, Kathmandu - Nepal dianggap sebagai salah satu negara paling bebas di Asia karena konstitusinya yang menjamin kebebasan pers.
Menurut indeks Kebebasan Pers Dunia 2024 yang dilansir oleh Reporters Without Borders (RSF), negara Himalaya ini berada di peringkat ke-74 dari 180 negara, cukup jauh lebih tinggi dari Indonesia yang menduduki peringkat 111.
Baca Juga
Namun, sebuah rancangan undang-undang (RUU) yang bertujuan untuk mengatur media sosial telah menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi akan berdampak pada kebebasan berpendapat, dikutip dari laman DW Indonesia, Sabtu (22/2/2025).
Advertisement
Para kritikus berpendapat bahwa sejumlah pasal yang tidak jelas dapat menekan perbedaan pandangan politik dan bertentangan dengan hak-hak yang dilindungi oleh konstitusi.
Pemerintah mengklaim bahwa RUU ini bertujuan untuk mendorong kesopanan dan transparansi online. RUU ini mewajibkan pendaftaran akun media sosial untuk berbagai perusahaan dan memberikan kekuasaan kepada pihak berwenang untuk menghapus konten yang "tidak senonoh” atau "menyesatkan”.
RUU tersebut, yang bertujuan untuk "mengawasi pengoperasian, penggunaan, dan regulasi media sosial,” mengusulkan pelarangan media sosial yang tidak terdaftar di Nepal.
RUU ini mengusulkan denda yang besar dan hukuman penjara hingga lima tahun untukmenyebarkan informasi palsu dan mengkriminalisasi unggahan di media sosial secara anonim atau dengan identitas palsu.
Apa yang Diusulkan oleh RUU Tersebut?
Undang-undang yang diusulkan mewajibkan platform media sosial yang beroperasi di Nepal, seperti Facebook, X, dan lainnya, memiliki izinntuk dapat beroperasi di negara tersebut.
Peraturan ini membatasi penggunaan media sosial untuk melindungi kepentingan nasional, melarang aktivitas seperti perundungan maya, pemerasan, peretasan, dan pelanggaran privasi. Pengguna juga dilarang mengunggah konten cabul, komentar memfitnah, trolling dengan kata-kata menyinggung, gambar atau audiovisual yang merusak reputasi seseorang, serta ujaran kebencian.
Meskipun aktivis HAM mengakui perlunya regulasi, mereka berpendapat bahwa pendekatan pengaturan mandiri dan kesadaran publik lebih efektif ketimbang kontrol pemerintah dan tindakan hukuman.
"RUU ini harus menciptakan lingkungan yang mendukung pengaturan mandiri dan literasi digital, bukan kontrol pemerintah yang ketat,” tutur Rukamanee Maharjan, asisten profesor di Kampus Hukum Nepal, kepada DW.
"Sayangnya, RUU ini disusun dengan perspektif kejahatan dan hukuman, dengan mengkriminalisasi tindakan seperti menyebarkan rumor, menggunakan nama samaran, atau membuat akun media sosial tanpa persetujuan pemerintah, " ditambahkannya.
Maharjan memperingatkan bahwa RUU ini dapat menyebabkan sensor mandiri di kalangan intelektual dan berdampak tidak proporsional pada mereka yang kurang melek digital dan mungkin secara tidak sengaja membagikan konten menyesatkan.
"Kelompok minoritas seksual dan gender, seperti komunitas LGBTQ+, sering kali bergantung pada identitas anonim untuk berbagi penderitaan dan pengalaman mereka,” tambahnya.
"RUU ini dapat mengekang suara mereka dengan mengkriminalisasi anonimitas dengan definisi yang tidak jelas dan kontrol pemerintah yang berlebihan.”
RUU Berpotensi Mengekang Kritik
Banyak kritikus menduga bahwa RUU ini dimaksudkan untuk membungkam perbedaan pendapat dan mengekang kritik publik, yang telah berkembang karena kinerja pemerintah yang buruk meskipun memiliki mayoritas parlemen yang kuat.
Di saat para influencer media sosial telah meluncurkan tagar #BolnaDeSarkar (Biarkan kami berbicara, pemerintah), partai-partai politik besar dan organisasi-organisasi media berita utama sebagian besar tetap bungkam.
Taranath Dahal, ketua Forum Kebebasan Nepal, mengatakan kepada DW bahwa partai-partai oposisi tidak memiliki alasan untuk menentang RUU tersebut karena mereka mendorong langkah-langkah serupa ketika mereka berkuasa.
Ia mengatakan bahwa media arus utama mungkin juga merasa bahwa jumlah pembaca dan pendapatan mereka menurun karena penggunaan media sosial yang luas.
"Saya yakin mereka akan memahami implikasi yang lebih besar, yang bertujuan untuk mengatur semua komunikasi berbasis internet yang juga mencakup jurnalisme, dengan langkah-langkah hukuman,” kata Dahal, yang juga mantan ketua Federasi Jurnalis Nepal.
"Jika disetujui, ini akan menekan perbedaan pendapat dan (menargetkan) lawan-lawan politik.”
Dahal berpendapat bahwa RUU tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional utama, termasuk kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
"Dari definisi media sosial yang tidak jelas hingga aturan yang luas, RUU ini sangat cacat. RUU ini mendekati regulasi dari perspektif kriminal daripada memperlakukannya sebagai masalah perdata,” kata Dahal.
Advertisement
Apa yang Terjadi Selanjutnya?
Pemerintah Nepal, yang dipimpin oleh Perdana Menteri KP Sharma Oli, tetap bersikeras untuk mendorong RUU ini.
Menteri Informasi Nepal, Prithvi Subba Gurung, telah mempertahankan RUU tersebut, dengan alasan perlunya mengekang cyberbullying dan pelanggaran daring lainnya.
"Kami tidak bisa tonmggal diam jika ada yang mengancam persatuan nasional, kedaulatan, atau harmoni sosial melalui media sosial," ujarnya.
"RUU ini bukan tentang membatasi kebebasan berekspresi, tetapi tentang mengatur kekacauan, anarki, dan ketidaksopanan di internet."
Setelah Rastriya Sabha (Majelis Nasional, majelis tinggi) menyetujui RUU tersebut, anggota parlemen akan dapat mengusulkan amandemen.
Setelah itu, RUU tersebut akan diserahkan pada Pratinidhi Sabha (majelis rendah, atau Dewan Perwakilan Rakyat) untuk pembahasan lebih lanjut sebelum dikembalikan ke Rastriya Sabha untuk ditinjau. Setelah itu, RUU tersebut akan dikirim ke kantor presiden untuk ditandatangani menjadi undang-undang.
