Warga Israel Gelar Demo Besar-besaran, Tingkatkan Tekanan terhadap Netanyahu

Protes anti-pemerintah terbesar sejak 7 Oktober itu berlangsung pada Minggu (31/3/2024).

oleh Khairisa Ferida diperbarui 01 Apr 2024, 12:15 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2024, 12:15 WIB
Benjamin Netanyahu
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Dok. AFP)

Liputan6.com, Tel Aviv - Puluhan ribu warga Israel memadati pusat Yerusalem pada hari Minggu (31/3/2024) dalam protes anti-pemerintah terbesar sejak negara itu berperang di Jalur Gaza pada Oktober 2023. Para pengunjuk rasa mendesak pemerintah mencapai kesepakatan gencatan senjata untuk membebaskan puluhan sandera yang ditahan di Jalur Gaza oleh Hamas dan mengadakan pemilu lebih awal.

Masyarakat Israel secara luas bersatu segera setelah 7 Oktober, ketika Hamas membunuh sekitar 1.200 orang dalam serangan lintas batas dan menyandera 250 lainnya. Konflik yang terjadi selama hampir enam bulan telah memperbaharui perpecahan dalam kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, meskipun sebagian besar negara tersebut masih mendukung perang.

Netanyahu telah berjanji untuk menghancurkan Hamas dan memulangkan semua sandera, namun tujuan tersebut masih belum tercapai. Meskipun Hamas menderita kerugian besar, namun kelompok itu tetap utuh.

Sekitar setengah sandera di Jalur Gaza dibebaskan dalam gencatan senjata selama seminggu pada November. Namun, upaya mediator internasional untuk memulangkan sandera yang tersisa gagal. Pembicaraan dilanjutkan pada hari Minggu tanpa ada tanda-tanda terobosan akan segera terjadi.

Keluarga para sandera yakin waktu hampir habis dan mereka semakin vokal menyatakan ketidaksenangan mereka terhadap Netanyahu.

"Netanyahu hanya bekerja untuk kepentingan pribadinya," ujar Boaz Atzili, yang sepupunya, Aviv Atzili dan istrinya, Liat, diculik saat serangan 7 Oktober, seperti dilansir AP, Senin (1/4).

Liat dibebaskan, namun Aviv tewas dan jasadnya masih berada di Jalur Gaza.

Waktu Tepat untuk Menyelenggarakan Pemilu?

Demo di Israel
Puluhan orang berunjuk rasa di ibu kota Israel pada Sabtu (14/1/2023), untuk menentang pemerintahan PM Benjamin Netanyahu yang dinilai mengancam nilai-nilai demokrasi. (Dok. AFP)

Para pengunjuk rasa menyalahkan Netanyahu atas kegagalan mengantisipasi serangan Hamas pada 7 Oktober dan mengatakan perpecahan politik yang mendalam atas upaya perombakan peradilan tahun lalu melemahkan Israel menjelang serangan tersebut. Beberapa pihak menuduhnya merusak hubungan dengan Amerika Serikat (AS), sekutu terpenting Israel.

Netanyahu juga menghadapi serangkaian tuduhan korupsi yang perlahan-lahan mulai diproses di pengadilan dan para kritikus menilai keputusannya tampaknya terfokus pada kelangsungan politik dibandingkan kepentingan nasional. Jajak pendapat menunjukkan Netanyahu dan koalisinya tertinggal jauh di belakang saingan mereka jika pemilu diadakan hari ini.

Banyak keluarga sandera disebut menahan diri untuk tidak mengecam Netanyahu di depan umum untuk menghindari pertentangan dengan pemimpin Israel dan menjadikan penderitaan para sandera sebagai isu politik. Namun, seiring dengan meningkatnya kemarahan mereka, beberapa orang kini ingin mengubah haluan – dan mereka memainkan peran utama dalam protes anti-pemerintah pada hari Minggu.

Kerumunan pada hari Minggu membentang hingga beberapa blok di sekitar Knesset atau gedung parlemen, dan penyelenggara berjanji akan melanjutkan demonstrasi selama beberapa hari. Mereka mendesak pemerintah mengadakan pemilu baru hampir dua tahun lebih cepat dari jadwal. Ribuan orang juga berdemonstrasi pada hari Minggu di Tel Aviv, tempat terjadi protes besar pada malam sebelumnya.

Netanyahu, dalam pidatonya yang disiarkan televisi secara nasional sebelum menjalani operasi hernia pada Minggu malam, mengatakan dia memahami penderitaan pihak keluarga sandera. Namun, dia mengklaim bahwa mengadakan pemilu baru – yang dia gambarkan sebagai momen sebelum kemenangan – akan melumpuhkan Israel selama enam hingga delapan bulan dan menghentikan perundingan pembebasan sandera. Untuk saat ini, koalisi pemerintahan Netanyahu diyakini akan tetap utuh.

Beberapa keluarga sandera sepakat bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk mengadakan pemilu.

"Saya tidak berpikir bahwa mengganti perdana menteri sekarang adalah hal yang akan memajukan dan membantu anak saya pulang," ujar Sheli Shem Tov, yang putranya Omer diculik dari sebuah festival musik, kepada Channel 12.

"Untuk mengikuti pemilu sekarang hanya akan mengesampingkan masalah yang paling mendesak, yaitu memulangkan para sandera."

Ngotot Serang Rafah

Jalur Gaza
Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza berkumpul di sebuah kamp tenda di Rafah, Jalur Gaza selatan, Senin (4/12/2023). Ratusan ribu warga Palestina telah meninggalkan rumah mereka ketika Israel melancarkan serangan darat terhadap kelompok militan Hamas yang berkuasa. (AP Photo/Fatima Shbair)

Dalam pidatonya pada hari Minggu, Netanyahu mengulangi sumpahnya untuk melakukan serangan darat ke Rafah, di mana lebih dari separuh penduduk Jalur Gaza yang berjumlah 2,3 juta jiwa kini berlindung setelah melarikan diri dari pertempuran di tempat lain.

"Tidak ada kemenangan tanpa pergi ke Rafah," katanya, seraya menambahkan bahwa tekanan AS tidak akan menghalanginya. Militer Israel mengatakan batalion Hamas masih berada di sana.

Isu lain yang mewarnai perpecahan Israel tercermin melalui aksi sekelompok tentara cadangan dan pensiunan perwira yang berdemonstrasi di lingkungan ultra-Ortodoks.

Laki-laki ultra-Ortodoks selama beberapa generasi telah menerima pengecualian dari dinas militer, yang merupakan kewajiban bagi sebagian besar pria dan wanita Yahudi. Kebencian atas hal ini semakin dalam selama perang. Pemerintahan Netanyahu telah diperintahkan untuk mempresentasikan rencana baru atas rancangan undang-undang yang lebih adil pada hari Senin.

Netanyahu, yang sangat bergantung pada dukungan partai ultra-Ortodoks, pekan lalu meminta perpanjangan waktu.

Bank of Israel mengatakan dalam laporan tahunannya pada hari Minggu bahwa akan ada kerugian ekonomi jika sejumlah besar pria ultra-Ortodoks terus tidak bertugas di militer Israel.

Otoritas kesehatan Gaza mengatakan pada hari Minggu bahwa setidaknya 32.782 warga Palestina tewas sejak dimulainya perang Hamas Vs Israel yang terbaru.

Infografis Perang Israel-Hamas Lewati 100 Hari. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Perang Israel-Hamas Lewati 100 Hari. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya