Mengintip Hikikomori, Perilaku Senang Menyendiri Pria Jepang

Sebuah krisis sosial atau disebut juga Hikikomori tengah melanda pria-pria di Jepang

oleh Fitri Syarifah diperbarui 10 Jul 2015, 09:00 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2015, 09:00 WIB
Mengintip Hikkikomori, Pria Jepang yang Senang Menyendiri
Sebuah krisis sosial atau disebut juga Hikikomori tengah melanda pria-pria di Jepang

Liputan6.com, Tokyo Sebuah krisis sosial atau disebut juga Hikikomori tengah melanda pria-pria di Jepang. Mereka bisa bertahun-tahun tinggal di kamar hanya untuk surfing internet dan membaca manga (komik).

Peneliti Hikikomori, Dr Takahiro Kato memperkirakan ada hampir satu juta pria di Jepang yang mengalami hal ini. Parahnya, kasus ini telah ada di negeri Sakura selama lebih dari 30 tahun.

Masalahnya, kata Kato, hal ini mengakibatkan kerugian negara. Maklum, Hikikomori banyak dialami oleh pria usia produktif yang seharusnya bekerja dan bersosialisasi.

"Banyak Hikikomori menolak kontak dengan teman-teman bahkan keluarga. Mereka menganggap dirinya cerdas dan mampu hidup mandiri. Saya khawatir, populasi ini terus meningkat dan menghampiri satu persen dari populasi di Jepang," katanya.

"Mayoritas Hikikomori lulus pascasarjana sehingga dampak ekonomi tentu mempengaruhi negara kami. Tak sedikit dari mereka bahkan lulus di universitas terkenal," ujarnya, seperti dikutip Dailymail, Jumat (10/7/2015).

Salah seorang Hikikomori, Yuto Onishi (18) misalnya, pria asal Tokyo ini tidak meninggalkan kamarnya sejak tiga tahun lalu. Dia menghabiskan waktu sehari-hari dengan tidur, browsing internet dan membaca manga.

Sufferers of 'Hikikomori' have such severe social withdrawal they isolate themselves in their bedroom

Kato menduga, Onishi memiliki masalah psikologis yang membuatnya seperti ini. Kondisinya dipicu ketika dia gagal menjadi ketua kelas saat SMP.

"Saya tahu ini normal, dan saya tidak ingin mengubahnya. Rasanya aman berada disini," kata Onishi.

Ironisnya, Hikikomori tidak terjadi pada keluarga miskin. Sedangkan keluarga kelas menengah paling berisiko terkena krisis sosial ini.

"Jepang sangat berbeda dengan dunia Barat, hubungan antara orangtua dan anak bergitu dekat. Tak jarang, orangtua berperilaku overprotektif terhadap anaknya," kata Kato.

Di sisi lain, kata dia, anak laki-laki memiliki tekanan yang kuat karena mereka harus masuk universitas terbaik agra bisa bekerja di perusahaan besar.

Kato yang bekerjasama dengan tim ahli dari Kyushu University mempelajari faktor sosial dan biologis. Menurutnya, Hikikomori menyangkut multi dimensi.

"Kebanyakan kasus terfokus pada aspek psikologis, tapi Hikikomori bukan hanya penyakit mental. Mereka perlu terapi dengan hubungan antar kelompok. Namun tentu perlu waktu bertahun-tahun untuk berbicara dengan orang yang mereka cintai," ungkapnya.

Kato menambahkan, pendekatan terapi efektif adalah psikoterapi, hal ini akan memudahkan komunikasi kelompok.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya