Aku Terserang Stroke, 2 Anakku Menderita Talasemia

Hati ibu mana yang tidak hancur melihat kedua anaknya menderita talasemia bertahun-tahun. Itulah yang dirasakan Sri Iriani.

oleh Kusmiyati diperbarui 03 Apr 2014, 06:30 WIB
Diterbitkan 03 Apr 2014, 06:30 WIB
Sri Iriani
Tubuh kurus Sri hanya bisa terkapar di atas kasur tanpa bisa berbuat apa-apa. Mulutnya membisu dan hanya bisa menggunakan bahasa isyarat.

Liputan6.com, Jakarta Perasaan sedih dan terpukul berkecamuk dalam hati wanita paruh baya bernama Sri Iriani. Hati ibu mana yang tidak hancur melihat kedua anaknya menderita talasemia bertahun-tahun. Kini, tubuh kurus Sri hanya bisa terkapar di atas kasur tanpa bisa berbuat apa-apa. Mulutnya membisu dan hanya bisa menggunakan bahasa isyarat.

Sri terkena stroke sejak tujuh tahun yang lalu, tepatnya 17 Agustus 2007. Menurut sang suami Setiyono (54), istrinya terlalu keras berpikir mengenai anak-anaknya.

"Kami punya anak tiga, yang pertama dan yang terakhir menderita talasemia sudah puluhan tahun. Istri saya terlalu memikirkan anak-anaknya sampai kini tidak bisa apa-apa hanya `a, u` bicaranya (bahasa isyarat)," kata Setiyono dengan mata berkaca-kaca saat diwawancarai Liputan6.com, Rabu (2/4/2014).

Kedua anak Sri dan Setiyono tersebut yakni Reza Noorfatah (24) dan Fajar Adi Nugraha (20). Setiyono tidak kuasa membendung sedihnya hingga sesekali dirinya menyeka air yang jatuh di balik kacamatanya. Pria kelahiran Solo 21 Desember 1960 ini berbagi cerita kepada tim Liputan6.com tentang kedua anaknya.

"Kedua anak kami divonis talasemia sudah sekitar 20 tahunan. Mereka harus transfusi darah satu atau dua bulan sekali, ini rutin dilakukan kalau tidak tubuhnya melemah mukanya pucat dan warna kulitnya berubah agak cokelat kehitaman," kata Setiyono yang bekerja sebagai Kepala Satuan Pemasaran Rumah Sakit Pasar Rebo.

Ketegaran dan kesabaran menjadi dua kunci Setiyono masih bertahan memikul beban sampai sekarang.

"Saya sempat berpikir mungkin orang yang bunuh diri itu karena begini. Rasanya sudah tidak sanggup menjalani hari-hari seperti ini. Namun terus mendekatkan diri kepada Tuhan serta tegar dan sabar jadi kunci penyelamat saya masih bertahan hingga sekarang," ujar Setiyono.

Mengeluh Bukan Solusi

Anak pertama Sri diketahui menderita talasemia sejak usia 12 tahun sedangkan anak terakhir sudah sejak dilahirkan ke dunia.

"Dulu waktu masih bekerja di lab rumah sakit, saya cek darah Reza hasilnya ada kelainan di darahnya. Kemudian saya bawa ke rumah sakit dan diketahui dia menderita talasemia," kata Setiyono.

Hatinya hancur saat mengetahui hal tersebut, bersama sang istri Setiyono pun mencoba tegar menerima kenyataan dan takdir Tuhan.

"Ini namanya takdir, kalau dibilang kuat, ya tidak kuat. Tetapi mengeluh bukan solusi, memang kalau mengeluh semuanya bisa berubah. Kan tidak jadi jalani takdir Tuhan dengan terus berdoa serta berusaha," kata Setiyono.

Saat kelahiran anak kedua mereka ada perasaan khawatir yang menghantui pikiran Sri dan Setiyono.

"Reza lahir 13 November 1989, kemudian lahir Fahrial pada 21 April 1991. Saya khawatir karena talasemia kan penyakit genetik kelebihan zat besi, jadi kami takut anak kedua kami juga menderita itu. Alhamdulillah ternyata tidak," kata Setiyono.

Perasaan lega kedua pasangan ini tidak berlangsung lama setelah kelahiran anak ketiga mereka.

"Kami sudah ikut program Keluarga Berencana (KB) tetapi ternyata istri saya tetap hamil. Lahirlah Fajar Adi Nugroho pada 26 Agustus 1994 dan sudah divonis menderita talasemia. Kami semakin hancur saat itu," kata Setiyono.

Bagaimana tidak hancur pengobatan untuk penderita talasemia masih terbilang tinggi. "Pengobatan talasemia itu kan jangka panjang dan ini harus rutin. Kami merasa tidak sanggup karena pendapatan kami tidak mencukupi pengobatannya, bayangkan saja satu obat saja bisa lebih dari 300 sehari dan itu harus tiap hari belum lagi saat transfusi darah," kata pria yang tinggal di daerah Condet, Jakarta Selatan ini.

Kehilangan Semangat dan Teman Berbagi

Selama 20 tahunan lebih Sri dan Setiyono banting tulang memeras keringat untuk kesembuhan kedua anaknya.  "Kami terus berusaha demi kesembuhan anak kami, Sri bekerja sebagai staf di Rumah Sakit Mata Aini dan saya di rumah sakit Pasar Rebo kadang mengajar juga di Akademi Keperawatan. Namun dari sisi medis penyakit ini belum ada obat yang sampai penderitanya sembuh, jadi kami harus terus berusaha," kata Setiyono.

Setiyono semakin terpuruk saat Sri terkena stroke. "Saya merasa kehilangan semangat, dua anak saya menderita talasemia ditambah istri saya stroke karena terlalu berpikir. Saya kehilangan teman berbagi cerita dan berkeluh kesah," kata Setiyono.

Kini hanya Tuhan yang menjadi tempatnya berkeluh kesah. "Mau kemana lag ke istri tidak bisa, karena kan dia sudah tidak bergerak sama sekali dan bicaranya juga pakai bahasa isyarat. Saya terus mendekatkan diri kepada Tuhan untuk meminta kekuatan dan kesabaran," kata Setiyono.

Setiyono berharap semua yang dialaminya memiliki hikmah yang terbaik untuk kehidupannya. "Saya hanya bilang Tuhan sudah pantaskah saya menerima cobaan-Mu yang segini hebatnya. Saya rasa belum pantas, tetapi kalau menurut-Mu pantas berikanlah kami kekuatan dan kesabaran serta yakinkan ini semua ada hikmah yang terbaik," harap Setiyono.

 

Baca Juga :


Hanya Mukjizat yang Bisa sembuhkan Penyakitku

Mama Bikin Aku Kuat Jalani Derita Talasemia 11 Tahun

Aku Tak Berdaya, Anakku Tanpa Batok Kepala dan Sakit Talasemia

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya