Liputan6.com, Jakarta Banyak yang berpandangan bahwa homoseks atau lesbian disebabkan oleh faktor genetik atau bawaan sejak lahir. Benarkah demikian? Bila benar adalah faktor genetik maka tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk mengubah situasi ini.
Dari pengalaman klinis kami menangani banyak kasus homoseks dan lesbian ternyata mayoritas penyebabnya bukan karena faktor genetik namun lebih karena faktor psikis. Banyak klien yang berhasil dibantu mengatasi masalah mereka dengan hipnoterapi klinis.
Saya sengaja tidak menggunakan kalimat “penyimpangan seksual” karena menghindari kesan menghakimi. Perilaku seksual, dalam hemat saya, adalah tanggung jawab dan pilihan tiap individu. Dan apapun yang menjadi keputusan dan pilihan sepenuhnya adalah hak masing-masing dan perlu dihargai. Sebagai terapis, saya tidak dalam posisi membenarkan atau menyalahkan. Posisi saya netral dan hanya bertugas membantu klien mengatasi masalah mereka.
Baca Juga
Dalam artikel ini yang dimaksud dengan perilaku seksual yang tidak biasa adalah homoseksual dan lesbian. Homoseksual, dalam pemahaman umum, adalah pria yang suka/cinta atau melakukan hubungan seks dengan sesama pria. Menurut KBBI, homoseks adalah hubungan seks dengan pasangan sejenis, bisa pria dengan pria atau wanita dengan wanita. Sedangkan lesbian adalah wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya atau wanita homoseks. Untuk kondisi di mana hubungan yang melibatkan dua insan dengan jenis kelamin berbeda disebut dengan heteroseksual.
Advertisement
Saya teringat beberapa waktu lalu seorang klien pria, usia sekitar, 30 tahun, datang ke saya minta diterapi. Klien ini mengaku homoseks dan ia datang atas permintaan tantenya agar saya “betulkan” dan kembali menjadi pria “normal”.
Wawancara mendalam
Saya tentu tidak serta merta melakukan terapi. Melalui wawancara mendalam saya akhirnya tahu bahwa ia memutuskan menjadi homoseks karena alasan tertentu. Ia juga nyaman menjalani hidup sebagai homoseks.
Usai mendengar ceritanya saya bertanya, “Apa yang ingin saya bantu?”
“Apakah saya perlu berubah menjadi laki-laki normal yang suka dengan perempuan, bukannya menyukai sesama pria seperti yang sekarang saya jalani?” ia balik bertanya.
“Apakah Anda ingin menjadi pria normal seperti yang Anda sebutkan tadi?” tanya saya.
“Tidak. Saya nyaman dengan hidup seperti ini, sebagai homo” jawabnya tegas.
“Bila Anda sudah nyaman dan merasa tidak perlu berubah maka saya tidak perlu melakukan apapun” jawab saya.
Saya beberapa kali menangani kasus homoseks. Sedangkan untuk kasus lesbian jarang. Mungkin karena saya terapis pria sehingga wanita agak kurang nyaman bila mendiskusikan kondisi mereka dengan saya.
Ada asumsi yang salah di masyarakat yang menyatakan bahwa homoseks atau lesbian ini adalah karena faktor bawaan sejak lahir. Benar, bisa saja seseorang menjadi homoseks atau lesbian karena faktor genetik namun seringkali, dari pengalaman klinis kami, lebih disebabkan oleh pengaruh proses tumbuh kembang dan pengalaman traumatik seperti pelecehan seksual waktu kecil.
Dalam beberapa kasus homoseksual yang pernah saya tangani, setiap kali sebelum melakukan terapi saya selalu minta klien untuk konsultasi ke dokter terlebih dahulu. Biasanya dokter akan melakukan serangkaian tes untuk memastikan bahwa secara fisik ia benar-benar pria. Bila secara fisik ia adalah pria maka saya dapat membantu dengan hipnoterapi klinis.
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang pernah kami tangani. Saya tidak menjelaskan teknik yang digunakan untuk membantu klien-klien ini karena akan sangat teknis. Demi menjaga kerahasiaan dan privasi saya mengganti nama klien yang diceritakan di artikel ini.
Advertisement
Semua wanita jahat
Semua Wanita Jahat
Budi, mahasiswa berusia 20 tahun, datang ke saya karena ingin menjadi kembali normal. Menurutnya, kondisinya tidak normal karena ia adalah homoseks. Sebelum memutuskan menjalin relasi dengan beberapa pria, Budi pernah mencoba menjalin relasi dengan wanita namun gagal. Masa pacarannya, dengan beberapa wanita itu, hanya sekitar satu hingga tiga bulan. Walau ia sangat suka dengan pacarnya, demikian pula sebaliknya, namun tanpa alasan yang jelas hubungan mereka putus di tengah jalan. Ini terjadi beberapa kali.
Masih dari hasil wawancara diketahui bahwa saat menjalin relasi dengan sesama pria, dan terutama saat berhubungan seks Budi berperan sebagai wanita. Temuan ini sangat penting karena menunjukkan ia sebagai penerima bukan pemberi. Dan ia sebenarnya tidak menikmati hubungan seks yang dilakukan dengan pasangan prianya. Yang ia butuhkan adalah perhatian dan kasih sayang.
Melalui hipnoanalisis mendalam didapatkan temuan menarik. Saat masih kecil, sekitar usia lima tahun, Budi sempat mendapat perlakukan cukup kasar dari Ibunya. Saat Budi melakukan kesalahan yang sebenarnya sepele, si Ibu marah besar, memukul, dan mencakar wajah Budi.
Dalam kondisi yang takut sekali saat itu Budi berkata, “Memang perempuan itu jahat.” Kalimat ini tampak biasa saja, namun implikasinya sangatlah luar biasa. Apalagi bila diucapkan saat dalam kondisi emosi yang intens.
Kalimat “Memang perempuan itu jahat” adalah satu bentuk generalisasi dan menjadi program pikiran atau kepercayaan yang mengarahkan hidup Budi. Program ini yang membuat Budi tidak bisa menjalin relasi dengan wanita hingga akhirnya ia memutuskan menjalin relasi dengan pria.
Saat pengalaman traumatik ini berhasil diselesaikan di pikiran bawah sadarnya, dorongan untuk berhubungan dengan pria langsung berhenti.
Malu jadi wanita
Saya Malu Menjadi Wanita
Seorang klien wanita usia 35 tahun, sebut saja sebagai Ani, tertarik pada sesama wanita karena ia merasa lebih nyaman menjadi seorang pria. Ia benci menjadi seorang wanita, padahal secara fisik ia wanita tulen, bisa hamil, dan sudah punya anak.
Melalui proses pencarian di pikiran bawah sadarnya ditemukan bahwa ia mengalami penolakan oleh ayahnya sejak dalam kandungan. Saat itu ayahnya berkata pada ibunya, “Saya mau anak kita berikut ini laki. Saya tidak mau kalau ini perempuan.”
Saat Ani lahir, dan ternyata adalah perempuan, ayahnya menolak untuk melihatnya. Ayahnya juga tidak mau menimangnya. Demikianlah penolakan ini berlanjut hingga ke masa remajanya. Ayahnya berulang kali menyampaikan pada Ani bahwa sebenarnya ia berharap Ani adalah anak laki, bukan perempuan.
Sikap dan perilaku ayahnya juga mendorong Ani untuk tumbuh besar menjadi “laki-laki”. Ayahnya sama sekali tidak memberi penghargaan bila Ani berhasil mencapai prestasi tertentu di bidang yang biasa dilakukan anak perempuan, misalnya menari, menyanyi, melukis. Namun, saat Ani berhasil juara di bidang yang biasa dilakukan anak laki, misalnya lomba tarik tambang, karate, panjat dinding, maka ayahnya memberi penghargaan secara luar biasa.
Ternyata dorongan Ani untuk suka pada sesama wanita didorong oleh satu Bagian Diri yang ingin menonjol dan menjadi pria agar mendapat penghargaan, pengakuan, dan penerimaan dari ayahnya. Kerinduan inilah yang selama ini mendorong ia untuk terus berusaha menjadi pria dengan segala karakternya.
Saat pengalaman traumatik yang berasal dari penolakan si ayah berhasil diatasi, Ani akhirnya bisa menerima dirinya seutuhnya dan justru merasa sangat bersyukur dan bahagia menjadi seorang wanita. Ia juga bisa memahami dan memaafkan ayahnya dengan tulus dan ikhlas.
Advertisement
Mau dengan pria tapi takut
Saya Mau dengan Pria tapi Takut
Satu klien lagi, Rita, 27 tahun, mengaku sulit bila menjalin relasi dengan pria. Ada perasaan takut yang tidak jelas asalnya setiap kali ia menjalin relasi dengan pria. Ia lebih nyaman bila berhubungan dengan wanita, termasuk dalam hal seks. Dari hasil wawancara diketahui bahwa tidak ada pengalaman traumatik yang membuat Rita sulit menjalin relasi dengan pria dan lebih nyaman dengan wanita. Rita pertama kali berhubungan seks dengan sesama wanita, teman kosnya, saat ia masih SMA.
Namun, dari hasil penggalian di pikiran bawah sadarnya ditemukan hal menarik. Rita, saat masih kecil, usia sekitar 6 tahun, beberapa kali mengalami pelecehan seksual oleh pembantu pria yang bekerja di rumahnya. Secara sadar, setelah dewasa, Rita tidak lagi ingat kejadian ini. Rupanya, pikiran bawah sadar Rita secara sengaja menyembunyikan pengalaman traumatik ini sehingga Rita mengalami amnesia.
Perasaan takut pada pria karena pernah mengalami pelecehan seksual waktu kecil dan juga kenikmatan yang ia dapat saat berhubungan dengan teman satu kosnya telah mendorong Rita untuk menjadi seorang lesbian.
Saat emosi pada dua pengalaman ini berhasil diselesaikan maka Rita tidak lagi takut dengan pria dan tidak lagi tertarik pada wanita. Ia kini merasa nyaman dan aman menjalin relasi dengan pria.
Pada beberapa kasus lain, ada klien pria atau wanita yang melakukan seks bebas, umumnya dengan pria atau wanita yang lebih tua, demi mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari seseorang yang dipandang bisa mengganti ayah atau ibunya. Klien ini pada masa kecilnya sering diabaikan atau tidak mendapat kasih sayang yang cukup.
Kesimpulannya, bila homoseks dan lesbian bukan disebabkan oleh faktor fisik maka dapat dibantu dengan hipnoterapi klinis, dengan catatan klien bersedia menjalani sesi konseling dan atau terapi atas kesadarannya sendiri. Bila klien datang karena permintaan orang lain, misalnya keluarga, maka hasilnya tidak akan pernah bisa maksimal.
DR. Adi W. Gunawan, CCH.
President of Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology
Indonesia Leading Expert in Mind Technology
President of Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI)
www.AdiWGunawan.com
Facebook : Adi W Gunawan
Twitter : @adiwgunawan