Liputan6.com, Jakarta Pandemi Flu 1918 terkenal sebagai wabah flu paling mematikan sepanjang sejarah manusia. Seratus tahun yang lalu, wabah flu melanda negara-negara Eropa. Wabah flu di Spanyol diklaim memakan korban hingga 100 juta jiwa.
Baca Juga
Advertisement
Di Inggris, wabah flu menyebabkan 200.000 orang meninggal, sedangkan sekitar 550.000 orang jatuh sakit. Flu juga mengamuk di seluruh Eropa.
Tak hanya di Eropa saja, wabah flu seabad lalu juga melanda kawasan Asia. Di India, 17 juta orang kehilangan nyawa. Pria dan wanita yang sehat pun juga menjadi korban wabah flu.
Kengerian pandemi flu 1918 tertuang dalam buku berjudul, Pandemic 1918: The Story Of The Deadliest Influenza In History. Buku tersebut ditulis sejarawan Catharine Arnold.
Arnold menulis pandemi flu tersebut karena tertarik dengan wabah flu Spanyol. Pada peristiwa tersebut, kakek dan neneknya meninggal karena flu.
"Pandemi flu tahun 1918 membunuh lebih banyak orang dibandingkan korban yang meninggal akibat Perang Dunia I. Sekarang, flu dianggap sebagai sinyal kalau kita harus banyak istirahat dan minum parasetamol. Ternyata di balik itu semua, flu punya sejarah panjang. Wabah flu sudah ada dari zaman Romawi dan Yunani," jelas Arnold, dikutip dari Express, Selasa (2/8/2018).
Simak video menarik berikut ini:
Menyerang paru-paru dan hidung
Wabah flu, yang terjadi di Spanyol begitu mengerikan. Sebanyak 20 persen orang yang terinfeksi meninggal hingga akhir musim gugur tahun 1918. Banyak korban pingsan di jalan karena mereka sulit bernapas.
Flu menyerang paru-paru dan terus berkembang. Penderitanya akan merasa seperti tercekik. Ada pula kasus anak-anak yang kelaparan sampai meninggal. Sementara itu, orang tua mereka terbaring tak berdaya karena terkena flu.
Para ilmuwan yang mempelajari pandemi tersebut meyakini, awal mula terjadi wabah flu dari kamp di Etaples, Prancis. Di kamp itu seorang prajurit bernama Harry Underdown meninggal.
Tubuhnya terkena luka tembak. Namun, sebelum meninggal, kondisi Harry tampak tercekik, napasnya terengah-engah, dan kulitnya berubah jadi abu-abu. Kondisi inilah yang membuatnya diyakini terkena flu.
Advertisement
Virus flu menyebar
Wabah flu menyebar dengan cepat melalui bersin atau batuk. Ketika satu orang bersin atau batuk, setengah juta partikel virus terbang di udara.
Perawat Shirley Millard menulis dalam buku hariannya pada April 1918.
"Kami dibanjiri dengan kasus-kasus penyakit flu. Saya pikir influenza adalah flu yang buruk, tapi ini jauh lebih buruk. Suhu tubuh orang akan panas. Saat mereka meninggal, kulit mereka berubah jadi abu-abu gelap yang mengerikan. Mereka pun dikremasi," tulis Millard.
Adanya pandemi flu, orang mulai memakai masker. Pada waktu itu, tidak ada obat untuk mengobati flu. Tidak ada orang yang kebal terhadap flu ini.
Perdana Menteri David Lloyd George dan Franklin D Roosevelt, yang kemudian menjadi presiden AS, termasuk orang-orang beruntung. Keduanya terjangkit flu dan bertahan hidup.
Raja Alonso dari Spanyol dan Mahatma Gandhi juga terkena flu. Tentara Jerman (Blitzkatarrh) juga terkena flu. Sebanyak hampir 150.000 tentara Jerman terjangkit flu selama musim panas tahun 1918.
Seiring zaman, pengobatan flu semakin maju. Bila seratus tahun lalu belum ditemukan obat yang tepat mengatasi flu. Kini, ada program vaksinasi flu dan antibiotik untuk mencegah dan mengobati flu.
Sekarang, tidak ada lagi orang yang panik atau bahkan ambil pusing saat mereka terserang flu. Sungguh berbeda dengan 100 tahun lalu.