Liputan6.com, Kiev- Setelah tujuh bulan Rusia-Ukraina berperang, banyak warga Ukraina yang takut akan penderitaan dan penindasan yang lebih berat menanti mereka karena referendum yang direncanakan oleh Kremlin dengan bantuan Angkatan bersenjata.
Referendum tersebut dilakukan untuk aneksasi Rusia di empat wilayah yang didudukinya.
Baca Juga
Banyak penduduk Ukraina melarikan diri dari daerah yang dikuasai Rusia, sebelum referendum berlangsung karena mereka takut dipaksa untuk memililih bahkan mereka berpotensi mengikuti wajib militer untuk Rusia.
Advertisement
Petro Kobernik, warga yang meninggalkan Kherson, kota yang dikuasai Rusia tepat sebelum pemungutan suara dilakukan mengatakan, hidup di bawah hukum Rusia dan di bawah perang yang kian memanas membuatnya sangat gelisah.
“Situasi berubah dengan cepat, orang-orang juga takut akan disakiti baik oleh militer Rusia atau gerilyawan Ukraina dan pasukan Ukraina,” kata Kobernik, dalam wawancara telepon, dikutip dari AP, Selasa (27/9/2022).
Saat beberapa pejabat Rusia membawa surat suara ke lingkungan warga dengan dikawal oleh polisi bersenjata, Kobernik mengatakan, ayahnya yang berusia 70 tahun menutup pintu rumahnya di Desa Novotroitske—bagian dari Kherson—dan bersumpah untuk tidak membiarkan siapapun masuk.
Referendum yang dikecam dan dianggap sebagai kecurangan oleh Kiev dan sekutu Baratnya berlangsung di Luhansk dan Kherson yang dikuasai Rusia, dan di daerah yang Rusia duduki seperti di Donetsk dan Zaporizhzhia. Hal tersebut dipandang sebagai dalih aneksasi, dan diperkirakan bahwa Rusia akan mengumumkan keempat daerah tersebut sebagai miliknya setelah pemungutan suara berakhir.
Taktik referendum ini telah digunakan oleh Kremlin pada 2014. Saat itu, Kremlin mengadakan referendum di wilayah Krimea untuk menganeksasi semenanjung Laut Hitam, yang kemudian dikecam oleh dunia.
Upaya Ukraina Menghadapi Referendum
Adanya rencana referendum ini tak membuat Ukraina diam, Ukraina mengancam warganya dari empat wilayah yang diduduki Rusia bahwa mereka akan menghadapi hukuman pidana jika mereka memberikan suaranya dan menyarankan mereka untuk pergi.
Presiden Rusia Vladimir Putin, yang mulai memobilisasi lebih banyak pasukan untuk perang mengatakan, ia siap menggunakan senjata nuklir untuk melindungi wilayah tersebut dari Ukraina untuk menghentikan keempat wilayah tersebut direbut kembali.
Retorika Putin dan keputusan politisnya yang berisiko dalam mengerahkan 300.000 tentara cadangan, mobilisasi militer parsial, terjadi setelah Ukraina membuat Rusia mundur secara terpaksa dari sebagian besar wilayak Ukraina di timur laut karena serangan balasan Ukraina.
Vladimir Saldo, Gubernur wilayah Kherson yang ditunjuk Moskow menegaskan, upaya Ukraina untuk menggagalkan referendum dengan menembaki kota-kota tidak akan berhasil.
"Ini rumit karena ini masalah keamanan, tetapi semuanya dilakukan agar pelaksanaan pemungutan suara tetap aman bagi para pemilih dan petugas pemilu," kata Saldo dalam sebuah video.
"Masyarakat sedang meunggu untuk bergabung dengan Rusia dan menginginkan hal itu dilakukan secepat mungkin," tambah Saldo.
Gerakan separatis di wilayah Donetsk dan Luhansk timur yang didukung oleh Moskow mengklaim bahwa sebagian besar penduduk wilayah tersebut memang berkeinginan untuk bergabung dengan Rusia sejak aneksasi Rusia atas Krimea.
Advertisement
Penduduk Ketakutan
Berbeda dengan pengakuan Saldo, banyak penduduk yang ternyata ketakutan dan pergi dari wilayah yang diduduki oleh Rusia.
"Jalanan kosong karena penduduk yang lain tinggal di rumah. Tidak ada yang ingin bergabung bersama Rusia, tetapi mereka mencoba mengumpulkan kami,” kata Marina Irkhom penduduk yang tinggal di Laut Azov, Berdyanks melalui telepon.
"Mereka yang membela Ukraina telah pergi dan bersembunyi. Banyak juga orang tua yang tetap mendukung Rusia tetap tinggal tetapi mereka ketakutan," tambah Marina.
Gerilyawan Ukraina juga terus menargetkan pejabat yang ditunjuk Moskow di wilayah-wilayah yang diduduki Rusia.
Seminggu sebelum referendum, salah satu wakil kepala pemerintahan Kota Berdyansk dan istrinya tewas dalam sebuah serangan.
Yellow Band, salah satu kelompok gerilyawan yang dinamai sejalan dengan warna bendera Ukraina yang berwarna kuning dan biru dilaporkan ikut mengancam para penduduk di kota-kota yang dikuasai oleh Ukraina.
Anggota gerilyawan Yellow Band menyebarkan selembaran yang mengancam warga Ukraina yang memberikan suaranya dan menserak mereka untuk mengirim foto dan video orang-orang yang melanggar untuk dapat dilacak.
Para gerilyawan juga menyebarkan nomor telepon kepala komisi pemilihan umum di wilayah Kherson, dan meminta seluruh aktivis pro-Ukraina untuk “membuat hidup mereka tidak leluasa.”
"Rusia melihat warga enggan dan takut untuk memilih, sehingga mereka terpaksa menangkap penduduk di sana,” kata Ivan Federov, walikota Ukraina di Kota Melitopol yang dikuasai Rusia, yang ditahan oleh Rusia sebelum meninggalkan kota itu.
"Rusia dan kelompok yang berkolaborasi dengan Rusia beserta pasukan bersenjata masuk dari satu apartemen ke apartemen lainnya, tetapi hanya sedikit orang yang membukakan pintu," kata Federov. "Referendum yang mereka lakukan dengan tergesa-gesa menunjukkan bahwa mereka bahkan tidak akan menghitung surat suara dengan sungguh-sungguh," tambahnya.
Penduduk Terpaksa Tinggal
Larysa Vinohradova, seorang penduduk di Mariupol yang meninggalkan kota setelah invasi Rusia mengatakan, banyak temannya yang tetap tinggal karena mereka harus merawat orang tua mereka yang sudah lanjut usia yang menolak untuk melarikan diri.
"Mereka tidak mendukung Rusia, mereka ingin Mariupol menjadi bagian dari Ukraina, dan mereka menunggu itu,” kata Larysa sambal menangis.
Gubernur Luhansk Serhuy Haidai, yang meninggalkan Luhansk setelah dikuasai oleh Rusia mengatakan, para penduduk khawatir Rusia akan mengerahkan lebih banyak pasukannya setelah perintah mobilisasi Vladimir Putin.
“Rusia menggunakan referendum ini sebagai dalih bagi pasukan bersenjata untuk mengunjungi apartemen-apartemen dan mencari orang yang tersisa untuk memobolisasi mereka dan mencari hal yang mencurigakan,” kata Haidai kepada The Associated Press.
“Serangan balasan Ukraina yang cepat telah membuat Rusia takut,” tambah Haidai.
Para analis mengatakan Putin berencana untuk menggunakan ancaman militer untuk memaksa Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bernegosiasi dengan Kremlin.
Advertisement