Liputan6.com, Kiev - Oleksandr, seorang tentara Ukraina, bermimpi menjadi ayah dari seorang anak laki-laki dan perempuan. Namun, dengan perang yang terus berkecamuk melawan invasi Rusia, ia harus menunda rencana tersebut.
Sebagai gantinya, pria 36 tahun itu memilih untuk membekukan spermanya—sebuah langkah yang kini banyak diambil oleh tentara Ukraina lainnya. Langkah ini menjadi semacam "polis asuransi" bagi mereka yang menghadapi risiko kematian atau berkurangnya kesuburan akibat stres pertempuran.
Baca Juga
"Saya tidak bisa hanya melakukan apa yang saya inginkan," kata Oleksandr, yang telah berada di garis depan sejak Rusia melancarkan serangan skala penuh pada 2022, seperti dikutip dari laman Malay Mail, Kamis (6/3/2025).
Advertisement
Meskipun istrinya, Kateryna, kini tinggal sebagai pengungsi di Republik Ceko, ia tetap berharap suatu hari nanti mereka bisa hidup bersama dan membesarkan anak-anak mereka, dikelilingi oleh pemandangan pegunungan dan banyak kucing peliharaan.
Namun, hingga saat itu tiba, membekukan sperma menjadi pilihan paling logis.
Mulai tahun ini, tentara Ukraina dapat melakukan prosedur pembekuan sperma secara gratis. Banyak klinik sudah menawarkan layanan ini, seiring dengan meningkatnya permintaan.
Oleksandr mengakui bahwa kemungkinan dirinya gugur dalam perang adalah salah satu alasan utama di balik keputusannya. Jika ia tidak selamat, ia ingin istrinya tetap memiliki pilihan untuk memiliki anak mereka.
"Saya tahu dia sangat mencintai saya. Saya juga sangat mencintainya," katanya.
"Segalanya akan baik-baik saja."
Krisis Demografi di Ukraina
Sebelum perang, Ukraina sudah mengalami krisis demografi. Invasi Rusia semakin memperburuk situasi tersebut.
Menurut perkiraan PBB pada Oktober 2023, populasi Ukraina yang berjumlah 43 juta jiwa pada 2022 telah menyusut hampir 19 persen. Angka kelahiran turun drastis hingga kurang dari satu anak per perempuan—salah satu tingkat terendah di dunia.
Pemerintah Ukraina berharap bahwa setelah perang berakhir, negara ini akan mengalami "baby boom". Namun, hingga saat itu tiba, banyak warga memilih untuk membekukan sel telur dan sperma mereka sebagai persiapan untuk masa depan yang lebih stabil.
Di Klinik Feskov di Kharkiv, permintaan untuk prosedur ini meningkat secara drastis, terutama ketika situasi perang memburuk. Klinik ini bahkan membangun laboratorium bawah tanah dan menyimpan semua material genetik di lokasi rahasia untuk melindunginya dari serangan drone Rusia.
Advertisement
Ketakutan Menjadi Ibu di Masa Perang
Bukan hanya tentara yang memilih membekukan sel reproduksi mereka. Daria Chernyshova, seorang mahasiswa berusia 23 tahun, juga telah membekukan sel telurnya.
Prospek menjadi ibu di tengah perang membuatnya takut. Awalnya, ia berharap serangan Rusia akan mereda, tetapi akhirnya memutuskan bahwa prosedur ini adalah langkah yang diperlukan.
"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok," katanya.
Daria, yang berasal dari kota Lyman di Ukraina timur, harus melarikan diri ketika pasukan Rusia mendekat pada 2022. Ia masih trauma melihat para ibu bergegas menyelamatkan diri sambil menggendong anak-anak mereka.
Kini, ia tinggal di Kharkiv dan masih mencari pasangan sebelum memutuskan untuk memiliki anak. Namun, perang membuat pencarian pasangan semakin sulit.
Banyak pria Ukraina yang telah gugur atau meninggalkan negara itu, sementara mereka yang masih di dalam negeri sering kali direkrut menjadi tentara, membuat kencan secara langsung menjadi sulit.
"Ke mana kita bisa pergi untuk bertemu? Apa kita hanya berbicara melalui Skype?" ujarnya.
Pada akhirnya, ia mempertimbangkan untuk pindah ke luar negeri dan menemukan pasangan di sana.
Perang telah mengubah cara banyak warga Ukraina merencanakan masa depan mereka, termasuk soal memiliki keluarga. Dengan meningkatnya jumlah orang yang membekukan sperma dan sel telur mereka, jelas bahwa banyak yang berharap akan adanya kehidupan yang lebih baik setelah perang usai.
Namun, hingga saat itu tiba, mereka harus bertahan di tengah ketidakpastian, sambil mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan.
