Liputan6.com, Bangkok - Mahkamah Konstitusi Thailand akan memberi keputusan tentang masa jabatan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha pada Jumat (30/9). Mahkamah akan menentukan apakah ia telah melampaui batas masa jabatan delapan tahun sebagai perdana menteri.
Prayuth, yang merebut kekuasaan dalam kudeta 2014 sebelum secara resmi menjadi perdana menteri segera setelah itu, telah diskors dari jabatan, sementara pengadilan mempertimbangkan kasus yang diajukan partai oposisi Pheu Thai.
Baca Juga
Menurut partai itu, ia seharusnya meletakkan jabatannya pada Agustus, dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (29/9/2022).
Advertisement
Pengadilan harus memutuskan apakah delapan tahun mencakup masa jabatan Prayuth sebagai pemimpin pemerintahan militer yang diberlakukan setelah menggulingkan pemerintah Pheu Thai.
Wakilnya, Prawit Wongsuwan, kini menjabat sebagai perdana menteri sementara sambil menunggu putusan pengadilan.
Mantan panglima militer Prayuth melakukan kudeta pada Mei 2014 untuk menggulingkan pemerintah terpilih dan pemerintahan junta secara resmi diakui oleh raja pada September di tahun yang sama. Dia menjadi perdana menteri sipil pada 2019 setelah pemilihan diadakan berdasarkan konstitusi yang dirancang militer.
Kontroversi mengenai batas masa jabatan Prayuth adalah episode terakhir dalam gejolak politik di Thailand yang berlangsung hampir dalam 20 tahun terakhir, yang mencakup dua kudeta dan protes yang diwarnai kekerasan, yang timbul dari tentangan atas keterlibatan militer dalam politik dan tuntutan bagi perwakilan yang lebih besar seiring tumbuhnya kesadaran politik.
Kembali Akan Digulingkan, PM Thailand Prayut Chan-o-cha Beri Respons Santai
Upaya hukum untuk menggulingkan Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha mencapai pengadilan konstitusi negara itu minggu ini, mengancam kekacauan politik baru beberapa bulan sebelum pemilihan nasional.
Mantan jenderal itu telah memegang jabatannya melalui protes besar anti-pemerintah pada tahun 2020, pandemi, ekonomi yang goyah, dan sejumlah gejolak politik.
Penentang terhadap pria berusia 68 tahun itu -- yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta -- mendesak agar Prayut Chan-o-cha dicopot di bawah aturan yang membatasi jabatan seorang perdana menteri maksimal delapan tahun, ambang batas yang mereka katakan akan dicapai pada Rabu besok.
Meskipun hasilnya tidak pasti, banyak pengamat berpikir pengadilan akan memenangkan Prayut, seperti dikutip dari laman Channel News Asia, Selasa (23/8/2022).
Lawan Prayut mengatakan, masa jabatannya dimulai ketika ia mengambil alih kekuasaan dalam kudeta pada Mei 2014.
Tetapi para pendukungnya mengatakan Prayut Chan-o-cha telah menjadi perdana menteri sejak 2017 - ketika konstitusi rancangan tentara saat ini diterapkan - atau pada 2019, ketika dia secara kontroversial memenangkan pemilihan nasional yang tertunda.
Advertisement
Jabatan Bisa Ditangguhkan
Partai-partai oposisi telah meminta Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan kapan masa jabatan Prayut berakhir, dan pada Rabu, para hakim diharapkan untuk mengatakan apakah mereka akan mempertimbangkan kasus tersebut.
Jika menerima kasus ini, pengadilan bisa menangguhkan Prayut dari jabatannya.
Mantan jenderal ini tampak tenang meski drama terbaru menghantamnya.
"Biarkan pengadilan memutuskan," katanya kepada lawan sebelum dia muncul di ke parlemen.
Pengadilan memainkan peran kunci pada saat-saat penting dalam pergolakan yang mengguncang politik Thailand selama 20 tahun terakhir, membatalkan hasil pemilihan umum pada tahun 2006 dan 2014.
"Saya tidak akan terkejut jika putusan Mahkamah Konstitusi mendukung Prayut," kata analis politik Napisa Waitoolkiat di Universitas Naresuan kepada AFP.
Keputusan seperti itu, yang diantisipasi oleh banyak orang, dapat membuatnya tetap menjadi perdana menteri hingga 2025 atau 2027 -- jika dia dan partainya dapat memenangkan pemilihan kembali.
Kerajaan Thailand mengalami salah satu tingkat pertumbuhan terendah di kawasan ASEAN dengan dimulainya kembali pariwisata internasional gagal mengangkat ekonomi dari kelesuan pasca-pandemi.
Prayut Chan-O-Cha Didenda Rp 2,7 Juta
Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha didenda pada Senin (26/4) karena tidak mengenakan masker di depan umum saat menghadiri pertemuan di Government House untuk membahas situasi COVID-19 di Thailand.
Dalam sebuah postingan di Facebook, Prayut menjelaskan bagaimana pemerintahnya mendorong untuk mengamankan lebih banyak vaksin COVID-19 dan melampirkan foto pertemuan tersebut. Foto tersebut menunjukkan dia duduk di balik meja dengan beberapa penasihat.
Melansir Channel News Asia, Selasa (27/4/2021), foto tersebut menunjukkan bahwa semua peserta rapat menggunakan masker kecuali perdana menteri.
Mengenakan masker kini wajib dilakukan di ruang publik di 49 provinsi dan ibu kota Thailand. Gubernur Bangkok Aswin Kwanmuang telah mengingatkan warga untuk memakai masker wajah mereka dengan benar atau berisiko denda hingga 20.000 baht (Rp 9,2 juta).
Advertisement