Studi: Longsor Salju di Himalaya Diperparah oleh Pemanasan Global, Mengancam Keselamatan Pendaki

Pegunungan Himalaya mengalami pemanasan dua kali lebih cepat dibandingkan rata-rata global dan para ahli berpendapat bahwa ketidakstabilan tumpukan salju yang disebabkan oleh suhu diperkirakan akan terus berlanjut di masa depan.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 02 Sep 2023, 11:02 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2023, 11:02 WIB
Puncak Everest
Puncak Everest atau Mount Everest di pegunungan Himalaya. (AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Penelitian menyebutkan bahwa longsor salju di Himalaya menyebabkan peningkatan jumlah kematian dan mengancam keselamatan para pendaki.

Meskipun pendakian gunung di dataran tinggi mempunyai risiko longsor salju, para ahli memperingatkan bahwa pemanasan global memperburuk bahaya selama musim pendakian di Pegunungan Himalaya.

Menurut analisis terbaru Persatuan Geosains Eropa (EGU), setidaknya 564 orang kehilangan nyawa akibat longsor salju saat mendaki puncak di atas 4.500 meter di Himalaya selama lima dekade terakhir. Mempersempit data menjadi 14 puncak di atas 8.000 meter dan beberapa puncak pendakian terkemuka lainnya di atas 6.000 meter di Himalaya, setidaknya terdapat 1.400 kematian pendaki gunung antara tahun 1895 dan 2022, 33 persen di antaranya disebabkan oleh longsor salju.

Alan Arnette, seorang pendaki gunung dan penulis sejarah musim pendakian di Nepal, menuturkan bahwa longsor salju fatal di puncak-puncak populer termasuk Everest, Ava Dablam, Manaslu, dan Dhaulagiri bukanlah peristiwa baru.

"Pegunungan akan longsor. Itu sudah terjadi selama puluhan tahun," ujar Arnette seperti dilansir The Guardian, Sabtu (2/8/2023).

Frekuensi dan waktu terjadinya longsor salju baru-baru ini diyakini merupakan pertanda bagaimana masa depan pendakian gunung Himalaya di tengah pemanasan global.

Prediksi Musim Pendakian Terganggu

Gunung Himalaya
Suasana pemandangan Gunung Himalaya, Gunung Ama Dablam (Kiri) (ketinggian 6812 meter) dari desa Khumjung di wilayah Everest, sekitar 140km timur laut Kathmandu (16/4). (AFP Photo/Prakash Mathema)

Musim pendakian di Himalaya tengah, tempat sebagian besar puncak pendakian populer lainnya berada, biasanya terjadi saat cuaca cerah dari Maret hingga Mei, sebelum Musim Hujan, dan setelahnya dari September hingga November. Hal ini bertepatan dengan musim topan di Samudra Hindia, namun hingga kini itu tidak terlalu mengkhawatirkan.

"Dataran tinggi Himalaya umumnya terlindung dari dampak siklon yang berasal dari Samudra Hindia karena siklon tersebut kehilangan energi saat melintasi daratan," kata Arun Bhakta Shrestha, ilmuwan iklim di Pusat Internasional untuk Pengembangan Pegunungan Terpadu.

"Namun, kadang-kadang angin topan berdampak pada dataran tinggi Himalaya sehingga menyebabkan hujan salju lebat dan bahkan korban jiwa."

Dengan perubahan drastis pola curah hujan monsun, siklon yang lebih sering terbentuk, dan intensitas yang lebih besar di Samudra Hindia yang memanas dengan cepat, musim pendakian yang tadinya dapat diprediksi kini semakin sering terganggu.

"Pada tahun 1996, ketika kita mengalami bencana di Everest (di mana delapan pendaki tewas dalam badai salju), hal ini benar-benar memperkuat fakta bahwa Anda harus mempertimbangkan apa yang terjadi di Teluk Benggala. Jika ada topan di sana, Anda harus mewaspadainya," kata Chris Tomer, ahli meteorologi dan peramal cuaca untuk ekspedisi pendakian gunung di Himalaya.

Pegunungan Himalaya Alami Pemanasan 2 Kali Lebih Cepat

Gunung Himalaya
Pemandangan Gunung Himalaya, Gunung Kangtega (ketinggian 6782 meter) dari desa Khumjung di wilayah Everest, sekitar 140km timur laut Kathmandu (16/4). (AFP Photo/Prakash Mathema)

Data menunjukkan puncak-puncak populer di Himalaya tengah termasuk Annapurna dan Everest, serta puncak-puncak yang berada dalam pengaruh monsun seperti Nanga Parbat di Himalaya barat, telah menimbulkan risiko longsor salju yang sangat tinggi bagi para pendaki.

Hujan salju segar dan lebat merupakan salah satu penyebab utama longsor salju. Jika terjadi badai di luar musim di pegunungan ini maka bahaya dan kemungkinan terjadinya kematian juga meningkat.

Tomer, yang telah melakukan peramalan selama hampir dua dekade, mengatakan, "Bukan berarti cuaca 20 tahun yang lalu tidak buruk, namun sungguh luar biasa melihat banyaknya salju di Manaslu dan Dhaulagiri dalam beberapa tahun terakhir. Itu menonjol karena cuaca paling ekstrem selama beberapa tahun terakhir."

Risiko longsor juga diperburuk oleh pemanasan suhu. Menurut studi tahun 2018, yang menggunakan lingkaran pohon sebagai proksi karena tidak adanya pengamatan jangka panjang untuk merekonstruksi sejarah longsor salju di Wilayah Himalaya India, suhu yang lebih hangat di musim dingin dan awal musim semi telah menyebabkan peningkatan frekuensi longsor salju.

Pegunungan Himalaya mengalami pemanasan dua kali lebih cepat dibandingkan rata-rata global dan para ahli berpendapat bahwa ketidakstabilan tumpukan salju yang disebabkan oleh suhu diperkirakan akan terus berlanjut di masa depan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya