Liputan6.com, Washington, DC - Bank Dunia menyorot melemahnya nilai mata uang di negara-negara berkembang, sehingga berdampak ke harga pangan, serta BBM. Namun, harga dinilai akan turun sedikit tahun depan.
Dilaporkan VOA Indonesia, Kamis (27/10/2022), ekonom senior Bank Dunia John Baffes pada Rabu (26/10) mengatakan, “kami telah melihat penurunan sejumlah harga komoditas dibanding level tertinggi yang dialami di awal tahun. Namun ketika kita melihat harga domestik, terjadi sedikit peningkatan di sana karena apresiasi dolar."
Advertisement
Baca Juga
"Pada saat yang sama, kami memproyeksikan harga-harga akan turun sedikit tahun depan. Ada sejumlah risiko terkait perkiraan kami. Risiko terbesar datang dari lingkungan makro ekonomi, di mana kita memiliki dolar yang kuat dan biaya pinjaman yang tinggi. Tetapi pada saat yang sama ada hambatan dari ekonomi global karena banyak negara yang mungkin akan mengalami resesi pada tahun 2023 nanti," lanjut Baffes.
Dalam Outlook Pasar Komoditas terbaru, pemberi pinjaman multilateral itu mengatakan harga minyak di pasar global telah turun 6% sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari lalu. Namun, nilai tukar yang lemah telah membuat hampir 60% negara berkembang membayar lebih besar selama periode ini.
“Secara global harga energi telah banyak turun. Harganya sedikit turun pada kuartal terakhir ini. Namun, di Eropa harga energi tetap tinggi. Misalnya gas alam. Harga gas alam Eropa yang diperdagangkan selama beberapa bulan terakhir ini sepuluh kali lebih tinggi dibanding rata-rata lima tahun. Ini kenaikan yang sangat besar. Kami juga melihat kenaikan harga yang tinggi pada energi lain, misalnya batu bara. Ada kenaikan harga batu bara sekitar 150 hingga 200%,” ujar Baffes.
Sementara itu hampir 90% negara-negara ini juga mengalami peningkatan harga gandum yang lebih besar dalam mata uang lokal dibandingkan kenaikan dalam mata uang dolar Amerika.
Ekonomi 2023 Diramal Gelap, Sri Mulyani: Ini Waspada, Bukan Menakut-nakuti
Sebelumnya dilaporkan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, prospek ekonomi global yang diprediksi “Gelap” oleh Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) bukan menakut-nakuti, tapi bentuk suatu kewaspadaan.
Menkeu menyebut, tahun depan Indonesia diperkirakan masih bisa menjaga pertumbuhan ekonominya, mungkin di sisi lain tekanan akan muncul bertubi-tubi karena seperti apa yang disampaikan IMF bahwa tahun 2023 akan gelap.
“Itu yang disebutkan gelap, kalau saya mengatakan begitu Saya dianggap menakut-nakuti, tapi sebetulnya enggak, hanya ingin menyampaikan bahwa resiko itu sangat ada dan oleh karena itu kita harus waspada,” kata Menkeu dalam Leaders Talk Series #2 dengan tema "Indonesia Energy Investment Landscape", Rabu (26/10).
Kendati begitu, Menkeu menyampaikan momentum pemulihan ekonomi Indonesia cukup baik. Pertumbuhan ekonomi RI diperkirakan masih cukup kuat, Menkeu berharap kuartal ketiga bisa tumbuh di atas 5,5 persen. Namun, di kuartal IV Pemerintah Indonesia harus waspada terhadap trend pelemahan ekonomi dunia.
Oleh karena itu, APBN sebagai keuangan negara akan terus digunakan untuk menjaga ekonomi Indonesia. Namun, APBN sendiri juga harus tetap dijaga kesehatannya.
“Tahun 2020 tahun 2021 dan 2022 ini kita menghadapi pandemi yang luar biasa, yang kemudian kita harus melebarkan defisit dengan adanya undang-undang Nomor 2 atau perpu nomor 1 tahun 2020, kita mewujudkan apa yang yang disebut negara harus hadir pada saat ancaman muncul,” jelas Menkeu.
Advertisement
Pemda Pelit Gunakan APBD untuk Jinakkan Inflasi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Pemerintah Daerah telah mengalokasikan anggaran Rp 3,5 triliun untuk mengatasi inflasi di daerah pasca kenaikan harga BBM atau Bahan Bakar Minyak subsidi pada September lalu.
Angka ini lebih tinggi dari perkiraan pemerintah yang meminta Pemda menyisihkan 2 persen dari Dana Transfer Umum (DTU).
"Realisasinya kita perkirakan Rp 2,1 triliun, ternyata mencapai Rp 3,5 triliun. Jadi daerah komit menggunakan Rp 3,5 triliun untuk membantu masyarakat," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa, dikutip Minggu (23/10).
Meski dana yang dialokasinya begitu besar, namun realiasainya masih sangat rendah. Per 20 Oktober, baru 277,6 triliun yang terealisasi dari anggaran Rp 3,5 triliun.
"Tapi realisasinya baru Rp 277 miliar atau Rp 7,9 persen," kata Sri Mulyani.
Apalagi alokasi untuk bantuan sosial yang dialokasikan Rp 1.716, triliun, baru terserap Rp 105,3 miliar atau hanya 6,1 persen saja. Tak hanya itu, alokasi untuk program penciptaan lapangan kerja realisasinya baru Rp 69,4 miliar atau 10,4 persen dari anggaran Rp 665 miliar.
Subsidi sektor transportasi juga baru terealisasi Rp 40,5 miliar ata 12,3 persen dari anggaran Rp 328,9 miliar. Bendahara negara ini pun meminta proses pencairan dana-dana tersebut segera bisa dilakukan. Agar masyarakat bisa segera terbantu baik dari APBN maupun APBD.
"Ini dananya ada tapi perlu diakselerasi.
Begitu juga dengan program perlindungan sosial lainnya yang baru diserp Rp 62,4 triliun atau 7,9 persen dari anggaran Rp 791,2 miliar.
Dia meminta penyerapannya segera dilakukan karena banyak masyarakat yang saat ini menghadapi situasi sulit. Terlebih kondisi global yang penuh dengan ketidakpastian.
"Terutama untuk masyarakat yang merasakan beban berat karena ada tekanan yang terjadi secara global," kata dia.
"Saya harap daerah bisa segera merealisasikan," perintah Sri Mulyani.