Liputan6.com, Kyiv - Gereja Katolik Yunani Ukraina (UGCC) mengatakan pada Senin (6/2/2023) bahwa mereka menggunakan tanggalan baru mulai tahun ini untuk merayakan Natal pada 25 Desember, bukan 7 Januari, seperti tradisi jemaat Ortodoks.
"Keputusan itu dibuat dengan mempertimbangkan permintaan umat dan konsultasi dengan para pastor dan biarawan di gereja kami," ungkap UGCC, yang mewakili di bawah 10 persen dari populasi Ukraina seperti dikutip dari CNN, Selasa (7/2).
Menteri Kebudayaan Ukraina Oleksandr Tkachenko menyambut baik langkah UGCC, dengan mengatakan, keputusan tersebut memenuhi persyaratan waktu dan opini publik.
Advertisement
Pada Desember 2022, pemerintah Ukraina telah meluncurkan jajak pendapat untuk menanyakan pendapat masyarakat tentang apakah Natal harus dipindahkan ke 25 Desember. Hasilnya, hampir 59 persen dari lebih dari 1,5 juta orang menyetujui perubahan tersebut.
"Dan menjadi jelas bagi semua orang apa sebenarnya yang menjadi tuntutan masyarakat dalam hal ini," ungkap Kementerian Kebudayaan Ukraina, menambahkan bahwa penting juga agar transisi tidak dipaksakan.
Ukraina dan Rusia adalah negara mayoritas Ortodoks dan dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar komunitas Ortodoks di Ukraina telah pindah dari Moskow. Langkah tersebut dipercepat oleh konflik yang dipicu Rusia di Ukraina timur mulai tahun 2014.
Pada November, cabang Gereja Ortodoks Ukraina mengumumkan akan mengizinkan gereja-gerejanya merayakan Natal pada 25 Desember, bukan 7 Januari.
"Saya sangat ingin pengalaman reformasi kalender kami dapat melayani saudara-saudara Ortodoks kami," kata kepala UGCC Sviatoslav Shevchuk, mendesak Gereja Ortodoks Ukraina untuk ikut beralih ke kalender baru.
Prediksi Ukraina
Wakil Kepala Intelijen Pertahanan Ukraina Vadym Skibitskyi memperkirakan bahwa Rusia memobilisasi hingga setengah juta orang sebagai tentara tambahan.
"Rusia akan memobilisasi 300.000 hingga 500.000 orang untuk melakukan operasi ofensif di selatan dan timur Ukraina pada musim semi dan musim panas 2023," klaim Skibitskyi.
Dia menambahkan, "500.000 itu merupakan tambahan dari 300.000 yang dimobilisasi pada Oktober 2022. Ini membuktikan bahwa Kremlin tidak berniat mengakhiri perang ini. Serangan Rusia dapat terjadi di wilayah Donetsk dan Luhansk dan mungkin di wilayah Zaporizhzhia. Pasukan Rusia akan bertahan di wilayah Kherson dan Krimea. Gelombang mobilisasi baru ini akan bertahan lama sampai dua bulan."
Pejabat Rusia secara konsisten membantah adanya rencana mobilisasi lain. Tetapi pada Desember, Menteri Pertahanan Sergei Shoigu mengusulkan peningkatan angkatan bersenjata menjadi 1,5 juta personel tempur dari 1,15 juta saat ini selama periode tiga tahun.
"Ini diperlukan untuk menjamin penyelesaian masalah yang berkaitan dengan keamanan militer Rusia," kata Shoigu.
Skibytskyi juga mengklaim bahwa Rusia sekarang mengalami masalah besar dengan rudal.
"Mereka biasanya memproduksi tidak lebih dari 200 rudal per tahun tergantung jenisnya. Sekarang mereka hanya dapat memproduksi empat rudal Iskander per bulan. Adapun rudal Kh-101, bisa sekitar 20-30 tergantung stok komponen impor," ujar Skibytskyi.
Iskander adalah rudal jelajah yang kuat dan relatif akurat.
Penilaian serupa diungkapkan oleh sejumlah analis Barat. Mereka memperkirakan bahwa Rusia kehabisan persediaan sejumlah rudal.
Advertisement
Prospek Perdamaian Berkurang
Sementara itu, di New York, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Senin memperingatkan bahwa dunia secara sadar berbaris menuju "perang yang lebih luas."
"Invasi Rusia ke Ukraina menimbulkan penderitaan yang tak terhitung pada rakyat Ukraina dengan implikasi global yang mendalam. Prospek perdamaian terus berkurang," katanya.
"Kemungkinan eskalasi lebih lanjut dan pertumpahan darah terus meningkat. Saya khawatir dunia tidak berjalan dalam tidur menuju perang yang lebih luas. Saya khawatir dunia melakukannya dengan mata terbuka lebar."