Liputan6.com, Jakarta- Salah satu kekurangan manusia adalah mereka tidak akan pernah merasa cukup. Cara menanggapi ketidakpuasan tersebut bermacam ragam. Pada umumnya, setiap manusia menjinakkan rasa ketidakpuasan tersebut dengan cara berfantasi atau berimajinasi.
Baca Juga
Advertisement
Berfantasi memberikan setiap individu peluang untuk membayangkan hidup, hubungan, penampilan, suasana, dan situasi sekaligus kondisi apapun yang sesuai dengan keinginan dan hasrat terdalam mereka.
Perbedaan fantasi pria dan wanita kerap menjadi pembahasan masyarakat luas. Namun bagaimana dengan umur, apakah fantasi seseorang luntur seiring dengan bertambahnya umur? apa justru sebaliknya?
Seorang profesor ilmu pengobatan penyakit jiwa dan psikiater di Columbia University, Ethel S. Person telah menghabiskan bertahun-tahun mendalami topik terkait fantasi.
Dengan pengalaman profesionalnya sebagai psikiater di Manhattan dan juga lewat bukunya yang bertajuk By Force of Fantasy: How We Make Our Lives, Ethel dapat lebih memahami fantasi dan perannya dalam otak manusia.
Melalui wawancara khususnya dengan New York Times, dilansir Jumat (29/7/2016), Ethel menjelaskan dampak proses penuaan terhadap kehidupan fantasi seseorang.
“Akan ada perubahan signifikan dari segi kuantitas dan kualitas pada fantasi seseorang seiring dengan bertambahnya umur,” ungkapnya.
Ia menyatakan bahwa usia remaja adalah fase di mana seseorang akan sering menghabiskan waktu berfantasi atau berangan-angan. Memasuki usia pertengahan, fantasi perlahan-lahan berubah menjadi suatu hal yang realistis atau setidaknya lebih mudah direalisasikan di dunia nyata.
"Semakin seseorang bertambah umurnya, beberapa fantasi pun akhirnya memudar. Pasalnya, bertambahnya usia membuat mereka sadar bahwa fantasi hanyalah khayalan belaka dan tidak akan pernah terwujud, setidaknya tidak sesuai yang kita harapkan,” jelasnya.
Mengunjungi Masa Lalu
Walau proses penuaan diri menyadarkan seseorang akan mustahilnya fantasi tersebut untuk dirasakan di kehidupan nyata, bukan berarti mereka berhenti berfantasi.
“Orang tua sebetulnya tidak pernah berhenti berfantasi. Namun, hal yang mereka imajinasikan di dalam benak mereka lebih pada apa yang terjadi di masa lalu dibandingkan harapan untuk masa depan,” lanjutnya.
Ethel mengatakan, mereka yang sudah lanjut usia lebih banyak berfantasi soal kehidupan mereka di masa lalu. Beberapa dari mereka menemukan kedamaian dalam hati mereka lantaran merasa bisa memaafkan dirinya atas kesalahan di masa lalu.
Ada juga yang berusaha meralat kembali cara mereka menghadapi masalah di masa lalu dan berimajinasi seolah mereka memberikan tanggapan yang berbeda sesuai dengan yang mereka anggap rasional.
Beberapa hal tersebut merupakan dampak positif berfantasi di usia tua. Ada pula dampaknya yang dinilai cenderung lebih negatif.
“Ada beberapa orang yang memilih untuk menceritakan fantasinya kepada seseorang yang ia cintai atau anak-anak dan cucunya. Mereka menceritakan dengan harapan bahwa mimpi-mimpi yang belum tercapai bisa diraih oleh penerusnya,” tambahnya.
Hal ini dinilai negatif karena sejumlah alasan. Alasan pertama adalah, hal tersebut menunjukkan bahwa dirinya belum ikhlas dan kesulitan menerima kenyataan. Kedua, kisah fantasi seseorang bisa dianggap sebagai suatu bentuk tekanan untuk orang lain menjalankannya.
“Ini tentu akan menjadi beban untuk seseorang menjalankan hidupnya lantaran pikirannya disetir dan ia tak bisa jalani hidup sesuai dengan keinginan hatinya,” tutupnya.
Advertisement