Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) resmi meneken surat paksaan menteri yang ditujukan pada bupati, wali kota, maupun gubernur yang berwenang mengelola 37 tempat pemrosesan akhir (TPA) untuk menghentikan praktik open dumping pada Senin, 10 Maret 2025. Sementara, tiga TPA lainnya akan didalami lebih lanjut untuk diproses pidana mengingat tingkat pencemaran lingkungan akibat praktik open dumping yang dilakukan begitu serius.
Total ada 343 TPA yang tercatat di KLH melakukan praktik open dumping. "Yang kita hentikan adalah praktik open dumping yang berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 18/2008 yang diminta dihentikan sebenarnya sejak 2013 lalu. Jadi, lebih dari 15 tahun, kita masih melakukan praktik ini," kata Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (10/3/2025).
Baca Juga
Ke-37 TPA tersebut di antaranya adalah TPA Sempayang di Kabupaten Malinau; TPA Darupono Kendal; TPA Sumur Batu Kota Bekasi; TPA Galuga Kabupaten Bogor; TPA Molantadu Kabupaten Gorontalo Utara; TPA Bajaru Kabupaten Nias; dan TPA Sekadau di Sekadau.
Advertisement
"Skema penghentian aktivitas open dumping itu memiliki dua hal. Pertama, kita hentikan aktivitas open dumping-nya. Kedua, kita hentikan dan tutup operasional TPA-nya," ujarnya.
Setelah surat itu diterima, sambung Hanif, pemerintah daerah yang mengontrol TPA wajib mempersiapkan langkah-langkah penghentian aktivitas open dumping. Pertama, memastikan setiap TPA memiliki dokumen persetujuan lingkungan yang sesuai dengan standar pengelolaan.
Hanif selanjutnya meminta pemda bersangkutan menyusun rencana rehabilitasi dari open dumping maupun penyusunan zona baru untuk sanitary landfill. Setelah itu selesai, praktik open dumping baru dihentikan. Kepada 37 TPA dimaksud, KLH memberi tenggat waktu sekitar enam bulan untuk menyiapkan peralihan ke sanitary landfill atau controlled landfill.
KLH Proses Hukum TPA yang Cemari Lingkungan Serius
Sementara, TPA yang sudah overloaded dan menyebabkan pencemaran serius akan ditindak hukum. Sejauh ini, TPA Basirih dan TPA Burangkeng dipastikan ditutup permanen lantaran tidak lagi bisa menampung dan tidak memiliki dokumen persetujuan lingkungan. Berikutnya, KLH membidik tiga TPA lain yang dianggap fatal, meliputi TPA Rate Kabupaten Ende; TPA Aek Nabobar Kabupaten Tapanuli Tengah; dan TPA Degayu Kota Pekalongan.
Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan KLH Rizal Irawan menerangkan TPA Rate dan TPA Degayu berada di badan air. Masing-masing dekat dengan laut sehingga lindi yang dihasilkan langsung mencemari sumber air. Sementara, TPA Aek Nabobar dianggap melakukan pelanggaran serius lantaran sampah dibuang di antara dua bukit.
"Kasusnya mirip seperti yang terjadi di TPA Leuwi Gajah beberapa tahun lalu," imbuh Menteri Hanif.
Meski sudah dipastikan melanggar, KLH masih akan mendalami kasus sebelum diproses hukum. Hanif juga menegaskan bahwa penutupan TPA yang bermasalah adalah kewenangan Menteri Pekerjaan Umum sebagai pengampu urusan infrastruktur, atau Gubernur bila berkaitan dengan TPA bermasalah yang skalanya kota/kabupaten.
Advertisement
Dampak Buruk Praktik Open Dumping
Hanif menyatakan praktik open dumping tidak bisa lagi diteruskan lantaran beberapa alasan. Pertama adalah air lindi yang dihasilkan oleh TPA yang melakukan open dumping secara langsung mencemarkan air tanah.
"Ada 343 katakanlah TPA dikelola dengan sistem open dumping, maka setiap kali hujan, sejumlah hujan itu yang kemudian menjadi air lindi. Silakan hitung air lindi itu kemudian menjadi air permukaan dan yang lebih parah sebagian air lindi ini menjadi air dalam tanah," terangnya. Padahal, air permukaan tanah dangkal, sambung dia, biasanya dikonsumsi warga sebagai salah satu sumber air sehari-hari.
Alasan kedua adalah dari emisi gas metan yang dihasilkan. Hampir sebagian besar TPA pada musim kemarau biasanya mengalami pematangan. Itu menandakan bahwa timbulan gas metana cukup besar dari tumpukan sampah tersebut.
"Kemudian, gangguan kesehatan masyarakat dalam radius yang cukup jauh, sampai 2--3 kilometer," imbuhnya.
Cemaran sampah dari TPA juga bisa menjadi mikroplastik. Ia merujuk hasil survei Bank Dunia yang menyebutkan 95 persen penduduk Indonesia yang disurvei, di dalam badannya telah mengandung mikroplastik.
"Degradasi lingkungan dan estetika wilayah juga selalu jadi masalah pada saat penanganan sampah hanya dilakukan dengan dipungut, angkut, dan buang. Semisal di lokasi-lokasi yang ada TPA-nya, penolakan masyarakat dan konflik sosialnya cukup tinggi," kata dia.
Perubahan Pola Pikir dan Budaya
Menteri Hanif menegaskan bahwa keberhasilan transisi menuju pengelolaan sampah yang lebih baik membutuhkan peran aktif semua pihak. "Penghentian sistem open dumping bukan hanya sekadar kewajiban hukum, tetapi sebuah kebutuhan mendesak demi masa depan lingkungan yang lebih sehat, aman, dan berkelanjutan," ujar Menteri Hanif.
"Perubahan ini bukan sekadar teknis, tetapi juga perubahan pola pikir dan budaya dalam mengelola sampah."
Melalui langkah ini, Indonesia tidak hanya mengikuti tren global dalam pengelolaan lingkungan, tetapi juga membangun model tata kelola sampah yang dapat menjadi contoh bagi negara lain. Upaya ini mendukung Asta Cita Presiden RI, yang menekankan keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan sebagai warisan berharga bagi generasi mendatang.
"Sebagai negara yang terus melakukan perbaikan, kita harus meninggalkan kebiasaan membuang sampah, hal dikarenakan cerminan negaran maju dapat dilihat dari negaranya yang bersih dan bebas sampah. Pemerintah daerah, sektor swasta, komunitas, dan individu dapat mengambil peran aktif dalam mewujudkan sistem pengelolaan sampah yang lebih bertanggung jawab dan berdaya guna," ujarnya.
KLH sejauh ini mengawasi 343 TPA open dumping di seluruh Indonesia, dengan rincian 286 TPA dikelola oleh pemerintah kabupaten, 51 TPA milik pemerintah kota dan enam TPA regional atau provinsi.
Advertisement
