Liputan6.com, Buon Ma Thuot - Seorang guru musik di Republik Sosialis Vietnam diganjar delapan tahun penjara karena postingannya di media sosial. Tindakannya yang suka menyorot korupsi dianggap sebagai "propaganda anti-negara".
Vonis itu mendapat kecaman dari Human Rights Watch (HRW) karena dinilai menghukum orang-orang yang menginginkan perubahan (reform).
Baca Juga
Vietnam Hampir Kalah dari Filipina, Manchester United Naksir Pemain 14 Tahun
Filipina Gagal Kalahkan Vietnam di Piala AFF 2024, Timnas Indonesia Wajib Menang di Laga Terakhir Grup B
Mirip dengan Pendekatan Timnas Indonesia, Vietnam juga Sebut Tak Bedakan Tim A dan Tim B dalam Skuad Mereka di Piala AFF 2024
Menurut laporan Radio Free Asia, Rabu (7/6/2023), guru bernama Dang Dang Phuoc yang berusia 60 tahun itu sering bicara di Facebook mengenai isu pendidikan, pelanggaran HAM, pejabat korup, dan ketidakadilan sosial.
Advertisement
Polisi menangkapnya sejak 8 September 2022 karena "menyebarkan informasi propaganda" yang diarahkan untuk "melawan Negara Republik Sosialis Vietnam". Hukuman maksimalnya adalah 12 tahun penjara.
Pengadilan di provinsi Dak Lak menjatuhkan vonis penjara delapan tahun pada 6 Juni 2023. Setelah bebas nanti, ia harus menjalani masa percobaan selama empat tahun.
Sebelum ditahan, ia protes soal penambangan Titanium di di provinsi Thua Thien Hue.
Human Rights Watch berkata penangkapan sang guru musik merupakan tanda penyalahgunaan hukum di Vietnam.
"Pemerintah Vietnam menggunakan hukum-hukumnya yang abusif dan terlalu luas untuk menghukum orang-orang yang meminta reformasi," ujar Phil Robertson, deputi direktur Asia di Human Rights Watch.
Situs HRW menyorot bahwa dang Dang Phuoc sering berkomentar di isu sosial, politik, dan lingkungan. Ia mendukung kalangan miskin dan tak berdaya, serta menolak hukum keamanan cyber Vietnam yang dianggap represif.
Sang guru turut menyorot proyek-proyek ekonomi yang eksploitatif yang memiliki dampak negatif ke lingkungan.
Lagu-lagu yang dinyanyikan Dang Dang Phuoc di Facebook juga dipertanyakan. Salah satunya adalah "Jalan Vietnam" yang ditulis oleh mantan tahanan politik Viet Khang. Lagu lainnya adalah "Rombongan Sirkus Besar di Tanah Air Kecil" yang ditulis oleh blogger Tuan Khanh. Lagu tentang sirkus itu berkisah tentang masalah Vietnam yang dikuasai Partai Komunis.
Robertson mengkritik Vietnam yang sampai menginvestigasi soal lagu-lagu tersebut. Ia pun meminta agar Uni Eropa agar bersuara terhadap aksi Vietnam.
"Uni Eropa, yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Vietnam yang mengandung syarat HAM, dan para mitra dagang lainnya, seharusnya menyorot pemerintah tersebut atas pelanggaran HAM yang terus-menerus," ujar Robertson.
Kasus Anak SMP Dilaporkan Polisi di Jambi
Di dalam negeri, ada kasus siswi SMP yang dilaporkan polisi oleh pemerintah kota Jambi. Kasus berakhir dengan permintaan maaf.
Pelaporan itu imbas dari kritikan yang ia layangkan kepada Pemkot Jambi soal jalan rusak di depan kediaman neneknya, Habsah.
Kerusakan jalan akibat Pemkot Jambi mengizinkan truk bertonase 20 ton lebih melewati jalan lorong warga. Padahal, kata dia, jalan tersebut hanya diperuntukan bagi mobil berbobot 5 ton. Selain itu, ia juga mengkritik perusahaan yang semestinya menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Uap, tetapi malah menjadi perusahaan kayu hutan.
Di samping itu, Fadhiyah menyebut neneknya merupakan seorang perawat di masa kemerdekaan.
Polda Jambi telah menggelar restorative justice (RJ) terkait kasus antara siswi SMP Negeri 1 Jambi berinisial SFA dengan Kabag Hukum Pemkot Jambi Muhammad Gempa Awaljon Putra. Pada kasus ini, Awaljon sebagai pelapor terhadap SFA.
Kabid Humas Polda Jambi Kombes Mulia Priantono mengatakan, kegiatan RJ ini dilakukan di ruang Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) dengan menghadirkan Kabag Hukum Pemkot Jambi, UPTD PPA Jambi, pengacara, terlapor dan keluarganya serta Ketua RT setempat.
"Tadi sore telah dilaksanakan restorative justice dengan dihadiri para pihak yang terlibat, setelah diuraikan berbagai persoalan yang terjadi, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai," kata Mulia dalam keterangannya, Selasa (6/6).
Ia menjelaskan, pada saat RJ tersebut SFA melakukan permintaan maaf dengan sungguh-sungguh dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
"Kemudian pada kesepakatan tersebut pihak Pemerintah Kota Jambi yang diwakili Kabag Hukum juga telah mencabut laporannya, karena pihak Pemkot telah melihat iktikad baik dari SFA yang membuat video permintaan maafnya," jelasnya.
"Kedua belah pihak juga telah sepakat tidak akan melanjutkan permasalahan ini ke ranah hukum," pungkasnya.
Sebelumnya, Polda Jambi bakal mengupayakan restorative justice (RJ) terkait perkara antara siswi SMP Negeri 1 Jambi berinisial SFA dengan Kabag Hukum Pemkot Jambi Muhammad Gempa Awaljon Putra. Diketahui, Awaljon merupakan pelapor terhadap SFA.
"Iya benar (upaya RJ). Kita upayakan hari ini bisa selesai restorative justice," kata Dir Reskrimsus Polda Jambi Kombes Christian Tory saat dihubungi, Selasa (6/6).
Mediasi yang dilakukan pada hari ini disebutnya turut dihadiri oleh sejumlah pihak seperti pengacara dab Ketua RT.
"(Yang hadir) Saya, kedua belah pihak, UPTD PPA, pengacara dan Ketua RT," ujarnya.
Advertisement
Komentar Mahfud MD
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengungkapkan, siswi SMP di Jambi yang dilaporkan polisi usai mengkritik Pemkot Jambi terbukti bersalah.
Menurut Mahfud, pelajar bernama Syarifah Fadiyah Alkaff alias Fadhiyah itu telah memfitnah kantor pemerintah Jambi.
"Perkembangan terakhir yang saya ikuti, anak yang dilaporkan itu memang bersalah dan dia sudah meminta maaf," kata Mahfud saat ditemui di Jakarta Pusat, Selasa (6/6).
Bahkan, kata Mahfud, siswi SMP tersebut sudah muncul di salah satu stasiun televisi dan mengakui kesalahannya.
"Tadi anaknya sudah muncul di TV minta maaf karena dia bersalah. Itu sih memfitnah kantor pemerintah dan sebagainya," kata Mahfud.
Meski demikian, Mahfud Md menegaskan bahwa kasus ini akan terus ditangani sampai tuntas.
"Tentu nanti kita selesaikan. Tidak lalu kemudian kasus itu hilang, tetapi sudah kita tangani dan kita tahu tadi anaknya sudah minta maaf," ujar Mahfud.
Lebih lanjut, Mahfud menyatakan bahwa seluruh hal viral yang menyalahkan pemerintah itu belum tentu benar. Sehingga perlu dikroscek kebenarannya.
"Jadi tidak semua yang viral, yang menyalahkan pemerintah, menyalahkan Polri, tidak semuanya benar," ucap Mahfud.