Liputan6.com, Denver - Dalam mengobati kanker, sulit mengetahui apakah cara pengobatan yang dipilih terbukti efektif. Sebetulnya memang sudah banyak terobosan yang memungkinkan dokter untuk lebih cepat mengetahui apakah suatu cara pengobatan berhasil, tapi mungkin terlalu terlambat untuk memberikan hasil yang positif.
Baca Juga
Para peneliti di University of Colorado mengembangkan suatu alat bantu baru yang dapat berdampak besar pada keputusan pengobatan oleh dokter. Alat bantu ini menggunakan data dari tata urutan eksoma untuk memilih obat yang diduga efektif dalam penanganan tumor kasus demi kasus. Temuan ini sudah dituangkan dalam Journal of American Medical Informatics Association.
Alat bantu yang dikenal dengan Integrating Molecular Profiles with Actionable Therapeutics (IMPACT) ini dirancang untuk mengambil data utuh tata urutan eksoma pada tumor dan melakukan pemetaan pada genom manusia untuk menciptakan segmen-segmen yang cocok dengan masing-masing gen di antara kira-kira 20.000 gen dalam tubuh manusia.
Advertisement
Alat itu kemudian membandingkan hasilnya dengan pola normal gen sehingga bisa mengenali variasi yang mungkin dapat berperan sebagai faktor dalam munculnya kanker.
Dengan adanya sejumlah calon gen, IMPACT kemudian menggunakan data yang tersedia secara umum untuk kemudian menentukan obat yang telah diijinkan oleh dinas pengawas obat dan makanan AS (Food and Drugs Administration, FDA) untuk membidik gen-gen spesifik. Dengan demikian, pengobatannya menjadi lebih efektif dalam membasmi kejadian kanker tertentu.
Untuk menguji apakah alat ini bekerja seperti seharusnya, para peneliti mengambil seluruh tata urutan eksoma dari The Cancer Genome Atlas untuk pasien penderita kanker paru non-kecil dengan mutasi EGFR.
Alat ini mengambil datanya dan kemudian behasil mengenali gen EGFR yang menjadi faktor utama pada kanker dan kemudian menganjurkan penghalang EGFR yang telah disetujui untuk pengobatan.
Perangkat ini juga dapat menelaah tata urutan eksoma pada pasien penderita melanoma, mengenali gen penyebabnya, dan sekali lagi menganjurkan obat berizin untuk membidik kankernya.
Lebih jauh lagi, ketika tumor pada seorang pasien muncul kembali 2 tahun kemudian, pemeriksaan tata urutan eksomanya menunjukkan adanya mutasi. Karena mengetahui ada mutasi, dibuatlah kombinasi obat untuk menangani dua masalah genetik itu.
Pengobatan mengendalikan tumor itu selama 2 tahun berikutnya, namun berulang lagi. Telaahan ke tiga menungkapkan hilangnya gen CDKN2a yang dikenal sebagai penekan tumor.
Tidak ada obat pelawan melanoma yang sekarang sudah diijinkan oleh FDA, namun demikian obat bernama palbocicilib barusan saja disetujui untuk mengatasi kanker payudara. Para peneliti berpendapat bahwa obat itu, ketika dikombinasikan dengan perawatan lain, dapat sekali lagi menekan tumornya.
Rencana pengobatan orang per orang tidak mungkin dilakukan tanpa adanya perangkat seperti IMPACT. Secara keseluruhan, pada peneliti berpendapat bahwa alat ini bisa menjadi langkah penting menuju pendekatan lebih pribadi dalam pengobatan kanker.
Kata penulis senior laporan itu, Aik Choon Tan, PhD, “Kami berharap IMPACT terbukti menjadi alat yang penting dalam memperkuat upaya menuju pengobatan yang tepat.”