapidana lain, dan (berada dalam) kondisi nyaman."
Suu Kyi didakwa dengan berbagai kejahatan, termasuk korupsi, sejak pemerintahannya digulingkan oleh pihak militer pada Februari 2021. Dia telah membantah semua tuduhan yang dilayangkan kepadanya.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Masih Dipenjara, Aung San Suu Kyi Pindah ke Penjara Baru
Nasib mantan pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, masih belum jelas usai kudeta militer pada awal 2021 lalu. Militer Myanmar masih menyembunyikan Suu Kyi dari publik, dan para pendukungnya masih terus berusaha agar Suu Kyi bebas, namun wanita itu terus mendapatkan berbagai vonis penjara.
Berdasarkan laporan VOA Indonesia, Kamis (23/6/2022), ada kabar bahwa Suu Kyi telah dipindahkan dari penjaranya menuju penjara lain yang lebih baru.
 Pada Rabu (22/6), Aung San Suu Kyi dipindahkan dari sebuah lokasi penahanan rahasia ke sebuah penjara di ibu kota negara itu, demikian kata pejabat hukum yang akrab dengan kasusnya.
Kasus pengadilan dirinya yang sedang berlangsung akan dilakukan di sebuah fasilitas baru yang dibangun di kompleks penjara, demikian kata mereka.
Suu Kyi ditangkap pada 1 Februari 2021 ketika militer merebut kekuasaan dari pemerintahan yang dipimpinnya. Dia tadinya ditahan di rumahnya di ibukota, tetapi kemudian dipindahkan ke lokasi lain, dan selama setahun lalu telah ditahan di lokasi yang tidak diketahui di ibu kota Naypyitaw, asumsinya dia ditahan di sebuah pangkalan militer.
Dia telah diadili atas berbagai butir tuduhan, termasuk korupsi, oleh sebuah peradilan khusus di Naypyitaw yang mulai bersidang pada 24 Mei 2021.
Untuk setiap butir dari ke 11 butir dakwaan korupsi yang dihadapinya, Suu Kyi terancam hukuman 15 tahun penjara.
Dia sudah dihukum 11 tahun penjara setelah dinyatakan bersalah mengimpor secara illegal alat walki-talkie dan melanggar pembatasan virus corona. Selain kasus korupsi yang sedang berlangsung, dia juga dituduh melakukan kecurangan dalam pemilihan dan melanggar UU Rahasia Negara.
Advertisement
Kabar Eksekusi Mati 2 Figur Pendukung Pemimpin Sipil Aung San Suu Kyi
Beberapa waktu lalu, junta militer dilaporkan akan menerapkan hukuman mati bagi dua pendukung Suu Kyi. Langkah militer itu dikecam aktivis, sehingga membuka jalan bagi eksekusi mati pertama negara itu dalam beberapa dekade.
Pemerintah telah menerima kecaman luas di luar negeri karena menggulingkan pemerintah terpilih dalam kudeta lebih dari setahun yang lalu, dan atas tindakan keras brutal yang sejak itu dilancarkannya terhadap para kritikus, anggota oposisi, dan aktivis.
Kyaw Min Yu, seorang aktivis demokrasi veteran, dan Phyo Zayar Thaw, seorang anggota parlemen untuk mantan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi yang berkuasa, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer pada Januari atas tuduhan pengkhianatan dan terorisme, menurut pernyataan junta militer pada saat itu.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan pihaknya "sangat terganggu" oleh pengumuman hari Jumat, yang digambarkan oleh juru bicara PBB Stephane Dujarric sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang terang-terangan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan agar dakwaan dibatalkan "terhadap mereka yang ditangkap atas tuduhan terkait dengan pelaksanaan kebebasan dan hak-hak dasar mereka dan untuk pembebasan segera semua tahanan politik di Myanmar," kata Dujarric.
Tidak jelas apakah Kyaw Min Yu dan Phyo Zayar Thaw telah membantah tuduhan terhadap mereka. Pernyataan junta tidak menyebutkan permohonan mereka.
Banding mereka terhadap hukuman itu ditolak, kata juru bicara junta militer, meskipun tidak jelas oleh siapa. Perwakilan para aktivis tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
"Sebelumnya, para terpidana yang dijatuhi hukuman mati dapat mengajukan banding dan jika tidak ada keputusan yang dibuat, maka hukuman mati mereka tidak akan diterapkan," kata juru bicara junta militer Zaw Min Tun kepada BBC Burmese.
"Saat ini, banding itu ditolak sehingga hukuman mati akan diterapkan," katanya.
Dia tidak mengatakan kapan eksekusi akan dilakukan.
Hakim di Myanmar menghukum mati pelanggar karena kejahatan serius termasuk pembunuhan, tetapi tidak ada yang dieksekusi dalam beberapa dekade.
Hukuman Mati Melonjak di Bawah Junta Militer
Pada tahun 2014, hukuman tahanan yang dijatuhi hukuman mati diubah menjadi penjara seumur hidup, tetapi beberapa lusin narapidana menerima hukuman mati antara kudeta saat itu dan tahun lalu.
Militer mengambil alih kekuasaan setelah mengeluhkan kecurangan dalam pemilihan umum November 2020 yang dimenangkan oleh NLD Aung San Suu Kyi.
Kelompok pemantau pemilu tidak menemukan bukti kecurangan massal.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, yang melacak penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan negara, mengatakan pengadilan Myanmar telah menjatuhkan hukuman mati kepada 114 pelanggar politik, termasuk dua anak-anak, sejak tentara merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Suu Kyi pada Februari tahun lalu.
Pengambilalihan tentara tahun lalu memicu protes rakyat nasional, yang berubah menjadi pemberontakan tingkat rendah setelah demonstrasi tanpa kekerasan disambut dengan kekuatan mematikan oleh pasukan keamanan.
Asosiasi Bantuan memperkirakan bahwa 1.887 warga sipil telah tewas di tangan polisi dan militer dalam tindakan keras terhadap penentang pemerintahan militer.
Beberapa kelompok perlawanan telah terlibat dalam pembunuhan, penembakan drive-by dan pemboman di daerah perkotaan.
Organisasi oposisi arus utama umumnya menolak kegiatan semacam itu, sambil mendukung perlawanan bersenjata di daerah pedesaan, yang lebih sering menjadi sasaran serangan militer brutal.
Advertisement