Benang Merah Pembalut Mengandung Klorin

Ahli farmakologi angkat bicara seputar pembalut berbahaya

oleh Fitri Syarifah diperbarui 09 Jul 2015, 21:00 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2015, 21:00 WIB
Fakta unik pembalut
Fakta unik pembalut | via: availbunda.com

Liputan6.com, Jakarta Tiga hari yang lalu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)  merilis hasil uji laboratorium terhadap pembalut wanita dan pantyliner. Hasilnya, terdapat 9 pembalut dan 7 pantyliner yang mengandung klorin. Zat kimia ini ternyata memiliki kadar yang sangat tinggi atau rata-rata 06-55 ppm (untuk pembalut). Peneliti YLKI beranggapan, klorin sangat berbahaya bagi kesehatan reproduksi perempuan, karena bersifat iritatif, bahkan karsinogenik.

Di sisi lain, Kementerian Kesehatan menyatakan sebaliknya, klorin pada pembalut aman. Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, Linda Maura Sitanggang mengatakan, sampai saat ini kadar klorin sespora dengan fluoresensi lemah dianggap aman bagi tubuh.

"Kadar klorin 5-55 ppm yang diteliti Yayasan Lembaga Kesehatan Indonesia (YLKI) tak menimbulkan bahaya bagi tubuh." Isu ini ternyata menarik banyak perhatian kaum Hawa. Ada yang ketakutan, khawatir menggunakan pembalut.

Meluruskan hal tersebut, Ahli farmakologi dari Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof Zullies Ikawati, Apt mengatakan, penemuan YLKI cenderung tidak menjawab keresahan masyarakat. Masyarakat pun akhirnya terfokus pada klorin yang menurut mereka bisa menimbulkan kanker.

"Jadi klorin merupakan sisa pemutihan (bleaching) dari pulp yang digunakan sebagai campuran pengisi pembalut. Ada dua macam proses pemutihan dalam pembalut, yaitu menggunakan gas klorin dan pemutihan Elemental Chlorine Free (ECF)," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (9/7/2015). 

 

 

 

Dampak klorin

Dampak klorin

Dalam blognya, secara gamblang, Zullies mengungkap pemutihan menggunakan gas klorin inilah yang berbahaya. Pasalnya, zat kimia ini menghasilkan dioksin yang dapat memicu kanker.

"Paparan jangka pendek dioksin kadar tinggi pada manusia dapat mengakibatkan lesi kulit, seperti chloracne (sejenis jerawat akibat paparan senyawa halogen, termasuk dioksin) dan penggelapan warna kulit, dan gangguan fungsi hati. Sedangkan paparan jangka panjang menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh, perkembangan sistem saraf, sistem endokrin dan fungsi reproduksi," ungkap Zullies.

Kelompok yang paling sensitif terhadap paparan dioksin adalah janin yang sedang berkembang. "Bayi baru lahir, yang sistem organnya sedang berkembang dengan cepat, juga lebih rentan terhadap efek-efek tertentu dioksin. Selain itu, beberapa individu atau kelompok individu mungkin terkena paparan dioksin tingkat yang lebih tinggi melalui diet mereka (misalnya, konsumen ikan di bagian-bagian tertentu di dunia) atau pekerjaan mereka (misalnya, pekerja di industri pulp dan kertas, pada instalasi pembakaran limbah, dan di lokasi limbah berbahaya)." 

Tak hanya itu, 2, 3, 7, 8 Tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) telah dievaluasi oleh Badan Internasional untuk Riset Kanker (IARC) WHO pada 1997. Hasil pengujian pada hewan dan data epidemiologi manusia, TCDD tingkat tertentu diklasifikasikan sebagai karsinogen (pemicu kanker) bagi manusia.

Di negara maju, penggunaan gas klorin telah dilarang. Sebagai gantinya, pemutihan bisa dilakukan dengan senyawa lain seperti yang dilakukan oleh industri pembalut di Indonesia yang mungkin menggunakan Elemental Chlorine Free (ECF). "Walaupun sama-sama klor, tapi cara ini tidak menghasilkan dioksin dan tidak berbahaya."

Yang jadi masalah kini, YLKI tidak menyatakan jelas klorin yang ditemukan pada pembalut dan pantyliner dalam bentuk apa, apakah klorit atau klorat (senyawa klor).

"Melihat bahaya atau tidak, lihat lagi sifat senyawa ini. Kalau dikatakan dapat mengeluarkan dioksin dan memicu kanker mungkin terlalu dini. Namun bila ini menyebabkan iritasi mungkin saja karena ada beberapa orang yang memiliki kulit sensitif dan alergi," katanya. 

(Baca : YLKI Tetap Berpendapat Klorin di Pembalut Wanita Berbahaya)

 

 

 

Aturan mengenai klorin

Aturan mengenai klorin

Pemerintah sebenarnya telah memiliki aturan terkait klorin, yakni Permenkes (No. 472/Menkes/Per/V/1996) yang menyatakan bahan kimia klorin bersifat racun dan iritasi. Namun Kemenkes beranggapan, aturan ini dibuat untuk mencegah konsumsi klorin pada makanan atau minuman. 

(Baca : Mengenai Klorin, Zat Kimia yang Ada dalam Pembalut)

Untuk mencegah asumsi buruk masyarakat terkait pembalut yang mengandung klorin, YLKI kini mendorong pemerintah untuk membuat regulasi Standar Nasional Indonesia (SNI). Namun Zullies beranggapan, hal ini tidak terlalu darurat mengingat pengusaha industri pembalut telah dipanggil Kementerian Kesehatan dan menyatakan produknya aman.

"Mungkin produk-produk dalam negeri masih banyak yang menggunakan bahan baku klorin karena faktor ekonomi. Dampaknya, produknya bisa lebih murah. Tapi bahannya beda dan melalui proses yang beda. Ini yang kecolongan karena di negara maju sudah jauh ditinggalkan," katanya.

Beberapa tahun yang lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA) meminta produsen besar tampon dan pembalut untuk menguji produk mereka terhadap dioksin menggunakan metode analisis yang disetujui oleh US EPA (Environmental Protection Agency).

Data menunjukkan, tingkat dioksin dalam rayon berkisar dari tidak terdeteksi sampai dengan 1 bagian dalam 3 triliun, jauh di bawah ambang batas, menempatkan konsumen pada risiko kanker. Namun FDA telah menetapkan bahwa dioksin pada tingkat yang sangat rendah tidak menimbulkan risiko kesehatan.

Pada 2001, Joint FAO WHO Komite Ahli Aditif Makanan (JECFA) melakukan penilaian risiko terhadap senyawa-senyawa dioksin. Para ahli menyimpulkan, asupan yang dapat ditoleransi untuk dioksin harus berdasar asumsi bahwa ada ambang batas untuk semua efek, termasuk kanker. Para ahli menetapkan, asupan bulanan yang dapat ditoleransi (PTMI) adalah 70 picogram / kg per bulan. Tingkat ini adalah jumlah dioksin yang dapat tertelan selama seumur hidup tanpa efek kesehatan yang dapat terdeteksi. 

 

 

 

Cara memilih pembalut yang aman

Cara memilih pembalut yang aman

Untuk memilih pembalut yang aman, kata Zullies, memang tidak bisa dilihat secara kasat mata. Analisis dioksin memerlukan instrumen yang memadai. Namun kita bisa merasakan efeknya setelah digunakan, karena ada beberapa orang yang memiliki kulit sensitif. 

(Baca : Kemkes: Tak Ditemukan Pembalut yang Tak Penuhi Syarat) 

"Tentunya perlu campur tangan pihak berwenang seperti Badan POM untuk bisa melakukan sampling terhadap produk-produk sanitary yang diduga mengandung dioksin dan mengumumkannya kepada masyarakat seperti halnya FDA," jelasnya. 

 

Baca juga: 

Kemkes Minta Masyarakat Tak Resah Soal Pembalut

PT. KAO Angkat Bicara Seputar Pembalut Berbahaya

Tanggapan YLKI Atas Pernyataan Kemkes Soal Pembalut Wanita

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya