Menlu Retno Marsudi Dorong Bantuan Untuk Afghanistan dan Myanmar Lewat Palang Merah Internasional

Menlu Retno Marsudi mendorong bantuan kemanusiaan untuk Afghanistan dan Myanmar.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 28 Sep 2022, 13:36 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2022, 13:30 WIB
Menlu Retno Marsudi dengan Peter Maurer, Presiden Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) (23/09/2022). (Dok: Menlu RI)
Menlu Retno Marsudi dengan Peter Maurer, Presiden Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) (23/09/2022). (Dok: Menlu RI)

Liputan6.com, New York - Situasi dan bantuan kemanusiaan untuk Myanmar dan Afghanistan menjadi pokok bahasan utama pertemuan antara Menlu Retno Marsudi dengan Peter Maurer, Presiden Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) (23/09/2022).

Pertemuan juga dilakukan sebagai pertemuan perpisahan, mengingat Presiden Palang Merah Internasional akan segera mengakhiri masa tugasnya. ICRC dan Indonesia banyak melakukan kerjasama, termasuk di negara-negara yang sedang alami krisis kemanusiaan.

Dalam pertemuan, Menlu RI dan Presiden ICRC melakukan tukar pandangan mengenai kondisi kemanusiaan di beberapa negara, antara lain Myanmar, Rohingya dan Afghanistan.

“Kondisi masyarakat Rohingya di pengungsian perlu terus mendapatkan perhatian ditengah dunia yang menghadapi banyak krisis. Situasi Myanmar setelah kudeta, menjadi lebih sulit untuk melakukan repatriasi Rohingya ke Myanmar secara sukarela, aman dan bermartabat”, kata Menlu Retno.

Menlu dan Presiden ICRC sepakat bahwa bantuan kemanusiaan ke Myanmar harus mencapai para pihak yang memerlukan tanpa diskriminasi.

Mengenai Afghanistan, Menlu RI sampaikan prioritas Indonesia saat ini, termasuk perhatian Indonesia terhadap isu akses Pendidikan bagi perempuan di Afghanistan. 

Menlu Retno juga menjelaskan kerjasama yang dilakukan bersama dengan Qatar untuk Afghanistan, termasuk dialog antar ulama.

Pertemuan dilakukan di sela-sela rangkaian SMU ke-77 PBB di New York Amerika Serikat. 

Krisis HAM Masih Jadi Masalah Besar di Afghanistan

Bendera Afghanistan (Sumber: Wikimedia Commons)
Bendera Afghanistan (Sumber: Wikimedia Commons)

Pelapor khusus situasi hak asasi manusia di Afghanistan, Richard Bennett, mengatakan kondisi di Afghanistan memburuk dalam setahun ini.

Taliban, kata Bennett, telah menjadi semakin otoriter, menekan kebebasan berpendapat, dan menolak hak-hak sipil dan politik rakyat.

Walaupun semua orang Afghanistan mengalami masa-masa sulit, Bennett menilai, kemunduran hak-hak yang dulu dinikmati anak perempuan dan perempuan, khususnya sangat menyedihkan.

“Saya sangat prihatin akan kemunduran yang mengejutkan di mana perempuan dan anak perempuan tidak lagi menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sejak Taliban menguasai negara itu. Tidak ada negara di dunia di mana perempuan dan anak perempuan begitu cepat kehilangan hak asasi hanya karena jenis kelamin mereka,” ujarnya.

Keprihatinan Internasional

Momen Bendera Afghanistan Berkibar Tanpa Atlet di Pembukaan Paralimpiade Tokyo
Seorang relawan membawa bendera nasional Afghanistan dalam defile upacara pembukaan Paralimpiade Tokyo 2020 di Tokyo, Selasa (24/8/2021). Bendera Afghanistan dikibarkan tanpa kehadiran satu pun atletnya menyusul kondisi negaranya pasca dikuasai oleh Taliban. (AP Photo/Shuji Kajiyama)

Menurut Bennett, apa yang terjadi di Afghanistan itu adalah keprihatinan internasional. Ia memperingatkan bahwa diperlukan tindakan mendesak untuk membuat penguasa de facto Taliban mengubah kebijakan yang diskriminatif.

Pakar PBB tersebut menggambarkan Afghanistan sebagai negara yang berada di ambang kehancuran ekonomi, dengan hampir 19 juta orang, setengah dari populasi, menghadapi kelaparan akut.

Bahkan keamanan, yang membaik setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, kembali memburuk, kata Bennett.

PBB Tak Akui Taliban

Demo Perempuan Afghanistan Protes Hak Bersekolah
Aksi sekelompok wanita saat berunjuk rasa di Herat, Afghanistan, Kamis (2/9/2021). Para pengunjuk rasa mendesak Taliban menghormati hak-hak kaum perempuan, termasuk menempuh pendidikan. (AFP Photo)

Dia mengungkapkan bahwa dia telah menerima banyak laporan tentang warga sipil yang menjadi sasaran penggeledahan dari rumah ke rumah dan apa yang tampaknya merupakan hukuman kolektif.

“Saya sangat prihatin bahwa mantan Pasukan Pertahanan dan Keamanan Nasional Afghanistan dan pejabat-pejabat lain dari pemerintahan sebelumnya tetap menjadi sasaran penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hokum, dan penghilangan paksa, meskipun Taliban menyatakan akan memberi amnesti,” tambah Bennett.

Bennett menambahkan, mereka yang melakukan kejahatan ini tampaknya bertindak tanpa hukuman dan menciptakan suasana teror.

Tak Akui Legitimasi Taliban

Taliban Perintahkan Perempuan Afghanistan Pakai Burqa di Ruang Publik
Seorang perempuan mengenakan burqa berjalan melalui pasar burung saat dia menggendong anaknya, di pusat kota Kabul, Afghanistan, 8 Mei 2022. Taliban memerintahkan perempuan Afghanistan untuk mengenakan pakaian dari kepala hingga ujung kaki atau burqa tradisional di depan umum. (AP Photo/Ebrahim Noroozi)

PBB tidak mengakui legitimasi pemerintahan Taliban. Nasir Ahmad Andisha tetap mewakili pemerintah sebelumnya sebagai duta besar Afghanistan untuk PBB di Jenewa.

Menanggapi apa yang disampaikan Bennett, ia meminta dewan agar membentuk mekanisme guna mengidentifikasi mereka yang melakukan kejahatan.

Ia berpendapat, informasi terdokumentasi ini mungkin bisa digunakan Pengadilan Kriminal Internasional dan badan-badan PBB lainnya untuk mengadili pelaku dan memberikan keadilan bagi para korban.

Infografis Kejatuhan dan Kebangkitan Taliban di Afghanistan. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Kejatuhan dan Kebangkitan Taliban di Afghanistan. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya