Koalisi 18+ Luncurkan Petisi Dorong Penghapusan Perkawinan Anak

Banyak kasus pernikahan dini yang menyengsarakan anak. Karena itu, Koalisi 18+ upayakan agar undang-undang batas minimum pernikahan diubah

oleh Liputan6 diperbarui 22 Jul 2014, 13:30 WIB
Diterbitkan 22 Jul 2014, 13:30 WIB
Pernikahan dini, anak

Liputan6.com, Jakarta Di Kolaka, Sulawesi Tenggara, seorang anak berusia 17 tahun mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Benyamin Guluh sekitar pukul 09.00, Senin (14/7/2014). Gadis yang duduk di bangku kelas dua SMAN 1 Latambaga ini meninggal dunia akibat meneguk racun rumput.

Menurut AKP Nazaruddin, Humas Polres Kolaka, gadis tersebut nekat mengakhiri hidupnya lantaran menolak dijodohkan oleh orang tuanya. Meski korban telah menolak upaya tersebut, namun ibunya tetap bersikukuh untuk menjodohkan dengan lelaki pilihannya.

Sementara itu di Metro, Lampung, banyak siswa putus sekolah karena menikah (Tribun Lampung, 2 Mei 2012). Sebanyak empat siswa di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, tidak mengikuti ujian nasional SMP/MTS karena menikah.

Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, sebagaimana dilansir Antara menyebutkan angka pernikahan dini di Indonesia masih cukup tinggi dan hal ini ikut menyumbang tingginya angka kematian pada ibu yang melahirkan.

Secara nasional, berdasarkan penelitian Kementerian Kesehatan, 45 persen pernikahan di Indonesia melibatkan perempuan yang masih berumur antara 15 hingga 19 tahun. Kawin muda telah mengakibatkan sang ibu tidak siap hamil dan terlambat mengambil keputusan terkait proses persalinan.

Ade Novita, Koordinator Koalisi 18+, menyatakan bahwa situasi ini disebabkan oleh UU Perkawinan masih membolehkan terjadinya perkawinan anak–anak. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa batas usia minimum perkawinan untuk anak perempuan adalah 16 tahun.

Menurut Ade, batas usia minimum ini menurutnya telah melanggar Konvensi Hak Anak dan juga Konvensi Penghapusan Diskriminasi Perempuan (CEDAW) dimana Indonesia telah meratifikasi kedua perjanjian internasional tersebut.

Ade menjelaskan bahwa saat ini sedang berlangsung persidangan pengujian Pasal 7 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi yang dimohonkan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan.

Pada dasarnya Yayasan Kesehatan Perempuan meminta agar Mahkamah Konstitusi menaikkan batas usia minimum perkawinan dari 16 tahun menjadi 18 tahun.

Karena itu, ia bersama – sama dengan berbagai individu, warga Negara Indonesia yang peduli, membentuk Indonesia Coalition to End Child Marriage (Koalisi 18+) untuk mendorong pendewasaan usia kawin menjadi 18 tahun melalui seruan di Petisi Online tersebut yang ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi.

Koalisi 18+, menurut Ade Novita, juga berupaya menggalang dukungan melalui pembuatan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) sebagai salah satu bentuk wahana partisipasi masyarakat sipil dalam proses peradilan terutama persidangan di Mahkamah Konstitusi yang saat ini sedang memproses permohonan tersebut.

Petisi Online bisa dilihat “Mahkamah Konstitusi, Katakan ‘TIDAK’ pada Pernikahan Anak! Ubah Usia Sah Pernikahan dari 16 ke 18 tahun”https://www.change.org/petitions/kepada-mahkamah-konstitusi-katakan-tidak-pada-pernikahan-anak-ubah-usia-sah-pernikahan-dari-16-ke-18-tahun.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya