STOVIA, Kampus Bersejarah Pencetak Dokter Pejuang

Kebangkitan bangsa Indonesia pada zaman penjajahan terjadi di satu tempat bernama STOVIA, kampus pencetak para dokter pejuang.

oleh Nilam Suri diperbarui 17 Agu 2017, 14:00 WIB
Diterbitkan 17 Agu 2017, 14:00 WIB
Lebih Dekat dengan STOVIA, Tempat Belajar Calon Dokter Indonesia
Kebangkitan bangsa Indonesia di zaman penjajahan terjadi di satu tempat bernama STOVIA, kampus pencetak para dokter pejuang.

Liputan6.com, Jakarta Jika mengulas sejarah bangsa, akan ada satu nama yang tidak bisa lepas, STOVIA. STOVIA sering juga disebut sebagai kampus perjuangan. Namun sebenarnya, apa itu STOVIA dan apa perannya dalam sejarah perjuangan Indonesia?

STOVIA adalah singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera. STOVIA adalah kampus yang mencetak tokoh-tokoh pergerakan Indonesia, seperti Dr Sutomo, Tjipto Mangunkusomo, dan Wahidin Sudirohusodo.

Mengutip Jakartapedia, pada awal tahun 1800-an, ada wabah penyakit yang menyebar di Jawa. Pemerintah Belanda yang saat itu menjajah Indonesia kewalahan menghadapi wabah penyakit ini.

Karena mendatangkan dokter dari Eropa akan memakan biaya besar, muncullah keinginan untuk mendidik kaum pribumi agar bisa mengobati bangsanya sendiri.

Menurut situs Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, momentum pendidikan kedokteran di Indonesia lahir pada tanggal 2 Januari 1849, lewat Keputusan Gubernemen Nomor 22. Ketetapan itu menjadi titik awal penyelenggaraan pendidikan kedokteran di Indonesia. Pendidikan itu dilangsungkan di Rumah Sakit Militer (sekarang RSPAD).

Dua tahun setelah keputusan itu, dibukalah Sekolah Pendidikan Kedokteran di Weltevreden dengan lama pendidikan dua tahun dan jumlah siswa 12 orang. Lulusan sekolah itu kemudian diberi gelar Dokter Djawa. Namun sayangnya, walau diberi gelar dokter, lulusan sekolah itu hanya memiliki kewenangan seperti mantri, dan diperkerjakan sebagai mantri cacar.

Seorang Belanda bernama HF Roll, yang saat itu menjabat sebagai direktur Sekolah Dokter Jawa, lalu mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk mengadakan pendidikan kedokteran yang bisa diselenggarakan dengan pendidikan kedokteran di Belanda.

Perlu waktu 10 tahun bagi dokter-dokter Indonesia sebelum mereka memperoleh wewenang agar bisa bekerja lebih dari sekadar Mantri Cacar. Pada tahun 1864, lama pendidikan kedokteran diubah menjadi tiga tahun dan lulusan yang dihasilkan dapat menjadi dokter yang berdiri sendiri, walau masih di bawah pengawasan dokter Belanda.

Tahun 1875, lama pendidikan untuk dokter-dokter Indonesia kembali ditambah. Lama pendidikan menjadi tujuh tahun, termasuk pendidikan bahasa Belanda yang dijadikan sebagai bahasa pengantar. Baru 20 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1898, sekolah pendidikan kedokteran yang sesungguhnya berdiri. Sekolah kedokteran itu disebut STOVIA.

Dalam perkembangannya, STOVIA menjadi lembaga yang mendidik dokter-dokter Bumiputera (inlandsch arts) dan bukan hanya dokter Jawa. Sekolah ini mulai membuka kesempatan bagi siapa saja tanpa memandang keturunan. Walau memang, untuk bersekolah di sini dibutuhkan biaya sendiri. Untuk masuk ke STOVIA pun siswanya harus melalui ujian yang ketat.

Tahun 1903, terjadi perubahan dalam sistem penerimaan siswa baru STOVIA. Mereka mulai menerima siswa dari sekolah pribumi (sebelumnya hanya menerima siswa tamatan sekolah Belanda).

STOVIA juga kemudian membebaskan siswa-siswanya dari kewajiban membayar. Bahkan, mahasiswanya mendapat alat-alat kuliah dan seragam gratis. Siswa-siswa STOVIA juga menerima uang saku sebesar 15 gulden per bulan.

Pembebasan biaya itu membuka kemungkinan dari pemuda-pemuda golongan priayi untuk belajar di STOVIA. Hal ini kemudian menghasilkan tokoh-tokoh bangsa dari kalangan priayi, seperti Wahidin Sudirohusodo dan Tjipto Mangoenkoesomo.

Peran STOVIA dalam Kebangkitan Putra Bangsa

[Bintang] Potret Negeri di Awal Abad 20
Pelajar STOVIA, Sekolah Kedokteran Saat Itu, Batavia (circa 1919) | via: wowshack.com

STOVIA sempat dianggap sebagai sekolah untuk orang miskin. Para putra-putra priayi kalangan tinggi tidak ingin masuk ke sekolah tersebut. Masuk STOVIA bukan hal mudah, mereka harus melewati ujian yang sulit dan ketat. Mahasiswanya juga wajib belajar sangat keras.

Inilah yang kemudian membuat banyak mahasiswa STOVIA berasal dari keluarga-keluarga kurang mampu. Namun justru, anak-anak dari kalangan miskin inilah muncul tokoh-tokoh Indonesia yang militan, baik sebagai dokter maupun sebagai pejuang.

Salah satu faktor yang mendorong munculnya para pejuang yang nantinya menjadi tokoh nasional Indonesia itu adalah lokasi STOVIA itu sendiri.

STOVIA berada di Weltevreder, pusat Kota Batavia, yang juga pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Tempat ini juga menjadi tempat berkumpulnya kaum intelektual untuk berinteraksi dan bertukar pikiran.

Para pelajar STOVIA yang kebanyakan berasal dari kota-kota kecil mulai mendapat dorongan intelektual dari lingkungan sekolahnya. Batavia juga jadi kediaman kelompok intelektual nonpribumi, yang kemudian memengaruhi pola pikir mahasiswa STOVIA.

Mengutip buku karya R Soetomo, Kenang-Kenangan (Soerabaia: S.W., 1934), tempat yang paling disenangi sebagian besar pelajar STOVIA adalah perpustakaan milik Douwes Dekker, seorang Indo yang sangat mendukung politik etis. Dekker tinggal di dekat STOVIA.

Bagi sebagian pelajar STOVIA, keberadaan Dekker memiliki arti penting. Dia adalah seorang intelektual yang rumahnya selalu terbuka sebagai tempat pertemuan, memiliki ruang baca, dan perpustakaan.

Douwes Dekker juga yang menginspirasi pelajar-pelajar STOVIA, seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Surjopranoto, serta Tjokrodirdjo belajar menuangkan gagasan mereka dalam surat kabar. Mereka juga belajar untuk menyuarakan pendapat mereka dan semakin jeli melihat kondisi rakyat dan bangsanya.

Semangat para pelajar STOVIA untuk memperbaiki nasib bangsanya semakin kuat dengan kedatangan dr Wahidin Sudirohusodo pada akhir tahun 1907. Dr Wahidin mengampanyekan pendidikan bagi kaum priayi dan masyarakat kelas bawah.

Mereka berpendapat, masyarakat perlu diberikan pendidikan karena perluasan pengajaran akan menumbuhkan kesadaran kebangsaan. Gagasan dr Wahidin membuka pikiran pelajar STOVIA dan menciptakan cita-cita baru.

Cita-cita baru itulah yang kemudian mendorong lahirnya suatu organisasi baru. Pada tanggal 20 Mei 1908, organisasi bernama Boedi Oetomo dibentuk oleh para mahasiswa STOVIA tadi. Tujuannya adalah untuk memperjuangkan nasib rakyat agar memiliki kehidupan yang pantas.

Sekarang, tanggal 20 Mei terus dirayakan dan diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kebangkitan yang lahir di Kampus STOVIA.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya