Liputan6.com, Jakarta - Lebih dari 40 juta anak tidak mendapat vaksinasi campak tahun lalu. Akibatnya, terjadi kemunduran yang signifikan dalam upaya global memberantas penyakit yang sangat menular itu di seluruh dunia.
Demikian laporan bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) yang disampaikan pada Rabu (23/11), dikutip dari VOA Indonesia.
Kampanye vaksinasi di beberapa negara terganggu akibat pembatasan terhadap pandemi COVID-19. Cakupan vaksinasi global untuk mencegah campak (MCV) turun dari 86 persen pada 2019 menjadi 81 persen pada 2021, capaian terendah sejak 2008. Kini, hampir semua dari 40 juta anak yang tidak mendapat dosis pertama atau kedua MCV “sangat rentan terhadap ancaman campak yang terus meningkat,” laporan itu memperingatkan.
Advertisement
“Paradoks pandemi adalah sementara vaksin melawan COVID-19 dikembangkan dalam waktu singkat dan digunakan dalam kampanye vaksinasi terbesar dalam sejarah, program imunisasi rutin sangat terganggu. Jutaan anak tidak mendapat vaksinasi yang menyelamatkan nyawa dari penyakit mematikan seperti campak,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam pernyataan.
“Rekor jumlah anak yang belum lengkap diimunisasi dan rentan terinfeksi campak menunjukkan kerusakan parah dalam sistem imunisasi selama pandemi COVID-19,” kata Direktur CDC Rochelle P. Walensky.
Tahun lalu, sekitar 9 juta kasus campak dilaporkan terjadi di seluruh dunia, dengan jumlah kematian mencapai 128.000. Dalam dua dekade terakhir, kampanye MCV yang sukses telah membantu mencegah sekitar 56 juta kematian secara global, menurut WHO. Sepuluh negara di Asia dan Afrika – India, Somalia, Yaman, Zimbabwe, Nigeria, Liberia, Pakistan, Ethiopia, Afghanistan, dan Kongo – mencatat kasus campak dan kematian tertinggi di dunia.
Upaya mencegah penularan COVID-19 juga telah mengganggu kampanye imunisasi polio. Virus menular ini menyebabkan kelumpuhan permanen di kalangan anak-anak di bawah usia 5 tahun. Polio telah diberantas di dunia kecuali di Afghanistan dan Pakistan di mana upaya imunisasi terhambat masalah keamanan dan terbatasnya kesadaran publik.
UNICEF: Anak yang Hidup dalam Krisis Kemanusiaan Hadapi Krisis Pendidikan
Berbicara dalam Konferensi Transformasi Pendidikan, Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell mengatakan “sangat jelas bahwa anak-anak, terutama anak-anak yang paling terpinggirkan – yaitu anak perempuan, penyandang disabilitas dan yang hidup dalam krisis kemanusiaan – menghadapi krisis pendidikan yang sesungguhnya.”
Russell berbicara dalam diskusi panel pada Senin (19/9) yang dilangsungkan di sela-sela sidang Majelis Umum PBB di New York, demikian dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (21/9/2022).
Russell menegaskan pihaknya akan “bekerja keras untuk memastikan agar semua anak dapat belajar hal-hal mendasar mereka harus dapat membaca, berhitung, dan terus belajar. Kami akan mendukung kesehatan mental mereka dan memastikan inklusi digital.”
Ia menambahkan, “kita perlu mendukung guru, kepala sekolah dan orang tua dan kita perlu memantau dan mengukur kemajuan kita untuk memastikan keberhasilan dan mengetahui kegagalan mereka, jadi kita tahu dan dapat mengkajinya.”
Secara khusus, Russell menyoroti urgensi anggaran. “Pendanaan yang memadai sangat penting untuk mencapai hal ini, dan kita semua memiliki peran untuk membantu pemerintah mendanai pendidikan.”
Direktur Eksekutif UNAIDS, Winnie Byanyima, yang juga berbicara dalam diskusi itu, mengatakan setiap minggu terdapat sekitar 4.900 remaja putri berusia 15-24 tahun yang terinfeksi HIV. Di wilayah sub-Sahara Afrika, enam dari tujuh infeksi HIV baru di kalangan remaja berusia 15-19 tahun terjadi di kalangan anak perempuan.
Sementara Komisaris Tinggi PBB Untuk Pengungsi Filippo Grandi menyoroti soal pendidikan untuk anak-anak pengungsi.
“Fokusnya adalah memasukkan mereka ke dalam sistem pendidikan nasional. Inklusi tidak berarti integrasi selamanya, berarti inklusi selama periode di mana mereka membutuhkan perlindungan negara lain. Ini berlaku untuk pengungsi, anak-anak perempuan, kelompok disabilitas, semua orang yang terdampak krisis. Ini berarti kita memerlukan kebijakan inklusi yang baik, dan juga sumber daya,” ujarnya.
Advertisement
PBB Kecam Setahun Penutupan Sekolah Bagi Anak Perempuan di Afghanistan
PBB pada Minggu (18/9), kembali menyerukan Taliban Afghanistan untuk segera membuka kembali sekolah-sekolah untuk remaja perempuan. Seruan itu disampaikan setahun setelah Taliban melarang anak-anak perempuan untuk bersekolah. PBB menyebut hal itu sebagai sesuatu yang "tragis, memalukan, dan bisa dihindari."
Sejak merebut kontrol dari negara yang dilanda konflik pada Agustus tahun lalu, kelompok Islamis itu memerintahkan anak perempuan kelas 7 hingga 12 untuk diam di rumah, yang berdampak pada anak perempuan berusia 12 hingga 18 tahun.
"Dilarangnya anak perempuan untuk menempuh pendidikan di SMA tidak bisa dibenarkan dan tidak terjadi di belahan manapun di dunia," kata Markus Potzel, pemimpin Misi Bantuan PBB di Afghanistan dalam sebuah pernyataan, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (20/9/2022).
“Hal itu sangat merugikan generasi anak perempuan dan masa depan Afghanistan itu sendiri,” katanya.
Taliban membuka kembali SMA bagi anak laki-laki pada 18 September tahun lalu, tapi mengabaikan seruan internasional untuk mengizinkan siswa perempuan kembali ke sekolah.
Kelompok penguasa garis keras itu juga telah memerintahkan perempuan untuk menutupi wajah di tempat umum dan memberitahu staf perempuan di banyak sektor publik agar diam di rumah, mengatakan peraturan itu sesuai dengan budaya Afghanistan dan hukum Islam.
Taliban Desak Pengakuan dari Dunia Atas Pemerintahannya di Afganistan
Satu tahun berlalu sejak Taliban menguasai Afghanistan setelah hampir 20 tahun pendudukan AS.
Tetapi para penguasa Taliban memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan ketika mereka berjuang untuk menghidupkan kembali ekonomi negara yang tak bernyawa dan mengatasi situasi kemanusiaan yang mengerikan.
Sementara itu, isolasi internasional Taliban tidak membantu penyebabnya.
Dilansir Al Jazeera, Selasa (16/8/2022), meskipun seruan dan upaya berulang-ulang oleh para pemimpin Taliban, tidak ada negara di dunia yang mengakui Imarah Islam Afghanistan (IEA), karena negara itu secara resmi dikenal di bawah pemerintahan Taliban.
Barat telah menuntut agar Taliban melonggarkan pembatasan hak-hak perempuan dan membuat pemerintah lebih representatif sebagai syarat untuk pengakuan. Taliban mengatakan Amerika Serikat melanggar Perjanjian Doha 2020 dengan tidak mengakui pemerintahnya.
Pembunuhan bulan lalu terhadap pemimpin al-Qaeda Ayman al-Zawahiri dalam serangan pesawat tak berawak AS di Kabul telah menyebabkan pemerintah Barat menuduh pemerintah Taliban gagal memenuhi komitmennya di bawah Perjanjian Doha, yang mengharuskan Taliban untuk menolak tempat berlindung yang aman. Al-Qaeda dan kelompok bersenjata lainnya di Afghanistan dengan imbalan penarikan AS.
Beberapa serangan mematikan yang dikaitkan dengan Negara Islam di Provinsi Khorasan, ISKP (ISIS-K) telah meningkatkan kekhawatiran di ibu kota Barat tentang lanskap keamanan Afghanistan pasca-AS.
Advertisement