Liputan6.com, Gedaref - Ratusan orang di Sudan meninggal dunia akibat wabah demam berdarah yang merebak. Pasien juga menderita diare.
Dilaporkan VOA Indonesia, Selasa (26/9), petugas media memperingatkan bahwa “penyebaran penyakit yang sangat berdampak buruk” bisa membebani sistem kesehatan di Sudan.
Baca Juga
Dalam sebuah pernyataan, serikat dokter Sudan memperingatkan bahwa situasi kesehatan di negara bagian Gedaref di bagian tenggara, di area perbatasan dengan Ethiopia, “memburuk pada tingkat yang mengerikan,” dengan ribuan orang terinfeksi demam berdarah.
Advertisement
Meskipun Gedaref terhindar dari dampak langsung perang brutal antara tentara reguler dan kelompok paramiliter, Pasukan Dukungan Cepat (RSF), namun Gedaref terkena dampak pengungsian massal dan krisis kemanusiaan lainnya.
Menurut PBB, lima bulan lebih setelah perang, 80% rumah sakit di Sudan tidak berfungsi.
Bahkan sebelum perang, sistem layanan kesehatan yang lemah kesulitan membendung wabah penyakit tahunan yang menyertai musim hujan di negara itu. Musim hujan di negara itu dimulai pada bulan Juni, dan membawa penyakit termasuk malaria – yang merupakan penyakit endemik di Sudan – dan demam berdarah.
Situasi Makin Parah
Tahun ini, ketika Gedaref menampung lebih dari 250.000 pengungsi internal, menurut PBB, situasinya menjadi jauh lebih buruk.
“Tempat tidur rumah sakit semuanya penuh, tetapi pasien terus berdatangan, terutama anak-anak,” kata seorang sumber medis dari Rumah Sakit Gedaref kepada AFP, yang meminta tidak disebutkan namanya karena khawatir akan keselamatannya.
“Tetapi yang berobat di rumah jauh lebih banyak dibandingkan di rumah sakit,” ujarnya.
Warga Gedaref, Amal Hussein, mengatakan kepada AFP bahwa "di setiap rumah, setidaknya ada tiga orang yang menderita demam berdarah."
Petugas kesehatan dan PBB telah berulang kali memperingatkan bahwa kombinasi antara kekerasan di Sudan, serta musim hujan dan infrastruktur yang hancur, akan menimbulkan wabah penyakit.
Sudah ada Lebih dari 1.200 anak-anak telah meninggal di kamp pengungsi sejak Mei lalu. Kebanyakan di antaranya meninggal dunia akibat wabah campak, hal itu berdasarkan badan pengungsi PBB.
Advertisement