Cerita Anak-Anak Penonton Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI

Setelah berhenti tayang pada tahun 1998, tahun ini film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI jadi agenda nonton bareng.

oleh Doddy Irawan diperbarui 30 Sep 2017, 14:00 WIB
Diterbitkan 30 Sep 2017, 14:00 WIB
Film G30S/PKI
Ilustrasi. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Semenjak kekuasaan era Orde Baru, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI menjadi film wajib bagi semua anak sekolah. Film ini sendiri adalah rilisan resmi pemerintahan Presiden Soeharto, yang mengisahkan peristiwa pada malam 30 September dan pagi 1 Oktober 1965 di Jakarta.

Film yang disutradarai oleh Arifin C Noer itu dibintangi oleh beberapa artis terkenal saat itu, macam Ade Irawan, Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan lainnya. Film yang diproduksi pada tahun 1984 itu digolongkan dalam film berdurasi panjang dengan total waktu 220 menit dan dilatarbelakangi scoring musik yang digarap oleh Embie C Noer.

Penumpasan Pengkhianatan G 30S/PKI ini akhirnya resmi dijadikan tontonan resmi yang wajib ditayangkan di seluruh televisi Indonesia. Setelah rezim Soeharto tumbang pada tahun 1998, film penghormatan pada tujuh jenderal besar yang tewas saat itu, sudah tidak lagi diputar di televisi. Tahun ini, film tersebut kembali ramai jadi perbincangan.

Sejumlah perangkat negara baik di tingkat pemerintah pusat sampai di daerah, menyerukan agar seluruh masyarakat bisa melek sejarah dengan menonton kembali film Penumpasan Pengkhianatan G 30S/PKI. Bedanya kalau dahulu, kita bisa menonton langsung di televisi, sekarang tidak. Agendanya berubah menjadi ajang nobar alias nonton bareng.

Tidak hanya di lingkungan perumahan, acara nobar ini digelar sampai di dalam lingkungan sekolah. Pertanyaannya, masih relevankah film itu dengan kondisi generasi milenial? Tanpa sesi nonton bareng pun, anak-anak dan remaja bisa menyaksikan ketegangan film ini secara utuh melalui situs berbagi video.

 

Simak juga video menarik berikut:

Kesan anak-anak usai nonton film Penumpasan Pengkhianatan G 30S/PKI

Jay Darveshane, siswa kelas 5 di sebuah SD Islam Terpadu di Cengkareng, Jakarta Barat, berkali-kali penasaran soal film Penumpasan Pengkhianatan G 30S/PKI. Sulung dari 3 bersaudara ini kemudian bertanya kepada ayahnya, Bois (44) tentang isu yang sedang marak di media sosial ini.

Padahal bocah ini bisa saja langsung berselancar di Internet, mencari keyword terkait di Instagram dan Facebook, atau menonton di situs berbagi video. Namun ia lebih mencoba untuk mendiskusikan seputar apa yang tidak ia ketahui bersama papa dan mamanya.

“Jay itu melek Internet. Dia punya beberapa akun sosmed seperti Instagram. Ketika ia bertanya tentang film Penumpasan Pengkhianatan G 30S/PKI, saya berusaha mengarahkannya dengan mengajak ia menonton,” papar Bois, mantan jurnalis yang sekarang bekerja di label Nagaswara, saat dihubungi Health-Liputan6.com via telepon, Jumat (29/9/2017).

Pertama nonton, Jay langsung merasa asing dengan suasana gelap pada kualitas film jaman dahulu tersebut.

“Anak sekarang biasa menemukan kualitas gambar yang HD, giliran dikasih tontonan yang gambarnya kayak ada semut-semutnya, ia merasa kurang bergairah,” ungkapnya.

 

Faktor ilustrasi musik yang mencekam

Ajakan nobar pertama di rumah, gagal. Namun Jay kembali timbil rasa ingin tahunya. Sebagai ketua kelas di sekolahnya, setidaknya ia harus memiliki bekal pengetahuan seputar isu kekinian.

“Komentarnya kali ini adalah musik scoring film ini bikin merinding, 5 menit pertama dia udah tidak betah. Malam-malam tambah mencekam ketika anak-anak mendengar musik seram ala film horor,” imbuh Bois menyampaikan kegalauan si sulung yang aktif di ekskul pramuka itu.

Bois menjelaskan sejarah singkat, ada perbedaan kurikulum antara generasi tahun 80-an dengan generasi milenial. Jaman dahulu, anak-anak sekolah mau menonton film ini karena relevan dengan mata pelajaran seperti PMP, PSPB, Sejarah Nasional, dan sebagainya. Sekarang, semua cara dalam penyerapan informasi sudah canggih dengan segala sesuatunya serba digital.

Ayah Jay tak kehilangan akal. Kali ini ia mengajak Zoe Parvez, putra keduanya. Film Penumpasan Pengkhianatan G 30S/PKI kali ini ditonton bertiga.

“Mungkin karena ada Zoe, Jay mau menyimak film itu. Sambil nonton, saya ulang lagi cerita sejarah terjadinya film ini. Antusiasme mereka tetap minim, karena yang kedua lebih senang main game, ketimbang nonton film berbau politik atau sejarah,” lontar alumus IISIP Jakarta ini.

 

Anak lebih patuh kalau ada perintah langsung dari guru

Hal lain yang membuat anak-anak enggan berlama-lama menatap layar film ini karena durasi yang terlalu berkepanjangan, mendalam bagi yang pernah menontonnya. Selain karena suasana film yang begitu tegang, score musik mencekam, dan kepiawaian para pemain dalam memainkan watak.

“Film ini durasinya 3 jam 37 menit. Sementara anak juga punya kesibukan lain yang tak bisa ditinggal, seperti belajar dan menyiapkan keperluan sekolah,” lontar Bois.

Sebagai orangtua, ia dan istri setuju kalau anak-anak tahu dengan film Penumpasan Pengkhianatan G 30S/PKI. Ibu Jay dan Zoe pun ikutan mengomentari film ini.

“Nobar ini sepanjang keperluannya untuk menengok sejarah, bagus. Selama orangtua mampu membimbing dan menjelaskan ke anak dengan disertai pesan-pesan moral. Seperti kalau ada adegan sadis, saat diculik atau dibunuh, anak segera diberi tahu mengapa itu bisa terjadi,” papar Lala, (39), ibu dari Jay dan Zoe, yang juga alumnus IISIP Jakarta.

“Rasa ingin tahu Jay dan Joe memang tinggi, namun selama guru di sekolahnya tidak menyuruh, mereka tidak akan memprioritaskan menonton film ini,” sambung Lala.

 

 

Anak lebih suka berkunjung ke museum

Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) memakan sejumlah korban. Sejumlah petinggi TNI Angkatan Darat dibunuh dan disiksa di Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur. Namun sejauh ini tragedi berdarah itu masih terus menimbulkan kontroversi.

Salah satu yang mengundang pro kontra adalah film Penumpasan Pemberontakan G30S/PKI karya mendiang sutradara Arifin C. Noer. Tidak sedikit pelaku sejarah bersaksi film ini hanya dijadikan alat propaganda Orde Baru demi kepentingan peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.

Salah satu penuturan soal ramai pemutaran film ini juga ditanggapi oleh Wenny (38), ibu dari Icha (12) dan Abel (7).

“Kedua anak saya duduk di bangku SD. Yang pertama kelas 6 SD dan yang kedua kelas 2 SD. Mereka tahu berita tentang ramai nobar film pemberontakan PKI, bahkan ada tontonan gratis. Sayang mereka tidak tertarik,” imbuh jebolan Universitas Andalas tersebut saat dihubungi via layanan pesan singkat kepada Health-Liputan6.com, Jumat (29/9/2017).

Sekadar kilas balik, dulu, film ini tayang jam 19.30 WIB, usai Berita Nasional di TVRI. Lalu berhenti sebentar dipotong Dunia Dalam Berita. Kemudian dilanjutkan lagi hingga total durasinya 4 jam 30 menit.

"Untuk anak-anak, menonton film ini mungkin kurang bisa meresapi dengan baik. Selain ceritanya terlalu seram dan durasinya terlalu panjang, Abel dan Disha lebih memilih mengunjungi langsung ke Monumen Pahlawan Revolusi dan Museum Lubang Buaya. Dari sana juga bisa belajar sejarah lebih dalam, ketimbang nonton filmnya," tutup Wenny.  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya