Petaka di Balik Gelora Libido

Hasrat libido petugas kebersihan PT ISS Indonesia membawa petaka bagi kehidupan AK, seorang siswa Jakarta Internasional School (JIS).

oleh Abd diperbarui 01 Mei 2014, 07:00 WIB
Diterbitkan 01 Mei 2014, 07:00 WIB
Suasana Pengamanan JIS
Meski dijaga ketat, pelecehan seksual terhadap anak di Jakarta International School (JIS) terjadi justru dari petugas cleaning service yang sehari-hari bekerja di sekolah bertaraf internasional itu (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta Hasrat libido petugas kebersihan PT ISS Indonesia membawa petaka bagi kehidupan AK, seorang siswa Jakarta Internasional School (JIS).

Menurut pendiri teori psikoanalisis dari Austria, Sigmund Freud, libido bekerja menurut prinsip kesenangan dan memicu pemenuhan kepuasan yang segera.

Dalam kasus kekerasan seksual terhadap siswa enam tahun itu tak jauh dari istilah yang apa yang diutarakan Freud tentang libido sebagai energi dari proses mental dan menimbulkan hasrat erotis.

Pemberitaan media tentang pedofilia menyiratkan seorang anak kecil yang tidak berdaya kemudian menjadi sasaran empuk bagi nafsu orang dewasa yang secara fisik dan pikiran lebih matang. Sayangnya banyak dari kelebihan superior orang dewasa terhadap anak-anak yang inferior itu justru dimanfaatkan untuk melampiaskan libido kepada yang tidak berdaya melawan.

Hubungan superioritas dan inferioritas dalam kasus AK itu sempat diutarakan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto.

Menurut dia sang pelaku bernama Agun Iskandar awalnya memergoki korban AK yang sedang buang air kecil di toilet sekolah. Agun mengatakan kepada korban bahwa dia tidak bersih saat buang air. "Dia memergoki korban buang air kecilnya tidak bersih dan langsung menghukumnya," kata Rikwanto.

Hukuman dari Agun itu itu bukanlah hukuman biasa lantaran berupa aksi sodomi kepada seorang anak yang secara logika tidak bisa memberikan perlawanan berarti terhadap petugas kebersihan alihdaya ISS Indonesia itu.

Menurut kabid Humas Polda Metro Jaya tersebut, Agun kemudian langsung memanggil rekannya Virgiawan alias Awan. "Sekitar pukul 11.00 WIB, mereka melakukan itu (sodomi) kepada korban secara bergantian," katanya.

Kronologis peristiwa itu, kata Rikwanto, didapati penyidik berdasarkan pengakuan dari kedua tersangka, Agun dan Awan, yang kini mendekam di balik jeruji sel penjara.

Kasus nahas yang menimpa AK itu kian melebar kepada kasus pelecehan kedua di sekolah bertaraf internasional tersebut. Sampai perhatian publik mengarah ke rekam jejak JIS yang sempat mempekerjakan penjahat pedofilia yaitu mendiang William James Vahey.

Badan Intelijen Federal (FBI) Amerika Serikat sendiri telah menyatakan Vahey terlibat kasus pedofilia merujuk pada bukti berupa foto-foto porno para siswa lelaki berusia 12-14 tahun yang diabadikannya. Foto-foto tersebut tersimpan di media simpan USB Flashdisk miliknya. Terdapat kemungkinan Vahey pernah menjalankan modusnya saat masih bekerja di JIS kurun 1992-2002.

Vahey sendiri bunuh diri di Minnesota bulan lalu atau hanya dua hari setelah hakim federal di Houston menyatakan berhasil menemukan anak-anak korban kejahatan seksual yang bakal menjebloskannya ke penjara.

Belum lepas juga ingatan publik tentang kasus pedofilia pembawa petaka anak-anak di Indonesia yang dilakukan oleh Baekuni alias Babe (49 tahun). Dia ditangkap pada Januari 2010 lantaran terbukti menyodomi banyak sejumlah anak. Parahnya, dia juga melakukan pembunuhan terhadap 14 anak setelah digagahinya bahkan empat dari mereka dimutilasi untuk menghilangkan jejak.

Betapa pilunya nasib anak-anak yang sedang tumbuh kemudian hancur menjadi korban dorongan libido seorang dewasa. Meski begitu, seorang individu yang melakukan pedofilia karena dorongan libido yang tinggi tidak dapat menjadi pembenaran atas aksi tercela itu.

Merusak nilai kemanusiaan

Di tengah keprihatinan akan kasus pedofilia, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Linda Gumelar mengatakan hukuman maksimal 15 tahun terhadap pelaku pencabulan anak dinilai kurang.

"Kami menganggap hukuman untuk kasus pedofilia itu kurang berat tidak setimpal dengan akibatnya yang merusak nilai-nilai kemanusiaan. Diharapkan ada revisi undang-undang," katanya.

Undang-undang yang ada selama ini seperti tertuang dalam Pasal 292 KUHP tentang pencabulan terhadap anak di bawah umur dan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan hukuman maksimal 15 tahun.

Sementara itu, ibu dari anak berusia empat tahun, Fellma J Panjaitan juga menyatakan keprihatinannya atas peraturan yang ada.

"Padahal negara lain menghukum berat pelaku pedofilia karena dianggap kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak itu tergolong serius. Bagaimana memulihkan wajah polos seorang anak yang tercederai pelecehan seksual?, katanya.

Menurutnya, betapa sulit menghapus trauma anak. Untuk itu hukuman berat bagi pelaku pedofilia dinilainya setimpal.

"Di sini 'sexual offenders' (pelaku pelecehan seksual) publikasinya dengan ditutupi mukanya. Kalau di luar negeri fotonya justru disebarluaskan. Sudah sepatutnya kami tahu wajah pelaku agar bisa lebih aman," katanya.

Sebagai seorang ibu dia khawatir terhadap keamanan anaknya di manapun berada. "Harapannya, saya bisa menaruh anak di lingkungan yang aman. Kita mempercayakan sekolah yang kita kira aman bagi anak, tapi nyatanya tidak."

"Berat bagi orang tua meninggalkan anak di sekolah dengan kekhawatiran. Sekolah dan guru-guru harus tanggung jawab, mau mengakui kesalahan bila memang salah. Mereka jangan hanya melihat kepentingan sekolah tapi kebaikan yang lebih besar yaitu masa depan anak-anak. Karena ini 'kan kehidupan dan masa depan anak. Jadi ciptakanlah lingkungan yang aman di sekolah untuk anak-anak," katanya.

Pendidikan seksual sejak dini

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan pentingnya pendidikan seksual sejak dini untuk kesadaran terhadap anak apabila mendapati pelecehan seksual baik dalam kategori ringan, sedang atau bahkan berat sekalipun.

"Dengan mengetahui masalah kesehatan reproduksi dan masalah seksual sejak dini maka anak akan cepat menyadari bila dirinya menjadi korban pelecehan atau target kekerasan seksual," kata Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN Soedibyo Alimoeso.

Dia menjelaskan selama ini banyak orang tua menganggap pembicaraan mengenai masalah seksual dengan anak adalah hal tabu.

Padahal, masih kata Sudibyo, pembicaraan mengenai masalah seksual dan kesehatan reproduksi bisa dilakukan secara bertahap dan perlahan sesuai dengan usia dan perkembangan kejiwaan anak. "Buatlah anak merasa senyaman mungkin berbicara seks kepada orang tua," katanya.

Dengan demikian, apabila terjadi kasus pelecehan atau kekerasan seksual atau masalah lainnya si anak bisa bercerita kepada orang tua sejak awal. "Dengan begitu orang tua bisa lebih cepat tahu dan bisa lebih cepat melakukan langkah selanjutnya," katanya.

"Kasus kekerasan seksual terhadap anak di JIS ini harus jadi pembelajaran bagi pemerintah dan semua lapisan masyarakat," katanya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya