Debu Berlian dapat Mendinginkan Bumi yang Makin Panas

Mereka menyelidiki potensi debu berlian sebagai solusi untuk mendinginkan planet bumi.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 29 Okt 2024, 03:00 WIB
Diterbitkan 29 Okt 2024, 03:00 WIB
Ilustrasi berlian
Ilustrasi berlian (Dok.Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini beberapa ilmuwan telah melakukan penelitian serius tentang penggunaan berlian mendinginkan bumi. Data dari Copernicus Climate Change Service (C3S) menunjukkan suhu rata-rata global pada 2023 mencapai rekor tertinggi. Hal ini menyebabkan gelombang panas, kekeringan, dan kebakaran hutan.

Kondisi tersebut juga memicu berbagai kasus degradasi lingkungan seperti mencairnya gletser, kebakaran hutan yang lebih sering terjadi, dan menghangatnya lautan. Berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi dampak pemanasan lobak, mulai dari mengurangi emisi karbon hingga memanfaatkan teknologi. Melansir laman Earth pada Senin (28/10/2024), ide ini dicetuskan tim peneliti yang dipimpin oleh ilmuwan iklim Sandro Vattioni dari ETH Zurich di Swiss.

Mereka menyelidiki potensi debu berlian sebagai solusi untuk mendinginkan planet bumi. Dikutip dari laman Phys, Senin (28/10/2024), debu berlian dapat digunakan sebagai aerosol.

Aerosol adalah partikel kecil yang melayang di udara dan dapat memantulkan sinar matahari kembali ke luar angkasa. Dengan memantulkan lebih banyak sinar matahari, jumlah panas yang diserap bumi akan berkurang.

Dalam artikel ilmiah yang para ilmuwan ini terbitkan di jurnal Geophysical Research Letters, penebaran sekitar lima juta ton debu berlian ke atmosfer setiap tahun dapat menurunkan suhu Bumi hingga 1,6 derajat Celsius. Hasil ini didapatkan oleh para peneliti menggunakan model iklim 3D.

Mereka membandingkan berbagai jenis aerosol yang bisa digunakan untuk mendinginkan bumi. Setelah berbagai macam perbandingan, didapatkan bahwa debu berlian merupakan pilihan terbaik.

Alasannya, partikel-partikel berlian dapat memantulkan cahaya dan panas paling banyak. Selain itu, partikel berlian bisa tetap berada di udara dalam waktu yang cukup lama dan tidak mudah menggumpal.

Meski begitu, para peneliti memperkirakan proses ini akan memakan waktu setidaknya 45 tahun. Artinya, proses ini akan memakan berlian dalam jumlah yang besar.

 

Letusan Gunung Pinatubo

Dikutip dari laman Science Alert Senin (28/10/2024), para peneliti terinspirasi dari letusan gunung berapi Pinatubo di Filipina pada 1991. Letusan gunung ini dapat mendinginkan bumi hingga 0,5 derajat Celcius dalam beberapa tahun.

Saat itu, Gunung Pinatubo diketahui memuntahkan jutaan ton sulfat ke atmosfer. Partikel-partikel yang terbentuk kemudian mampu memantulkan sinar matahari dan mendinginkan Bumi.

Namun, karena eksperimen dengan sulfur dioksida buatan ternyata memiliki risiko besar seperti hujan asam, kerusakan lapidan ozon, hingga gangguan pola cuaca, peneliti beralih pada berlian. Sifat kimia berlian yang lebih stabil dianggap lebih aman karena tidak memicu pembentukan hujan asam.

 

Sulfur Dioksida

Debu berlian yang mahal menjadi tantangan utama untuk merealisasikan teori ini. Terlebih, berlian merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbarui dan memiliki jumlah yang terbatas.

Selain menggunakan berlian, para peneliti juga mempertimbangkan beberapa alternatif lain, salah satunya adalah sulfur dioksida. Namun, sulfur dioksida memiliki beberapa kelemahan, seperti dapat menyebabkan hujan asam, merusak lapisan ozon, dan mengganggu pola cuaca.

Sulfur dioksida cenderung menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, yang dapat memerangkap panas dan mengganggu pola iklim.

(Tifani)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya