China, Denmark hingga Inggris Pamer Ambisi Atasi Perubahan Iklim, Siapa Lebih Baik?

Negara-negara di dunia berkomitmen untuk menanggulangi masalah perubahan iklim bersama dan dikukuhkan di bawah Perjanjian Paris yang disepakati pada tahun 2015.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 24 Agu 2024, 20:33 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2024, 20:33 WIB
Acara Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2024 yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Sabtu (24/8/2024). (Liputan6/Benedikta Miranti)
Acara Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2024 yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Sabtu (24/8/2024). (Liputan6/Benedikta Miranti)

Liputan6.com, Jakarta - Seluruh negara di dunia tengah berlomba-lomba untuk mengatasi dan meminimalisir dampak perubahan iklim. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah pemanasan global tidak melampaui 1,5 derajat Celcius, dengan harapan mengurangi emisi hingga 45 persen pada tahun 2030 dan mencapai nol emisi pada tahun 2050.

Dilansir laman PBB, Sabtu (24/8/2024), lebih dari 140 negara termasuk penghasil pencemaran terbesar seperti China, Amerika Serikat (AS), India dan Uni Eropa, telah menetapkan target nol bersih, yang mencakup sekitar 88 persen emisi global.

Adapun Indonesia, melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru, menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89 persen di tahun 2030 mendatang dengan target dukungan internasional sebesar 43,20 persen.

Lantas, bagaimana dengan usaha negara-negara lain di dunia?

Perwakilan China, Denmark dan Inggris pun membagikan pengalaman tentang bagaimana negara mereka mengatasi permasalahan iklim dalam acara Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2024 yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


1. China

Utusan Khusus untuk Perubahan Iklim China Liu Zhenmin dalam acara Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2024 yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). (Liputan6/Benedikta Miranti)
Utusan Khusus untuk Perubahan Iklim China Liu Zhenmin dalam acara Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2024 yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). (Liputan6/Benedikta Miranti)

Utusan Khusus untuk Perubahan Iklim China Liu Zhenmin mengatakan bahwa kunci utama negaranya untuk mengurangi emisi adalah dengan menggalakkan transisi energi.

"China telah merumuskan perubahan kebijakan untuk mengalihkan semua pengendalian konsumsinya ke pengendalian emisi karbon, yang mencakup pengendalian emisi total," ujar Zhenmin dalam INZS 2024 di Jakarta, Sabtu (24/8/2024).

"Perubahan kebijakan ini akan meletakkan dasar yang baik bagi China untuk beralih dari proses puncak karbon ke proses pemanfaatan karbon."

Upaya tersebut dapat dikatakan berhasil, terbukti dari penurunan proporsi konsumsi energi menjadi 59,56 persen.

"Ini merupakan proses bersejarah dalam revolusi energi China, dan mengarah pada perbaikan lingkungan," tambah Liu.

Kemajuan China menghasilkan kendaraan listrik juga berkontribusi bagi transisi energi global.

"China akan terus bekerja keras untuk mempromosikan inovasi teknologi dan produksi di sektor hijau dan rendah karbon, menyediakan kapasitas berkualitas tinggi dan produk atau upaya global untuk mengatasi perubahan iklim," lanjut dia.


2. Denmark

Utusan Khusus untuk Perubahan Iklim Denmark Tomas Anker Christensen dalam acara Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2024 yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). (Liputan6/Benedikta Miranti)
Utusan Khusus untuk Perubahan Iklim Denmark Tomas Anker Christensen dalam acara Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2024 yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). (Liputan6/Benedikta Miranti)

Berbeda dengan China, Denmark fokus mengatasi perubahan iklim lewat peninjauan target dan undang-undang.

Denmark menilai bahwa NDC yang dipersiapkan untuk lima tahun tidaklah cukup, dan memerlukan peninjauan setiap tahun.

"Dalam undang-undang kami, kami telah membangun roda pembuatan kebijakan yang kita mulai setiap tahun," ungkap Utusan Khusus untuk Perubahan Iklim Denmark Tomas Anker Christensen.

Prosesnya dimulai sejak bulan September, di mana pemerintah mengajukan program rencana iklim untuk tahun selanjutnya yang kemudian diserahkan kepada parlemen. Program tersebut mencakup Langkah konkret yang akan dilakukan untuk mengurangi emisi dan mencapai target iklim.

Program itu kemudian dibahas bersama dengan badan anggaran nasional di parlemen. Proses selanjutnya adalah pembahasan anggaran, pengesahan undang-undang anggaran.

Setelah itu, Dewan Iklim Nasional independen yang terdiri dari ekonom dan ilmuwan akan menyampaikan penilaian mereka terhadap program iklim itu. Mereka akan memberikan pendapat dan kritik untuk kebijakan yang dinilai tidak efektif untuk dilakukan.

Sementara itu, pemerintah juga harus melapor ke badan energi tentang status pelaksanaan program iklim dari tahun sebelumnya.

"Siklus ini berjalan setiap tahun hingga 2030 dan ini adalah cara untuk memastikan bahwa kita tetap ada pada jalurnya," tutur Tomas.


3. Inggris

Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Dominic Jermey dalam acara Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2024 yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). (Liputan6/Benedikta Miranti)
Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Dominic Jermey dalam acara Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2024 yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). (Liputan6/Benedikta Miranti)

Sementara itu, Inggris memiliki caranya sendiri untuk menangani isu iklim.

Negara yang dijuluki "The Black Country" itu memiliki prinsip bahwa seluruh program dan kebijakan terkait perubahan iklim harus dilandasi sains.

Laporan terkait keanekaragaman hayati oleh ekonom Partha Dasgupta dan laporan terkait ekonomi perubahan iklim oleh Lord Nicholas Stern menjadi landasan bagi Inggris dalam menetapkan kebijakan.

"Dengan sains yang tepat, politik yang tepat, kebijakan harus mengikuti. Dan kebijakan harus dapat didasarkan pada bukti, data dan sains," ujar Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Dominic Jermey.

Di sisi lain, beralih menggunakan energi terbarukan juga menjadi cara Inggris untuk menyelesaikan masalah iklim.

"Tidak ada lagi pembangkit listrik tenaga batu bara di Inggris setelah tahun ini, dan itu juga berarti pertumbuhan ekonomi yang sangat penting bagi pemerintah untuk diberikan kepada rakyatnya," imbuhnya.

 

Infografis Bencana-Bencana Akibat Perubahan Iklim
Infografis Bencana-Bencana Akibat Perubahan Iklim. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya