Liputan6.com, Khartoum - Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa lebih dari 1 juta orang melarikan diri dari Sudan ke negara tetangga menyusul kondisi dalam negeri yang kekurangan makanan dan perawatan kesehatan. Negara Afrika Sub-Sahara itu telah dilanda perang saudara selama empat bulan.
Perang berlangsung antara militer Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (RSF).
Baca Juga
"Waktunya hampir habis bagi petani untuk bercocok tanam ... Persediaan medis langka. Situasinya semakin tidak terkendali," sebut laporan PBB seperti dilansir The Guardian, Jumat (18/8/2023).
Advertisement
Data mingguan yang dirilis Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat bahwa 1.017.449 orang telah menyeberang dari Sudan ke sejumlah negara tetangga, sementara pengungsi di dalam negeri diperkirakan mencapai 3.433.025 jiwa.
Perang saudara Sudan meletus pada April, dipicu ketegangan terkait transisi ke pemerintahan sipil. Jutaan orang yang tetap bertahan di Khartoum dan sejumlah kota di Darfur menghadapi penjarahan dan pemadaman listrik, komunikasi, dan air yang berkepanjangan.
"Banyak jenazah dari mereka yang terbunuh belum dikumpulkan, diidentifikasi atau dikuburkan. PBB memperkirakan bahwa lebih dari 4.000 orang terbunuh," ujar juru bicara Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Elizabeth Throssell dalam pengarahan di Jenewa.
Sementara itu, pejabat Dana Penduduk PBB Laila Baker mengungkapkan bahwa laporan serangan seksual telah meningkat sebesar 50 persen.
Wakil Kepala Dewan Kedaulatan Sudan Malik Agar sempat mengatakan pada akhirnya, perang ini akan berakhir di meja perundingan. Pernyataannya tersebut merujuk pada kesulitan yang dialami rakyat sekaligus dinilai mencerminkan sikap militer yang mulai melunak.
Saling Tuduh
Dalam pidatonya pada Senin (14/8), Panglima Militer Jenderal Abdel Fattah al-Burhan menuduh RSF bertujuan mengembalikan Sudan ke era sebelum negara modern dan melakukan setiap kejahatan yang dapat dibayangkan.
Sementara itu, RSF menuduh militer berusaha merebut kekuasaan penuh di bawah arahan loyalis Omar al-Bashir, pemimpin otokratis yang digulingkan selama pemberontakan pada 2019.
Upaya yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Amerika Serikat untuk menegosiasikan gencatan senjata dalam konflik saat ini telah terhenti dan lembaga kemanusiaan terus berjuang untuk memberikan bantuan karena ketidakamanan, penjarahan, dan hambatan birokrasi.
Advertisement