Liputan6.com, Manila - Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte ditangkap pada Selasa (11/3/2025) di Manila oleh polisi yang bertindak berdasarkan surat perintah Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Menurut ICC, pria berusia 79 tahun itu menghadapi tuduhan "kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan". Hal ini terkait dengan operasi pemberantasan narkoba yang dia lakukan.
Advertisement
Baca Juga
Menurut kelompok hak asasi manusia, puluhan ribu orang, terutama pria miskin, tewas di tangan polisi dan kelompok yang bertindak sendiri di luar hukum (vigilante). Banyak dari mereka dibunuh tanpa bukti keterlibatan dalam narkoba.
Advertisement
"Pada pagi hari, Interpol Manila menerima salinan resmi surat perintah penangkapan dari ICC," kata istana kepresidenan dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari CNA.
"Saat ini, dia berada dalam tahanan pihak berwenang."
Pernyataan itu menambahkan bahwa "mantan presiden dan kelompoknya dalam kondisi sehat dan sedang diperiksa oleh dokter pemerintah."
Duterte ditangkap setelah mendarat di bandara internasional Manila usai melakukan perjalanan singkat ke Hong Kong.
Berbicara di hadapan ribuan pekerja Filipina di luar negeri pada Minggu (9/3), mantan presiden itu mengkritik investigasi ICC sambil menyatakan bahwa dia akan "menerimanya" jika penangkapan adalah takdirnya.
Mantan pengacara dan juru bicaranya mengatakan bahwa penangkapan Duterte adalah tidak sah dan mantan pemimpin itu tidak didampingi atau dibela oleh pengacara atau penasihat hukum saat ditangkap.
Salvador Panelo, yang dulu membantu Duterte dalam urusan hukum dan menjadi juru bicaranya saat menjabat presiden (2016-2022), menyatakan bahwa surat perintah penangkapan dari Interpol berasal dari "sumber yang tidak sah". Menurutnya, ICC tidak memiliki wewenang untuk bertindak di Filipina.
Klaim ICC
Filipina keluar dari ICC pada 2019 atas perintah Duterte. Namun, ICC menyatakan mereka tetap memiliki wewenang untuk menyelidiki kasus pembunuhan yang terjadi sebelum Filipina keluar dari ICC.
Selain itu, ICC juga mengklaim yurisdiksi atas pembunuhan yang terjadi di Kota Davao ketika Duterte masih menjabat sebagai wali kota di sana, bertahun-tahun sebelum dia menjadi presiden.
ICC memulai penyelidikan resmi pada September 2021, namun menunda prosesnya dua bulan kemudian setelah pemerintah Filipina menyatakan sedang meninjau ulang ratusan kasus operasi narkoba yang menyebabkan kematian di tangan polisi, pembunuh bayaran, dan kelompok vigilante.
Kasus ini dilanjutkan kembali pada Juli 2023 setelah panel lima hakim menolak keberatan Filipina bahwa pengadilan tidak memiliki yurisdiksi.
Sejak itu, pemerintah Presiden Ferdinand Marcos Jr. telah berkali-kali mengatakan mereka tidak akan bekerja sama dengan penyelidikan.
Namun, Wakil Menteri Kantor Komunikasi Presiden Claire Castro pada Minggu mengaku bahwa jika Interpol "meminta bantuan yang diperlukan dari pemerintah, mereka wajib mengikutinya."
Duterte masih sangat populer di kalangan banyak orang di Filipina yang mendukung solusi cepatnya terhadap kejahatan dan dia disebut pula masih menjadi kekuatan politik yang kuat. Dia mencalonkan diri untuk merebut kembali jabatannya sebagai wali kota di Davao dalam pemilihan sela.
Beberapa kasus terkait operasi narkoba yang mengakibatkan kematian telah diajukan secara lokal, namun hanya sembilan polisi yang dihukum karena membunuh tersangka narkoba.
Advertisement
Menolak Minta Maaf
Mengaku sebagai pembunuh, Duterte memerintahkan petugas untuk menembak mati tersangka narkoba jika nyawa mereka dalam bahaya dan bersikeras bahwa operasi pemberantasan itu menyelamatkan keluarga dan mencegah Filipina menjadi "narco-politics state".
Narco-politics state merujuk pada suatu negara di mana perdagangan narkoba memiliki pengaruh besar, bahkan mendominasi, dalam sistem politik dan pemerintahan.
Dalam pembukaan penyelidikan Senat Filipina mengenai perang melawan narkoba pada Oktober, Duterte menolak meminta maaf dan memberikan alasan atas tindakan-tindakannya.
Dia menegaskan, "Saya melakukan apa yang harus saya lakukan dan terlepas dari apakah Anda percaya atau tidak, saya melakukannya untuk negara saya."
