Liputan6.com, London - Liz Truss sudah mengumumkan pengunduran dirinya sebagai perdana menteri. Dia akan tak lagi bertugas usai setelah penggantinya sebagai pemimpin Partai Konservatif terpilih dalam waktu seminggu ke depan.
Pemimpin selanjutnya akan menjadi perdana menteri Konservatif kelima dalam kurun waktu enam tahun.
Bagaimana cara Konservatif memilih perdana menteri Inggris baru?
Advertisement
Hal ini bermula dengan pengajuan nominasi untuk menggantikan Truss sebagai pemimpin dan PM Partai Konservatif berikutnya, dikutip dari BBC, Jumat (21/10/2022).
Kini pendaftaran telah dibuka dan akan ditutup pada pukul 14.00 waktu setempat, Senin 24 Oktober.
Untuk mengikuti kontes, dibutuhkan setidaknya 100 nominasi dari anggota parlemen Konservatif.
Ini jauh lebih tinggi dari pemilihan terakhir, di mana hanya dibutuhkan 20 nominasi.
Karena saat ini ada 357 anggota parlemen Tory, maksimal tiga kandidat yang dapat maju.
Jika hanya satu orang mencapai 100 nominasi pada Senin depan, maka ia akan menjadi pemimpin berikutnya, dan dengan demikian perdana menteri baru, tanpa pemilihan lagi, bisa maju ke tahap berikutnya.
Jika ada lebih dari satu kandidat dengan jumlah nominasi yang cukup, akan ada pemungutan suara dari anggota parlemen Konservatif antara 15.30 dan 17.30 pada Senin mendatang.
Jika ada dua kandidat dalam surat suara, itu akan menjadi indikasi yang menunjukkan tingkat dukungan di antara anggota parlemen.
Jika ada tiga kandidat, maka kandidat dengan jumlah suara paling sedikit akan dieliminasi dan hasil diumumkan pada 18.00 waktu setempat.
Kemudian akan ada pemungutan suara indikatif antara tahun 18.30 dan 20.30 pada hari yang sama dengan hasil yang diumumkan pada 21.00 waktu setempat.
Jika ada dua kandidat di akhir surat suara, yaitu tidak ada yang mundur setelah pemungutan suara indikatif, anggota partai akan mengambil bagian dalam pemungutan suara online untuk menentukan pemenangnya.
Pengamat: Penghinaan untuk Inggris dan Demokrasi
Mundurnya Liz Truss sebagai perdana menteri Inggris menciptakan ketidakstabilan negara, baik ekonomi maupun politik.
Hal inilah yang kemudian disorot oleh sejumlah pengamat yang menanggap ada banyak efek yang dihasilkan dari pergejolakan politik di Inggris, dikutip dari atlanticcouncil.org, Jumat (21/10/2022).
Menurut Peter Westmacott, Mantan Pejabat di Europe Center dan Mantan Dubes Inggris untuk Amerika Serikat menyebut bahwa situasi ini adalah bentuk penghinaan untuk Inggris dan demokrasi.
"Liz Truss berharap dapat bertahan sampai Menteri Keuangan Jeremy Hunt mengeluarkan rencana fiskal jangka menengahnya pada 31 Oktober. Kekacauan politik Rabu kemarin membuat hal itu mustahil. Liz Truss dengan demikian menjadi perdana menteri Inggris dengan masa jabatan terpendek yang pernah ada," kata Peter Westmacott.
"Partai Buruh sekaligus oposisi menyerukan pemilihan umum dini, dengan alasan siapa pun yang memerintah Inggris membutuhkan mandat demokrasi. Partai Konservatif, yang masih memiliki mayoritas 71 kursi di House of Commons, tidak mungkin setuju karena jajak pendapat sangat mendukung Partai Buruh," tambahnya.
Sementara itu, Frances Burwell yang merupakan Direktur Senior di McLarty Associates menyebut pengunduran diri Liz Truss dan dimulainya kontes kepemimpinan baru membuat Inggris seakan-akan melanjutkan devolusinya untuk menjadi mitra yang kurang relevan bagi Amerika Serikat dan sekutu Eropanya.
"Sejak referendum Brexit tahun 2016 -- bahkan sejak pengumuman Perdana Menteri David Cameron tentang referendum tersebut pada tahun 2013 -- politik Inggris didorong oleh perang saudara di dalam Partai Konservatif. Mereka yang berargumen akan 'mengambil kembali' Inggris dari Eropa tidak pernah menyusun strategi sukses sebagai pemain ekonomi global, tetapi sebaliknya malah membangun hambatan dengan mitra ekonomi terbesar Inggris," kata Burwell.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden telah menyatakan terima kasihnya kepada Truss atas kemitraannya dan telah menegaskan kembali keyakinannya pada kelanjutan hubungan AS-Inggris.
Namun Frances Burwell menilai, di koridor Gedung Putih, para pejabat pasti bertanya-tanya berapa lama lagi drama Inggris ini akan berlanjut dan apa kontribusi Inggris untuk memenuhi tantangan geopolitik saat ini.
Advertisement
Urusan Pertahanan dan Urusan Luar Negeri
Para menteri dan diplomat Inggris dinilai ingin memastikan bahwa Inggris terus dilihat sebagai sekutu yang dapat diandalkan.
Menteri pertahanan Inggris, Ben Wallace, mengunjungi Washington minggu ini untuk diskusi tentang Ukraina dan beberapa skenario terburuk perang.
Andrew Marshall, Senior Vice President of Engagement di Atlantic Council menyebut, Wallace tidak mungkin mengubah peran pemerintah di masa depan. Di sisi lain, pihak dari Kementerian Pertahanan Inggris dituntut untuk memainkan peran penting dalam mendukung Kyiv dengan memberikan dukungan materil, pelatihan, intelijen, dan komunikasi.
Andrew Marshall juga menyorot spekulasi soal pemilu dini, hal yang dia anggap bisa saja akan terjadi.
"Pasti akan ada spekulasi tentang pemilihan dan perubahan pemerintahan. Pemilu memang tidak bisa dilakukan sampai Januari 2025, tetapi kekacauan saat ini bisa membuat perubahan dalam jangka pendek, dan itu bisa saja menjadi mungkin."
"Di Partai Buruh, ada keragaman pendapat tentang hubungan Inggris dengan Amerika Serikat. Tetapi kepemimpinan saat ini sangat mendukung NATO. Menteri pertahanan bayangan baru-baru ini mengunjungi Washington dan berbicara tentang pentingnya memenuhi kewajiban NATO."
"Ada kemungkinan bahwa pemerintahan baru akan dihadapkan pada kendala anggaran untuk pertahanan. Tetapi itu akan terjadi pada pemerintah mana pun. Partai Buruh juga dituntut harus sama-sama membuat pilihan sulit tentang fokus Eropa versus fokus global yang didorong oleh Konservatif."
Pasar Benci Ketidakstabilan
John M. Roberts peneliti senior di Global Energy Center dan Konsultan Energi Methinks Ltd menyebut bahwa pasar membenci ketidakstabilan, dan masih ada 11 hari lagi sebelum pengganti Kwarteng, yaitu Jeremy Hunt akan menyampaikan laporan keuangan utamanya.
Hunt yang juga kandidat kuat mengambil alih posisi Truss kini menyatakan tidak akan bertahan, dengan membatalkan hampir semua anggaran milik Kwarteng.
"Ini adalah hari-hari yang sulit bagi Inggris, yang dalam beberapa minggu telah kehilangan reputasinya dalam hal stabilitas politik dan keuangan," ujar Roberts.
"Ada sedikit keraguan bahwa alasan terbesar kekacauan ekonomi Inggris saat ini adalah kegagalan untuk mengamankan pertumbuhan ekonomi yang substansial dan berkelanjutan setelah Brexit. Sekarang hampir dua tahun sejak Inggris secara efektif meninggalkan Uni Eropa (UE), sebuah keputusan yang menurut Institut Studi Fiskal telah menghasilkan pukulan sebesar 4 persen terhadap PDB-nya," tambah Roberts.
"Pertanyaan besar sekarang adalah apakah politisi dari Partai Konservatif dan oposisi akan mulai secara terbuka mengangkat masalah apakah Inggris harus secara serius mempertimbangkan dan mendapatkan kembali akses ke pasar tunggal Eropa."
Advertisement