Liputan6.com, Jakarta - Masa orientasi siswa (MOS) masih jadi momok di kalangan orangtua. MOS dianggap hanya membuat anak mereka tertekan yang berujung pada aksi mogok ke sekolah. Namun, di mata psikolog, MOS masih dianggap perlu.
"MOS itu perlu. Karena seorang anak mengalami perpindahan jenjang, di mana dia perlu tahu bagaimana lingkungan sekolahnya. Dia harus tahu guru, kakak kelas, dan teman-teman barunya seperti apa. Selain itu, mereka juga harus tahu letak UKS, kantin, kamar mandi, dan kelas mereka nantinya," kata Psikolog Alzena Masykouri dari Kliknik Kancil kepada Health Liputan6.com, Senin (27/7/2015)
Menurut Alzena, jika selama MOS dipergunakan untuk pengenalan semacam itu, maka MOS bukanlah kegiatan menyeramkan. "MOS jadi menyeramkan, karena dibuat sendiri oleh siswa-siswi di tiap sekolah. Jadi semacam kegiatan turun temurun yang harus dilakukan. Kalau MOS hanya sebagai ajang senioritas, itu yang tidak perlu," kata dia menambahkan.
Advertisement
Dia melanjutkan, kunci utama MOS bakal jadi seperti apa ada di tangan pembina dan OSIS. Apabila guru sebagai pembina melarang melakukan hal-hal yang ditakutkan oleh murid baru, maka MOS menjadi kegiatan yang menyenangkan.
"Tapi, kalau MOS dibuat sebagai wujud senioritas, rendah sekali sistem pendidikannya," kata Alzena menekankan.